Para Wanita Rohingya Mengaku Dijadikan Budak Seks Militer Myanmar
A
A
A
COX BAZAR - Para wanita dari komunitas Muslim Rohingya yang berhasil melarikan diri dan penyekapan militer Myanmar mengaku dijadikan budak seks. Mereka sebelumnya diculik dan dibawa ke kamp-kamp militer dan diperkosa berulang kali.
Dua wanita Rohingya yang berhasil melarikan diri dari kamp militer di Maungdaw, Rakhine, dan mengungungsi ke Bangladesh menceritakan kebrutalan militer Myanmar kepada wartawan.
Mereka takut stigma negatif melekat pada wanita Rohingya ketika berbicara secara terbuka tentang serangan asusila militer Myanmar. Mereka mengaku membutuhkan bantuan tim medis.
Serangan brutal militer Myanmar itu terjadi tak lama setelah pasukan keamanan Myanmar menyerang desa-desa warga Rohingya di negara bagian Rakhine dalam upaya mencari pemberontak. Seorang koresponden media Bangladesh, Dhaka Tribune, berbicara dengan para wanita Rohingya yang mengaku dijadikan budak seks militer Myanmar.
Mereka yang kini mengungsi di beberapa kamp di Bangladesh, mengaku diculik oleh militer Myanmar dan dibawa ke kamp-kamp, setelah rumah-rumah mereka diserang. ”Saya lolos dari kamp militer di mana saya ditahan dan berulang kali diperkosa oleh tentara lelaki,” kata seorang wanita Rohingya berusia 18 tahun di kamp Kutupalong, di Ukhiya Upazila.
Korban yang minta identitasnya dilindungi mengaku berasal dari desa Kularbill dekat dengan Kota Maungdaw. Dia diculik oleh tentara yang membunuh orangtuanya di depan matanya.
”Mereka membawa saya ke kamp mereka, karena mereka menemukan saya menarik. Dalam pertukaran untuk nyawa saya, mereka beramai-ramai (menyerang) saya setiap hari,” ujarnya.
Dia mencoba melarikan diri setelah tiga hari diculik, tapi tertangkap oleh penjaga kamp. "Kemudian mereka mengikat saya di pagar dan memperkosa saya lagi,” lanjut dia. Dia tidak bisa mengatakan berapa lama dirinya ditahan di kamp militer.
”Saya lolos lagi dan pergi ke perbatasan. Seorang perantara (pembawa perahu) melihat dan membawa saya karena kasihan pada saya. Dia membawa saya ke sini (Bangladesh) secara gratis,” katanya.
Korban lain, seorang wanita 20 tahun dari desa Hatipara di Maungdaw, mencoba menjelaskan kengerian yang dia alami. ”Anda tidak tahu bagaimana memalukannya itu, (saya) harus mengalami kekerasan seperti itu,” katanya. ”Kadang-kadang tiga atau empat orang tentara memperkosa kami selama beberapa jam.”
Dia berada di kamp yang sama dengan korban yang berusia 18 tahun. Kisah-kisah mereka mirip dengan pengakuan 23 wanita Rohingya lain yang berbicara kepada koresponden tersebut saat berada di kamp Kutupalong.
”Hari-hari ini, militer sedang mencari rumah untuk (memburu) wanita muda Rohingya,” ujar Abul Hasan—nama samaran—, warga Desa Baluhali di Maungdaw.
”Ketika mereka menemukan wanita muda Rohingya di rumah, mereka tidak menyerang pria. Mereka hanya mengambil perempuan ke kamp mereka,” katanya. Dia mengaku banyak keluarga Rohingya mengirim perempuan mudanya pergi ke Bangladesh untuk menyelamatkan mereka dari kebrutalan militer Myanmar.
Di antara desa yang paling terkena dampak di Maungdaw adalah Wah Paik, Hawarbill, Bur Gow Zi Bill, Surow Gow Zi Bill, Kularbill, Lu Daing, Hatipara, Bura Shiddar para dan Nasa Furu. Semua tuduhan itu tidak memungkinkan untuk diverifikasi mengingat militer dan pemerintah Myanmar menutup ketat akses wartawan dan aktivis HAM ke Rakhine.
Sedangkan pemerintah Myanmar terus membantah tuduhan tersebut. Mereka mengaku belum menemukan bukti adanya serangan dan pembunuhan oleh militer Myanmar terhadap warga Rohingya.
Namun, sejumlah organisasi kemanusiaan seperti Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan MSF (Médecins Sans Frontières—Dokter Lintas Batas) aktif mengobati para perempuan korban pemerkosaan militer Myanmar di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.
Ketika ditanya, tak satu pun dari organisasi-organisasi bantuan itu setuju untuk memberikan data lengkap jumlah korban pemerkosaan militer Myanmar. ”Kami telah menerima korban kekerasan seksual di sini, tapi kami tidak dapat memastikan berapa banyaknya, kami telah menyediakan pengobatan," kata Eric Beausejour, koordinator proyek klinik MSF Kutupalong, yang dikutip Jumat (13/1/2017).
”Kami juga tidak bisa mengungkapkan sifat kekerasannya, dan tidak dapat kami pastikan siapa pelakunya,” ujar dia. Tapi beberapa pekerja bantuan yang berbicara dengan syarat anomin, mengatakan jumlahnya cukup tinggi karena banyak korban enggan untuk mencari pengobatan.
”Sebagian besar korban memakan waktu terlalu lama untuk datang kepada kami guna mencari bantuan. Kadang-kadang kami menerima pasien yang hamil akibat pemerkosaan,” kata seorang pekerja organisasi bantuan internasional.
Pekerja bantuan lain di klinik MSF Kutupalong mengatakan mereka telah merawat 40 korban pemerkosaan sejak 26 Desember 2016.
Dua wanita Rohingya yang berhasil melarikan diri dari kamp militer di Maungdaw, Rakhine, dan mengungungsi ke Bangladesh menceritakan kebrutalan militer Myanmar kepada wartawan.
Mereka takut stigma negatif melekat pada wanita Rohingya ketika berbicara secara terbuka tentang serangan asusila militer Myanmar. Mereka mengaku membutuhkan bantuan tim medis.
Serangan brutal militer Myanmar itu terjadi tak lama setelah pasukan keamanan Myanmar menyerang desa-desa warga Rohingya di negara bagian Rakhine dalam upaya mencari pemberontak. Seorang koresponden media Bangladesh, Dhaka Tribune, berbicara dengan para wanita Rohingya yang mengaku dijadikan budak seks militer Myanmar.
Mereka yang kini mengungsi di beberapa kamp di Bangladesh, mengaku diculik oleh militer Myanmar dan dibawa ke kamp-kamp, setelah rumah-rumah mereka diserang. ”Saya lolos dari kamp militer di mana saya ditahan dan berulang kali diperkosa oleh tentara lelaki,” kata seorang wanita Rohingya berusia 18 tahun di kamp Kutupalong, di Ukhiya Upazila.
Korban yang minta identitasnya dilindungi mengaku berasal dari desa Kularbill dekat dengan Kota Maungdaw. Dia diculik oleh tentara yang membunuh orangtuanya di depan matanya.
”Mereka membawa saya ke kamp mereka, karena mereka menemukan saya menarik. Dalam pertukaran untuk nyawa saya, mereka beramai-ramai (menyerang) saya setiap hari,” ujarnya.
Dia mencoba melarikan diri setelah tiga hari diculik, tapi tertangkap oleh penjaga kamp. "Kemudian mereka mengikat saya di pagar dan memperkosa saya lagi,” lanjut dia. Dia tidak bisa mengatakan berapa lama dirinya ditahan di kamp militer.
”Saya lolos lagi dan pergi ke perbatasan. Seorang perantara (pembawa perahu) melihat dan membawa saya karena kasihan pada saya. Dia membawa saya ke sini (Bangladesh) secara gratis,” katanya.
Korban lain, seorang wanita 20 tahun dari desa Hatipara di Maungdaw, mencoba menjelaskan kengerian yang dia alami. ”Anda tidak tahu bagaimana memalukannya itu, (saya) harus mengalami kekerasan seperti itu,” katanya. ”Kadang-kadang tiga atau empat orang tentara memperkosa kami selama beberapa jam.”
Dia berada di kamp yang sama dengan korban yang berusia 18 tahun. Kisah-kisah mereka mirip dengan pengakuan 23 wanita Rohingya lain yang berbicara kepada koresponden tersebut saat berada di kamp Kutupalong.
”Hari-hari ini, militer sedang mencari rumah untuk (memburu) wanita muda Rohingya,” ujar Abul Hasan—nama samaran—, warga Desa Baluhali di Maungdaw.
”Ketika mereka menemukan wanita muda Rohingya di rumah, mereka tidak menyerang pria. Mereka hanya mengambil perempuan ke kamp mereka,” katanya. Dia mengaku banyak keluarga Rohingya mengirim perempuan mudanya pergi ke Bangladesh untuk menyelamatkan mereka dari kebrutalan militer Myanmar.
Di antara desa yang paling terkena dampak di Maungdaw adalah Wah Paik, Hawarbill, Bur Gow Zi Bill, Surow Gow Zi Bill, Kularbill, Lu Daing, Hatipara, Bura Shiddar para dan Nasa Furu. Semua tuduhan itu tidak memungkinkan untuk diverifikasi mengingat militer dan pemerintah Myanmar menutup ketat akses wartawan dan aktivis HAM ke Rakhine.
Sedangkan pemerintah Myanmar terus membantah tuduhan tersebut. Mereka mengaku belum menemukan bukti adanya serangan dan pembunuhan oleh militer Myanmar terhadap warga Rohingya.
Namun, sejumlah organisasi kemanusiaan seperti Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan MSF (Médecins Sans Frontières—Dokter Lintas Batas) aktif mengobati para perempuan korban pemerkosaan militer Myanmar di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.
Ketika ditanya, tak satu pun dari organisasi-organisasi bantuan itu setuju untuk memberikan data lengkap jumlah korban pemerkosaan militer Myanmar. ”Kami telah menerima korban kekerasan seksual di sini, tapi kami tidak dapat memastikan berapa banyaknya, kami telah menyediakan pengobatan," kata Eric Beausejour, koordinator proyek klinik MSF Kutupalong, yang dikutip Jumat (13/1/2017).
”Kami juga tidak bisa mengungkapkan sifat kekerasannya, dan tidak dapat kami pastikan siapa pelakunya,” ujar dia. Tapi beberapa pekerja bantuan yang berbicara dengan syarat anomin, mengatakan jumlahnya cukup tinggi karena banyak korban enggan untuk mencari pengobatan.
”Sebagian besar korban memakan waktu terlalu lama untuk datang kepada kami guna mencari bantuan. Kadang-kadang kami menerima pasien yang hamil akibat pemerkosaan,” kata seorang pekerja organisasi bantuan internasional.
Pekerja bantuan lain di klinik MSF Kutupalong mengatakan mereka telah merawat 40 korban pemerkosaan sejak 26 Desember 2016.
(mas)