ASEAN Soroti Konflik Laut China Selatan
A
A
A
BORACAY - Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menganggap pemasangan sistem persenjataan China di Laut China Selatan sangat mengkhawatirkan. ASEAN ingin mencegah militerisasi kawasan itu dan mendorong dialog untuk menghentikan eskalasi yang terjadi sekarang.
Sikap ASEAN itu dilontarkan dalam pertemuan para menteri luar negeri (menlu) ASEAN yang menyoroti reklamasi dan militerisasi pulau-pulau buatan di wilayah maritim tersebut.
Menlu Filipina Perfecto Yasay tidak secara khusus menyebutkan perkembangan apa yang memicu kekhawatiran ASEAN. Meski demikian, dia menegaskan, ASEAN berharap China dan Amerika Serikat (AS) akan menjamin perdamaian dan stabilitas.
”Anggota ASEAN sepakat dalam ekspresi kekhawatiran mereka tentang apa yang mereka lihat sebagai militerisasi kawasan itu,” ujar Yasay, setelah pertemuan para menlu di Pulau Boracay, Filipina, kemarin, dikutip kantor berita Reuters.
Filipina menjadi ketua ASEAN tahun ini dan akan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan. Beberapa pertemuan itu dihadiri kekuatan asing, termasuk China dan AS. Terkait pulau-pulau buatan China, Yasay mengatakan, ”Mereka telah menekankan, sangat mengkhawatirkan bahwa China telah memasang sistem persenjataan di fasilitas yang dibuat dan mereka memiliki kekhawatiran tentang ini.”
Perselisihan antara AS dan China dalam isu perdagangan dan wilayah di era Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah meningkatkan kekhawatiran bahwa Laut China Selatan akan semakin bergejolak. Di sisi lain, ekonomi ASEAN sangat tergantung kepada Beijing dan Washington. China mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang kaya energi tersebut.
Kawasan itu menjadi jalur perdagangan senilai USD5 triliun per tahun. Beberapa negara tetangga seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga mengklaim wilayah maritim tersebut. Beijing pekan lalu telah menyelesaikan latihan perang yang melibatkan kapal induknya. Angkatan Laut AS pada Sabtu (18/2) lalu juga menyatakan kapal induknya telah memulai patroli rutin di Laut China Selatan.
Tiga hari sebelumnya, China memperingatkan aksi AS setelah insiden pada awal Februari saat satu pesawat Angkatan Laut AS P-3 dan satu pesawat tempur China terbang dalam jarak dekat di atas Laut China Selatan. Yasay menjelaskan, negara-negara ASEAN mengakui kebijakan pemerintahan Trump masih dalam pengembangan.
Meski demikian, Yasay berharap Trump akan mengumumkannya dalam beberapa bulan mendatang untuk memberi gambaran lebih konkret dan jelas, terutama terkait China. ”Kami tidak tahu gambaran menyeluruh tentang apa kebijakan luar negerinya. Sejauh ini hubungannya dengan China mengkhawatirkan. Kami berharap kebijakan yang akan muncul itu positif,” ujar Yasay.
Dia juga menjelaskan, ASEAN menginginkan kerangka kerja untuk membuat kode etik maritim antara China dan ASEAN akan selesai pada Juni mendatang. Beijing juga mengungkapkan keinginannya untuk segera menyelesaikan kode etik tersebut. Yasay meminta semua pihak harus memastikan kode etik itu memiliki kekuatan mengikat secara hukum dan dapat dilaksanakan.
Proses penyusunan kode etik itu hanya mengalami sedikit kemajuan sejak ide itu disepakati pada 2002. Sementara China menegaskan sikapnya yang menentang aksi negara-negara lain dengan alasan kebebasan navigasi yang mengganggu kedaulatan Beijing. Sikap China itu diungkapkan setelah grup penyerang kapal induk AS mulai berpatroli di Laut China Selatan.
Militer AS menjelaskan, grup penyerang itu termasuk kapal induk kelas Nimitz, USS Carl Vinson. ”China selalu menghormati kebebasan navigasi dan penerbangan semua negara yang dijamin hukum internasional,” ungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China Geng Shuang, kemarin.
Dia menegaskan, ”Tapi, kami secara konsisten menentang negara-negara terkait mengancam dan merusak kedaulatan serta keamanan negara-negara pesisir dengan alasan kebebasan navigasi dan penerbangan.” Komentar Geng itu merupakan sikap resmi pertama China terhadap patroli AS yang mulai digelar di kawasan tersebut pekan lalu.
”Kami harap negara-negara terkait dapat melakukan lebih banyak tindakan demi menjaga perdamaian dan stabilitas regional,” katanya. Grup kapal induk itu tidak menyebut operasi di Laut China Selatan sekarang sebagai patroli kebebasan navigasi. Kapalkapal AS tahun lalu menggelar beberapa patroli semacam itu untuk melawan semua upaya membatasi kebebasan navigasi di perairan strategis tersebut.
Sikap ASEAN itu dilontarkan dalam pertemuan para menteri luar negeri (menlu) ASEAN yang menyoroti reklamasi dan militerisasi pulau-pulau buatan di wilayah maritim tersebut.
Menlu Filipina Perfecto Yasay tidak secara khusus menyebutkan perkembangan apa yang memicu kekhawatiran ASEAN. Meski demikian, dia menegaskan, ASEAN berharap China dan Amerika Serikat (AS) akan menjamin perdamaian dan stabilitas.
”Anggota ASEAN sepakat dalam ekspresi kekhawatiran mereka tentang apa yang mereka lihat sebagai militerisasi kawasan itu,” ujar Yasay, setelah pertemuan para menlu di Pulau Boracay, Filipina, kemarin, dikutip kantor berita Reuters.
Filipina menjadi ketua ASEAN tahun ini dan akan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan. Beberapa pertemuan itu dihadiri kekuatan asing, termasuk China dan AS. Terkait pulau-pulau buatan China, Yasay mengatakan, ”Mereka telah menekankan, sangat mengkhawatirkan bahwa China telah memasang sistem persenjataan di fasilitas yang dibuat dan mereka memiliki kekhawatiran tentang ini.”
Perselisihan antara AS dan China dalam isu perdagangan dan wilayah di era Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah meningkatkan kekhawatiran bahwa Laut China Selatan akan semakin bergejolak. Di sisi lain, ekonomi ASEAN sangat tergantung kepada Beijing dan Washington. China mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang kaya energi tersebut.
Kawasan itu menjadi jalur perdagangan senilai USD5 triliun per tahun. Beberapa negara tetangga seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga mengklaim wilayah maritim tersebut. Beijing pekan lalu telah menyelesaikan latihan perang yang melibatkan kapal induknya. Angkatan Laut AS pada Sabtu (18/2) lalu juga menyatakan kapal induknya telah memulai patroli rutin di Laut China Selatan.
Tiga hari sebelumnya, China memperingatkan aksi AS setelah insiden pada awal Februari saat satu pesawat Angkatan Laut AS P-3 dan satu pesawat tempur China terbang dalam jarak dekat di atas Laut China Selatan. Yasay menjelaskan, negara-negara ASEAN mengakui kebijakan pemerintahan Trump masih dalam pengembangan.
Meski demikian, Yasay berharap Trump akan mengumumkannya dalam beberapa bulan mendatang untuk memberi gambaran lebih konkret dan jelas, terutama terkait China. ”Kami tidak tahu gambaran menyeluruh tentang apa kebijakan luar negerinya. Sejauh ini hubungannya dengan China mengkhawatirkan. Kami berharap kebijakan yang akan muncul itu positif,” ujar Yasay.
Dia juga menjelaskan, ASEAN menginginkan kerangka kerja untuk membuat kode etik maritim antara China dan ASEAN akan selesai pada Juni mendatang. Beijing juga mengungkapkan keinginannya untuk segera menyelesaikan kode etik tersebut. Yasay meminta semua pihak harus memastikan kode etik itu memiliki kekuatan mengikat secara hukum dan dapat dilaksanakan.
Proses penyusunan kode etik itu hanya mengalami sedikit kemajuan sejak ide itu disepakati pada 2002. Sementara China menegaskan sikapnya yang menentang aksi negara-negara lain dengan alasan kebebasan navigasi yang mengganggu kedaulatan Beijing. Sikap China itu diungkapkan setelah grup penyerang kapal induk AS mulai berpatroli di Laut China Selatan.
Militer AS menjelaskan, grup penyerang itu termasuk kapal induk kelas Nimitz, USS Carl Vinson. ”China selalu menghormati kebebasan navigasi dan penerbangan semua negara yang dijamin hukum internasional,” ungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China Geng Shuang, kemarin.
Dia menegaskan, ”Tapi, kami secara konsisten menentang negara-negara terkait mengancam dan merusak kedaulatan serta keamanan negara-negara pesisir dengan alasan kebebasan navigasi dan penerbangan.” Komentar Geng itu merupakan sikap resmi pertama China terhadap patroli AS yang mulai digelar di kawasan tersebut pekan lalu.
”Kami harap negara-negara terkait dapat melakukan lebih banyak tindakan demi menjaga perdamaian dan stabilitas regional,” katanya. Grup kapal induk itu tidak menyebut operasi di Laut China Selatan sekarang sebagai patroli kebebasan navigasi. Kapalkapal AS tahun lalu menggelar beberapa patroli semacam itu untuk melawan semua upaya membatasi kebebasan navigasi di perairan strategis tersebut.
(esn)