Politisi Ortodoks Yahudi Israel Tolak RUU Soal Adzan
A
A
A
YERUSALEM - Yaakov Litzman, seorang politisi dari kelompok ortodox Yahudi di Israel menyatakan menolak rancangan undang-udang (RUU) mengenai pengaturan adzan di wilayah Israel dan wilayah pendudukan Israel. RUU akan berisi batasan penggunaan sistem panggilan publik untuk melakukan adzan.
Penolakan itu disampaikan pria yang juga merupakan Menteri Kesehatan Israel, saat melakukan pertemuan dengan Parlemen Israel. Lizman mengatakan, jika RUU ini disahkan, maka hal itu juga bisa mempengaruhi warga Yahudi di Israel.
Lizman menuturkan, sama halnya dengan umat Muslim, umat Yahudi juga menggunakan pengeras suara untuk mengumumkan jadwal berdoa atau pengumunan mengenai jatuhnya hari raya umat Yahudi.
"Selama ribuan tahun, secara tradisi Yahudi telah menggunakan berbagai alat, termasuk shofars (tanduk domba jantan) dan terompet saat perayaan liburan Yahudi," kata menteri dalam pernyataannya, seperti dilansir Al Arabiya pada Kamis (17/11).
"Karena teknologi terus berkembang, pengeras suara telah digunakan untuk mengumumkan awal hari Sabat, pada tingkat volume yang diizinkan, dan sesuai dengan setiap hukum. RUU merupakan suatu gangguan terhadap praktek agama dan status quo antara otoritas agama dan negara," sambungnya.
RUU ini, menurut laporan media Israel muncul dikarenakan banyaknya aduan dari warga Israel, baik di dalam negara ataupun di wilayah pendudukan mengenai keras dan seringnya suara adzan terdengar. Para warga Israel menggambarkannya sebagai sebuah hal yang menyiksa.
Sebelumnya, Institut Demokrasi Israel telah terlebih dahulu menyatakan penolakan atas pembetukan RUU tersebut. Badan think-thank itu mengatakan, RUU itu akan mencederasi kebebasan beragama di Israel, dan pembentukan RUU ini terlalu berbau politis.
"Tujuan nyata dari RUU ini adalah bukan untuk mencegah kebisingan, melainkan untuk menciptakan suara yang akan merugikan semua masyarakat dan upaya untuk membangun realitas antara Yahudi dan Arab," kata seorang pejabat Institut Demokrasi Israel, Nasreen Hadad Haj-Yahya.
Penolakan itu disampaikan pria yang juga merupakan Menteri Kesehatan Israel, saat melakukan pertemuan dengan Parlemen Israel. Lizman mengatakan, jika RUU ini disahkan, maka hal itu juga bisa mempengaruhi warga Yahudi di Israel.
Lizman menuturkan, sama halnya dengan umat Muslim, umat Yahudi juga menggunakan pengeras suara untuk mengumumkan jadwal berdoa atau pengumunan mengenai jatuhnya hari raya umat Yahudi.
"Selama ribuan tahun, secara tradisi Yahudi telah menggunakan berbagai alat, termasuk shofars (tanduk domba jantan) dan terompet saat perayaan liburan Yahudi," kata menteri dalam pernyataannya, seperti dilansir Al Arabiya pada Kamis (17/11).
"Karena teknologi terus berkembang, pengeras suara telah digunakan untuk mengumumkan awal hari Sabat, pada tingkat volume yang diizinkan, dan sesuai dengan setiap hukum. RUU merupakan suatu gangguan terhadap praktek agama dan status quo antara otoritas agama dan negara," sambungnya.
RUU ini, menurut laporan media Israel muncul dikarenakan banyaknya aduan dari warga Israel, baik di dalam negara ataupun di wilayah pendudukan mengenai keras dan seringnya suara adzan terdengar. Para warga Israel menggambarkannya sebagai sebuah hal yang menyiksa.
Sebelumnya, Institut Demokrasi Israel telah terlebih dahulu menyatakan penolakan atas pembetukan RUU tersebut. Badan think-thank itu mengatakan, RUU itu akan mencederasi kebebasan beragama di Israel, dan pembentukan RUU ini terlalu berbau politis.
"Tujuan nyata dari RUU ini adalah bukan untuk mencegah kebisingan, melainkan untuk menciptakan suara yang akan merugikan semua masyarakat dan upaya untuk membangun realitas antara Yahudi dan Arab," kata seorang pejabat Institut Demokrasi Israel, Nasreen Hadad Haj-Yahya.
(esn)