Indonesia Sarankan Pendekatan Agama dan Budaya untuk Lawan Terorisme
A
A
A
RIYADH - Presiden Indonesia Joko Widodo menyarankan penggunaan pendekatan budaya dan agama dalam melawan ancaman terorisme. Saran itu disampaikan Jokowi saat berpidato di depan Konfrensi Tingkat Tinggi Arab Islam - Amerika Serikat (AS) di Riyadh, Arab Saudi, kemarin.
Dalam pidatonya, Jokowi menuturkan sejarah mengajarkan senjata dan kekuatan militer saja tidak akan mampu mengatasi terorisme. Pemikiran yang keliru hanya dapat diubah dengan cara berpikir yang benar. Oleh karenanya, Indonesia meyakini pentingnya menyeimbangkan pendekatan hard-power dengan pendekatan soft-power, yakni melalui pendekatan agama dan budaya.
“Untuk program deradikalisasi, misalnya, otoritas Indonesia melibatkan masyarakat, keluarga, termasuk keluarga mantan nara pidana terorisme yang sudah sadar; dan organisasi masyarakat,” ucap Presiden Jokowi, seperti tertuang dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri Indonsia yang diterima Sindonews pada Senin (22/5).
Untuk kontra radikalisasi, lanjut Jokowi, antara lain Indonesia merekrut para netizen muda dengan follower yang banyak untuk menyebarkan pesan-pesan damai. “Kita juga melibatkan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk terus mensyiarkan Islam yang damai dan toleran,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Jokowi juga mengatakan KTT Arab Islam-AS ini memiliki makna yang penting untuk mengirimkan pesan kemitraan dunia Islam dengan AS dan menghilangkan persepsi bahwa Amerika Serikat melihat Islam sebagai musuh.
“Yang lebih penting lagi pertemuan ini harus mampu meningkatkan kerja sama pemberantasan terorisme dan sekaligus mengirimkan pesan perdamaian kepada dunia,” ungkapnya.
Jokowi mengatakan ancaman radikalisme dan terorisme terjadi di mana-mana. Indonesia adalah salah satu korban aksi terorisme, serangan di Bali terjadi tahun 2002 dan 2005 dan serangan di Jakarta terjadi Januari 2016. Menurutnya Dunia marah dan berduka melihat jatuhnya korban serangan terorisme di berbagai belahan dunia di Prancis, Belgia, Inggris, Australia dan lain-lain.
"Dunia seharusnya juga sangat prihatin terhadap jatuhnya lebih banyak korban jiwa akibat konflik dan aksi terorisme di beberapa negara seperti Irak, Yaman, Suriah, Libya. Umat Islam adalah korban terbanyak dari konflik dan radikalisme terorisme,” katanya
Lebih lanjut Presiden mengatakan jutaan orang harus keluar dari negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jutaan generasi muda kehilangan harapan masa depannya. “Kondisi ini membuat anak-anak muda frustasi dan marah. Rasa marah dan frustasi ini dapat berakhir dengan muculnya bibit-bibit baru ektremisme dan radikalisme,” tukasnya.
Dalam pidatonya, Jokowi menuturkan sejarah mengajarkan senjata dan kekuatan militer saja tidak akan mampu mengatasi terorisme. Pemikiran yang keliru hanya dapat diubah dengan cara berpikir yang benar. Oleh karenanya, Indonesia meyakini pentingnya menyeimbangkan pendekatan hard-power dengan pendekatan soft-power, yakni melalui pendekatan agama dan budaya.
“Untuk program deradikalisasi, misalnya, otoritas Indonesia melibatkan masyarakat, keluarga, termasuk keluarga mantan nara pidana terorisme yang sudah sadar; dan organisasi masyarakat,” ucap Presiden Jokowi, seperti tertuang dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri Indonsia yang diterima Sindonews pada Senin (22/5).
Untuk kontra radikalisasi, lanjut Jokowi, antara lain Indonesia merekrut para netizen muda dengan follower yang banyak untuk menyebarkan pesan-pesan damai. “Kita juga melibatkan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk terus mensyiarkan Islam yang damai dan toleran,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Jokowi juga mengatakan KTT Arab Islam-AS ini memiliki makna yang penting untuk mengirimkan pesan kemitraan dunia Islam dengan AS dan menghilangkan persepsi bahwa Amerika Serikat melihat Islam sebagai musuh.
“Yang lebih penting lagi pertemuan ini harus mampu meningkatkan kerja sama pemberantasan terorisme dan sekaligus mengirimkan pesan perdamaian kepada dunia,” ungkapnya.
Jokowi mengatakan ancaman radikalisme dan terorisme terjadi di mana-mana. Indonesia adalah salah satu korban aksi terorisme, serangan di Bali terjadi tahun 2002 dan 2005 dan serangan di Jakarta terjadi Januari 2016. Menurutnya Dunia marah dan berduka melihat jatuhnya korban serangan terorisme di berbagai belahan dunia di Prancis, Belgia, Inggris, Australia dan lain-lain.
"Dunia seharusnya juga sangat prihatin terhadap jatuhnya lebih banyak korban jiwa akibat konflik dan aksi terorisme di beberapa negara seperti Irak, Yaman, Suriah, Libya. Umat Islam adalah korban terbanyak dari konflik dan radikalisme terorisme,” katanya
Lebih lanjut Presiden mengatakan jutaan orang harus keluar dari negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jutaan generasi muda kehilangan harapan masa depannya. “Kondisi ini membuat anak-anak muda frustasi dan marah. Rasa marah dan frustasi ini dapat berakhir dengan muculnya bibit-bibit baru ektremisme dan radikalisme,” tukasnya.
(esn)