Suriah Siap Diinvestigasi Terkait Serangan Kimia
A
A
A
DAMASKUS - Kemarin Pemerintah Suriah mempersiapkan diri jika ada tekanan internasional untuk melakukan penyelidikan terhadap serangan kimia yang menewaskan puluhan orang di Idlib. Damaskus juga menegaskan investigasi tersebut tidak boleh dipolitisasi dan proses penyelidikan harus dimulai di ibu kota negara itu.
Menteri Luar Negeri Suriah Walid al-Muallem mengatakan, berdasarkan pengalaman masa lalu negaranya bahwa penyidikan internasional bukan hal yang menarik. Dia mengindikasikan pemerintah akan mempertimbangkan usulan penyelidikan jika hal tersebut merupakan hal serius.
“Saya menekankan kepada kalian semua, militer Suriah tidak melakukan (serangan kimia), dan tidak akan menggunakan jenis senjata itu bukan untuk rakyat kita, tetapi digunakan kelompok gerilyawan untuk menyerang warga sipil kita,” kata Muallem, dilansir AFP.
Muallem memberikan pernyataan pers di Damaskus tepat dua hari setelah serangan kimia menewaskan sedikitnya 86 orang di wilayah gerilyawan anti-Pemerintah Khan Sheikhun, Suriah. Serangan itu memicu keprihatinan dan kecaman dunia internasional.
Presiden Suriah Bashar al-Assad dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan tersebut. Tapi, Muallem meragukan bukti bahwa militer Suriah yang melakukan serangan tersebut. “Serangan udara pertama yang dilakukan militer Suriah pada 11.30 siang dengan target gudang senjata milik Front Al- Nusra yang menyimpan senjata kimia,” katanya, menuding.
Dia mengatakan, baik Al-Nusra dan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) menyimpan senjata kimia di wilayah pemukiman penduduk. Sementara hasil otopsi terhadap korban luka dan tewas warga Idlib yang dilakukan Turki menunjukkan bahwa mereka menghirup gas beracun. “Hasil autopsi itu akan dikirim ke Den Haag untuk uji laboratorium tambahan,” kata Menteri Kesehatan Turki Recep Akdag kemarin, dilansir Reuters.
Hal itu dikuatkan Menteri Kehakiman Bekir Bozdag. Dia mengatakan, hasil autopsi mengukuhkan bahwa senjata kimia memang digunakan dalam serangan itu. Bozdag menuding pasukan militer Suriah di bawah Pemerintahan Presiden Assad bertanggung jawab.
Namun, Bozdag tidak menyebut nama bahan zat kimia yang digunakan. Dia juga tidak memberikan bukti-bukti yang mungkin membuktikan bahwa versi kejadian yang diberikan oleh Pemerintah Suriah dan sekutunya, Rusia, merupakan suatu kesalahan.
Sebelumnya Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan gejala korban serangan kimia di Suriah merupakan reaksi terhadap gas saraf. “Serangan senjata kimia tidak mengakibat luka di luar, tetapi mengakibatkan korban mengalami kesulitan bernapas yang menyebabkan kematian,” demikian keterangan WHO.
Lebih dari 320.000 orang meninggal dunia di Suriah sejak perang sipil terjadi pada Maret 2011. Berbagai perundingan damai yang disponsori PBB di Jenewa pekan lalu juga gagal mencapai terobosan politik. Oposisi meminta Assad untuk lengser, tetapi Damaskus tetap tidak mau berdamai.
Menteri Luar Negeri Suriah Walid al-Muallem mengatakan, berdasarkan pengalaman masa lalu negaranya bahwa penyidikan internasional bukan hal yang menarik. Dia mengindikasikan pemerintah akan mempertimbangkan usulan penyelidikan jika hal tersebut merupakan hal serius.
“Saya menekankan kepada kalian semua, militer Suriah tidak melakukan (serangan kimia), dan tidak akan menggunakan jenis senjata itu bukan untuk rakyat kita, tetapi digunakan kelompok gerilyawan untuk menyerang warga sipil kita,” kata Muallem, dilansir AFP.
Muallem memberikan pernyataan pers di Damaskus tepat dua hari setelah serangan kimia menewaskan sedikitnya 86 orang di wilayah gerilyawan anti-Pemerintah Khan Sheikhun, Suriah. Serangan itu memicu keprihatinan dan kecaman dunia internasional.
Presiden Suriah Bashar al-Assad dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan tersebut. Tapi, Muallem meragukan bukti bahwa militer Suriah yang melakukan serangan tersebut. “Serangan udara pertama yang dilakukan militer Suriah pada 11.30 siang dengan target gudang senjata milik Front Al- Nusra yang menyimpan senjata kimia,” katanya, menuding.
Dia mengatakan, baik Al-Nusra dan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) menyimpan senjata kimia di wilayah pemukiman penduduk. Sementara hasil otopsi terhadap korban luka dan tewas warga Idlib yang dilakukan Turki menunjukkan bahwa mereka menghirup gas beracun. “Hasil autopsi itu akan dikirim ke Den Haag untuk uji laboratorium tambahan,” kata Menteri Kesehatan Turki Recep Akdag kemarin, dilansir Reuters.
Hal itu dikuatkan Menteri Kehakiman Bekir Bozdag. Dia mengatakan, hasil autopsi mengukuhkan bahwa senjata kimia memang digunakan dalam serangan itu. Bozdag menuding pasukan militer Suriah di bawah Pemerintahan Presiden Assad bertanggung jawab.
Namun, Bozdag tidak menyebut nama bahan zat kimia yang digunakan. Dia juga tidak memberikan bukti-bukti yang mungkin membuktikan bahwa versi kejadian yang diberikan oleh Pemerintah Suriah dan sekutunya, Rusia, merupakan suatu kesalahan.
Sebelumnya Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan gejala korban serangan kimia di Suriah merupakan reaksi terhadap gas saraf. “Serangan senjata kimia tidak mengakibat luka di luar, tetapi mengakibatkan korban mengalami kesulitan bernapas yang menyebabkan kematian,” demikian keterangan WHO.
Lebih dari 320.000 orang meninggal dunia di Suriah sejak perang sipil terjadi pada Maret 2011. Berbagai perundingan damai yang disponsori PBB di Jenewa pekan lalu juga gagal mencapai terobosan politik. Oposisi meminta Assad untuk lengser, tetapi Damaskus tetap tidak mau berdamai.
(esn)