Sosok Teroris Santoso Pikat ABG Indonesia Jadi Sorotan
A
A
A
JAKARTA - Daya tarik kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) saat dipimpin teroris Santoso telah memikat remaja 16 tahun asal Sumatra Barat untuk ikut bergabung. Media Asia, seperti The Straits Times, menyoroti fenomena ini terlebih Europol menyatakan anak-anak militan asing dilatih di kamp pelatihan ISIS di Suriah, termasuk dari Indonesia untuk jadi generasi jihadis selanjutnya.
Anak baru gede (ABG) yang terpikat kelompok Santoso itu meninggalkan rumah dan melakukan perjalanan ke Poso, Sulawesi Tengah, untuk bergabung dengan MIT. Remaja itu pada bulan lalu ditemukan pasukan Indonesia yang terlibat dalam Operasi Tinombala yang misinya untuk menangkap sisa-sisa anggota MIT.
Remaja tersebut hanya mempunyai pakaian yang dipakai beserta uang sebesar Rp86 ribu. Ar—inisial samaran—mengaku sedang dalam perjalanan ke Gunung Biru, tempat persembunyian kelompok MIT yang pernah dipimpin oleh Santoso, tersangka teroris yang tewas dalam baku tembak dengan pasukan Indonesia pada Juli lalu.
Ar belajar tentang MIT dari media sosial. Dia dilaporkan menjadi sosok radikal setelah bertemu teman secara online yang kemudian membawanya ke Poso.
Setelah ditemukan pasukan Indonesia, Ar tidak ditahan. Dia dikirim ke rumah orang tuanya di Agam, Sumatra Barat. Keputusan untuk tidak menahan Ar adalah bagian dari strategi deradikalisasi yang sedang dijalankan otoritas Indonesia.
”Dia masih sangat muda, sehingga akan lebih baik untuk mencoba memahami mengapa dia melakukan apa yang dia lakukan,” kata juru bicara Operasi Tinombala, Hari Suprapto, seperti dikutip The Straits Times, Senin (24/10/2016).
Indonesia telah melihat sejumlah kasus terorisme yang melibatkan pemuda, termasuk pemuda 18 tahun bernama Ivan Armadi Hasugian yang pada Agustus lalu menikam seorang imam Katolik di sebuah gereja di Medan setelah bom yang dibawanya gagal meledak.
Ar, Ivan dan sejumlah remaja lain jadi fokus dari upaya deradikalisasi yang dijalankan multi-lembaga di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menjangkau kaum muda dalam upaya untuk mencegah indoktrinasi dini ekstremisme, terutama dari anggota kelompok teror domestik loyalis kelompok ISIS.
Program deradikalisasi terhadap remaja-remaja yang terpikat kelompok ekstremis itu dipimpin polisi dan Badan Penanggulangan Terorisme Nasional (BNPT). Dalam program itu, Departemen Sosial dan kelompok agama seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah turut dilibatkan.
Pada bulan Juli, Europol memperingatkan bahwa anak-anak militan asing di wilayah ISIS sedang dilatih untuk menjadi generasi teroris berikutnya.
Laporan Europol itu muncul setelah ISIS mengunggah video propaganda dan foto online yang menampilkan remaja dan anak-anak berlatih dengan senapan serbu dan senjata lainnya. Ada juga gambar mengerikan, di mana sosok balita memperagakan “pemenggalan” terhadap bonek beruang putih di depan bendera hitam kelompok itu.
Salah satu video yang di-posting di bulan Mei tersebut secara khusus menunjukkan anak laki-laki dari Indonesia dan Malaysia memang senjata api di sebuah kamp paramiliter di Suriah.
Ahli radikalisme yang berbasis di Jakarta, Adhe Bhakti, memperkirakan bahwa antara 80 dan 100 anak-anak mungkin telah berada di Irak atau Suriah. Tapi, otoritas Indonesia tidak menentukan jumlah yang pasti.
Kepala BNPT Suhardi Alius sepakat bahwa meningkatnya jumlah kasus terorisme yang melibatkan anak-anak terkait dengan kelompok ekstremis telah jadi perhatian yang nyata. ”Jika memang ada 500 (militan Indonesia) di Suriah, dan setiap militan pria memiliki dua anak, itu jadi risiko memiliki 1.000 militan lainnya,” katanya. ”Dan ada banyak anak dalam situasi yang sama, jadi kita harus menyelamatkan anak-anak ini.”
Anak baru gede (ABG) yang terpikat kelompok Santoso itu meninggalkan rumah dan melakukan perjalanan ke Poso, Sulawesi Tengah, untuk bergabung dengan MIT. Remaja itu pada bulan lalu ditemukan pasukan Indonesia yang terlibat dalam Operasi Tinombala yang misinya untuk menangkap sisa-sisa anggota MIT.
Remaja tersebut hanya mempunyai pakaian yang dipakai beserta uang sebesar Rp86 ribu. Ar—inisial samaran—mengaku sedang dalam perjalanan ke Gunung Biru, tempat persembunyian kelompok MIT yang pernah dipimpin oleh Santoso, tersangka teroris yang tewas dalam baku tembak dengan pasukan Indonesia pada Juli lalu.
Ar belajar tentang MIT dari media sosial. Dia dilaporkan menjadi sosok radikal setelah bertemu teman secara online yang kemudian membawanya ke Poso.
Setelah ditemukan pasukan Indonesia, Ar tidak ditahan. Dia dikirim ke rumah orang tuanya di Agam, Sumatra Barat. Keputusan untuk tidak menahan Ar adalah bagian dari strategi deradikalisasi yang sedang dijalankan otoritas Indonesia.
”Dia masih sangat muda, sehingga akan lebih baik untuk mencoba memahami mengapa dia melakukan apa yang dia lakukan,” kata juru bicara Operasi Tinombala, Hari Suprapto, seperti dikutip The Straits Times, Senin (24/10/2016).
Indonesia telah melihat sejumlah kasus terorisme yang melibatkan pemuda, termasuk pemuda 18 tahun bernama Ivan Armadi Hasugian yang pada Agustus lalu menikam seorang imam Katolik di sebuah gereja di Medan setelah bom yang dibawanya gagal meledak.
Ar, Ivan dan sejumlah remaja lain jadi fokus dari upaya deradikalisasi yang dijalankan multi-lembaga di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menjangkau kaum muda dalam upaya untuk mencegah indoktrinasi dini ekstremisme, terutama dari anggota kelompok teror domestik loyalis kelompok ISIS.
Program deradikalisasi terhadap remaja-remaja yang terpikat kelompok ekstremis itu dipimpin polisi dan Badan Penanggulangan Terorisme Nasional (BNPT). Dalam program itu, Departemen Sosial dan kelompok agama seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah turut dilibatkan.
Pada bulan Juli, Europol memperingatkan bahwa anak-anak militan asing di wilayah ISIS sedang dilatih untuk menjadi generasi teroris berikutnya.
Laporan Europol itu muncul setelah ISIS mengunggah video propaganda dan foto online yang menampilkan remaja dan anak-anak berlatih dengan senapan serbu dan senjata lainnya. Ada juga gambar mengerikan, di mana sosok balita memperagakan “pemenggalan” terhadap bonek beruang putih di depan bendera hitam kelompok itu.
Salah satu video yang di-posting di bulan Mei tersebut secara khusus menunjukkan anak laki-laki dari Indonesia dan Malaysia memang senjata api di sebuah kamp paramiliter di Suriah.
Ahli radikalisme yang berbasis di Jakarta, Adhe Bhakti, memperkirakan bahwa antara 80 dan 100 anak-anak mungkin telah berada di Irak atau Suriah. Tapi, otoritas Indonesia tidak menentukan jumlah yang pasti.
Kepala BNPT Suhardi Alius sepakat bahwa meningkatnya jumlah kasus terorisme yang melibatkan anak-anak terkait dengan kelompok ekstremis telah jadi perhatian yang nyata. ”Jika memang ada 500 (militan Indonesia) di Suriah, dan setiap militan pria memiliki dua anak, itu jadi risiko memiliki 1.000 militan lainnya,” katanya. ”Dan ada banyak anak dalam situasi yang sama, jadi kita harus menyelamatkan anak-anak ini.”
(mas)