Mengapa Rumah Ekstremis Palestina Diratakan, Ekstremis Israel Tidak?

Jum'at, 25 November 2016 - 17:24 WIB
Mengapa Rumah Ekstremis...
Mengapa Rumah Ekstremis Palestina Diratakan, Ekstremis Israel Tidak?
A A A
TEL AVIV - Hakim Mahkamah Agung Israel mempertanyakan kebijakan negara dalam pencegahan terorisme dengan meratakan rumah ekstremis Palestina. Tapi, kebijakan itu tak berlaku bagi rumah ekstremis Yahudi Israel.

Sikap hakim Mahkamah Agung Israel itu muncul setelah kebijakan diskriminasi itu diajukan oleh Suha dan Hussein Abu Khdeir, orang tua dari remaja 16 tahun asal Palestina; Mohammed Abu Khdeir, yang dibunuh pada 2014 dalam serangan balas dendam atas penculikan dan pembunuhan tiga remaja Israel.

Pemerintah Israel berdalih perobohan rumah-rumah pelaku serangan asal Palestina sebagai pencegahan tindakan terorisme. Tapi keluarga Khdeir mempertanyakan mengapa hal yang sama tidak berlaku untuk orang-orang Yahudi Israel yang telah membunuh orang-orang Arab.

”Saya pikir jika mereka (Israel) tidak menghancurkan rumah-rumah mereka (ektremis), ini bukan negara demokratis,” kata Hussein Abu Khdeir kepada DW pada bulan Juli lalu. ”Ini adalah negara apartheid, negara rasis, Anda tidak bisa hidup di (sini).”

Kini, hakim dari Mahkamah Agung Israel setuju dengan argumen keluarga Khdeir. ”Apa bedanya dengan saya jika itu adalah seorang Arab atau Yahudi?,” tanya Hakim Mahkamah Agung Israel, Neal Hendel, seperti dikutip dari Ynetnews, Jumat (25/11/2016).

”Jika kita berkata bahwa kita siap untuk mempekerjakan kebijakan ini terhadap sekelompok orang tertentu dan tidak terhadap yang lain, ini menimbulkan masalah-masalah tertentu,” ujarnya.

”Dikatakan bahwa dalam masyarakat Arab ada lebih banyak pendukung (kebijakan) dan pencegahan akan jauh lebih kuat,” kata Elyakim Rubinstein, Wakil Ketua Mahkamah Agung Israel. ”Tapi tetap, karena ada ekstremis dalam masyarakat Yahudi yang telah melakukan hal-hal yang mengerikan, bahkan jika pencegahan dilakukan pada asumsi bahwa itu akan mempengaruhi sejumlah kecil orang, masih akan menyelamatkan nyawa,” imbuh dia, yang terkesan membela kebijakan pemerintah Israel.

Argumen yang sama disajikan di persidangan pada hari Senin. Namun, hal itu ditolak oleh hakim ketua, yang menyatakan bahwa pelestarian kehidupan manusia adalah prioritas pengadilan.

”Jika itu mungkin untuk mencegah satu pembunuhan melalui aksi pencegahan, mereka akan melakukannya setelah 20 serangan mematikan yang dilakukan?" tanya Hakim Zvi Zilbertal. ”Ketika kita berbicara tentang kehidupan manusia, itu bukan kuantitas yang penting.”

”Kalau bisa mencegah lima pembunuhan, maka dibenarkan,” imbuh hakim Hendel yang setuju dengan argumen Zilbertal. ”Ini akan dibenarkan jika dicegah bahkan satu insiden.”

Hakim Hendel, Zilbertal dan satu hakim lainnya, Rubinstein, kemudian memberi batas waktu 30 hari bagi Pemerintah Israel untuk memberikan respons sebelum membuat keputusan.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1465 seconds (0.1#10.140)