Tegang dengan Trump, Bomber Nuklir China Manuver di Laut China Selatan

Selasa, 13 Desember 2016 - 01:09 WIB
Tegang dengan Trump,...
Tegang dengan Trump, Bomber Nuklir China Manuver di Laut China Selatan
A A A
BEIJING - China telah menerbangkan pesawat pengebom (bomber) yang mampu membawa bom nuklir di wilayah sengketa di Laut China Selatan. Manuver pesawat bomber nuklir itu terjadi setelah China bersitegang dengan presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Ketegangan dipicu oleh pembicaraan telepon antara Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dengan Donald beberapa hari lalu.

Menurut para pejabat AS, pesawat bomber nuklir China, Xian H-6, terpantau terbang di atas wilayah sengketa “Nine-Dash Line” di Laut China Selatan pada hari Kamis pekan lalu.

Menuver itu tercatat sudah yang kedua kalinya dilakukan pesawat pengebom nuklir China di wilayah sengketa sejak Trump terpilih sebagai Presiden AS.

Para pejabat AS mengatakan kepada Fox News, penerbangan pesawat pengebom itu sengaja dilakukan China untuk mengirim pesan ke kantor Trump setelah presiden pengganti Obama itu kontak telepon dengan Tsai.

Trump telah menegaskan bahwa dia tidak perlu izin China untuk berbicara dengan siapa pun.

Kendati demikian, Ashley Townshend dari Pusat Studi AS di University of Sydney, mengatakan penerbangan pesawat bomber nuklir Cina tidak mungkin menjadi respons langsung terhadap kontak teleopn Trump dan Tsai.

”Militer China telah memperluas ruang lingkup dan frekuensi patroli angkatan udara di atas Laut China Selatan dan Pasifik Barat selama beberapa tahun,” katanya, seperti dikutip news.com.au, Selasa (13/12/2016).

”Sementara ini mengirim pesan tentang China yang memperluas kepentingan strategis dan jangkauan militernya, umumnya bukan respons provokasi ‘tit-for-tat’ tertentu karena AS,” ujarnya.

Townshend melanjutkan, patroli pesawat pengebom nuklir China tersebut cenderung terus terlepas dari kebijakan AS.

China sendiri telah memperingatkan bahwa setiap pelanggaran kebijakan "One-China" akan menghancurkan hubungan China dan AS. Kebijakan “One-China” adalah pengakuan dari setiap negara termasuk AS bahwa hanya ada satu China yang berkuasa atas wilayahnya, termasuk Taiwan yang hingga kini dianggap Beijing sebagai provinsinya yang membangkang.

AS memutuskan hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan pada tahun 1979 dan tidak ada Presiden AS atau Presiden terpilih yang telah berbicara dengan pemimpin Taiwan sejak saat itu, sebelum Donald Trump.

Sementara itu, Trump mengisyaratkan akan mengakhiri kebijakan ‘One-China”. ”Saya tidak ingin China mendikte saya,” kata Trump. ”Saya tidak tahu mengapa kita harus terikat dengan kebijakan ‘One-China’ kecuali kita membuat kesepakatan dengan China yang berkaitan dengan hal-hal lain, termasuk perdagangan,” ujarnya.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2605 seconds (0.1#10.140)