Rusia Klaim Serangan ke Ukraina Hantam Sistem Energi dan Komando Militer
loading...
A
A
A
MOSKOW - Militer Rusia memulai serangan rudal presisi skala besar pada infrastruktur Ukraina, komunikasi militer dan pos komando pada hari Senin. Aksi ini sebagai pembalasan atas serangan teror hari Sabtu lalu terhadap Jembatan Crimea dan tindakan teror lainnya yang dikaitkan dengan Kiev.
Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan pihaknya telah melanjutkan kampanye serangan rudal presisi di Ukraina.
“Hari ini Angkatan Bersenjata Federasi Rusia terus melakukan serangan massal menggunakan senjata berbasis udara dan laut berpresisi tinggi, jarak jauh di fasilitas komando dan kontrol militer dan sistem energi Ukraina," kata juru bicara Kementerian Pertahanan Rusia Igor Konashenkov dalam sebuah pernyataan.
"Tujuan serangan telah tercapai. Semua target yang ditentukan terkena," sambungnya seperti dikutip dari Sputnik, Selasa (11/10/2022).
Sebelumnya pada hari itu, media Ukraina melaporkan bahwa peringatan udara nasional telah dikeluarkan, dan serangkaian ledakan terjadi di Kiev. Ledakan baru juga dilaporkan terjadi di beberapa wilayah, diantaranya Zaporizhzhia, Mykolaivska, Odesa dan Vinnytsia. Ledakan diikuti oleh pemadaman listrik di beberapa daerah.
Serangan hari Selasa adalah serangan hari kedua berturut-turut yang menargetkan infrastruktur listrik Ukraina dan sistem komando serta komunikasi yang digunakan oleh militer Ukraina. Serangan Senin kemarin mencapai target di lebih dari 1.000 km, menghancurkan atau merusak beberapa fasilitas militer, dan menyebabkan pemadaman listrik yang meluas.
Media Ukraina melaporkan bahwa 11 orang tewas dan lebih dari dua lusin lainnya terluka, dan sebanyak 200 rudal digunakan.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa serangan itu merupakan tanggapan terhadap serangan Ukraina yang menargetkan wilayah Rusia, termasuk serangan Sabtu di Jembatan Crimea, yang menewaskan tiga warga sipil, pipa gas TurkStream, listrik Rusia dan infrastruktur transportasi, dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kursk, antara lain.
"Jika upaya untuk melakukan serangan teror terhadap wilayah kami terus berlanjut, tanggapan Rusia akan keras dan akan sesuai dalam skala dengan tingkat ancaman yang diajukan ke Federasi Rusia," Putin memperingatkan.
Pejabat Ukraina mengklaim Kiev bertanggung jawab atas serangan Jembatan Crimea di media sosial dan kepada New York Times. Namun, seorang pejabat senior Ukraina yang bertanggung jawab atas operasi sabotase yang terkena prank warga Rusia secara tidak sengaja mengungkapkan bahwa Washington memiliki hak untuk memveto semua operasi Ukraina dan Kiev tidak dapat "maju" melakukan serangan di Jembatan Crimea kecuali pejabat AS menyetujuinya.
Sampai saat ini, Rusia umumnya menghindari penargetan infrastruktur penting selama operasi militer khusus di Ukraina, sejalan dengan tujuan yang digariskan di awal, yang oleh Presiden Putin ditandai sebagai "de-Nazifikasi" pemerintah di Kiev, dan "de-militerisasi" angkatan bersenjata negara itu untuk menghentikan serangan terhadap Donbass.
Eskalasi yang terjadi setelah ledakan Jembatan Crimea mengancam untuk mengintensifkan konflik, dengan media Barat melaporkan bahwa pemerintah Zelensky telah menegaskan kembali tuntutannya untuk rudal jarak jauh untuk memungkinkannya menyerang jauh ke dalam wilayah Rusia.
Moskow telah berulang kali memperingatkan Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya agar tidak mengirim persenjataan canggih ke Ukraina, dengan mengatakan pengiriman semacam itu mengancam untuk memperluas krisis, dan bahwa bagian dari senjata ini - termasuk hal-hal seperti senjata anti-pesawat portabel yang dapat menembak jatuh pesawat sipil, dapat berakhir di pasar gelap senjata internasional dan di tangan kelompok teroris.
Militer Rusia dan milisi dan pejabat di Donbass dan wilayah perbatasan lainnya juga telah mengindikasikan bahwa pihak Ukraina menggunakan sebagian besar persenjataan beratnya yang bersumber dari Barat untuk melancarkan serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil.
Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan pihaknya telah melanjutkan kampanye serangan rudal presisi di Ukraina.
“Hari ini Angkatan Bersenjata Federasi Rusia terus melakukan serangan massal menggunakan senjata berbasis udara dan laut berpresisi tinggi, jarak jauh di fasilitas komando dan kontrol militer dan sistem energi Ukraina," kata juru bicara Kementerian Pertahanan Rusia Igor Konashenkov dalam sebuah pernyataan.
"Tujuan serangan telah tercapai. Semua target yang ditentukan terkena," sambungnya seperti dikutip dari Sputnik, Selasa (11/10/2022).
Sebelumnya pada hari itu, media Ukraina melaporkan bahwa peringatan udara nasional telah dikeluarkan, dan serangkaian ledakan terjadi di Kiev. Ledakan baru juga dilaporkan terjadi di beberapa wilayah, diantaranya Zaporizhzhia, Mykolaivska, Odesa dan Vinnytsia. Ledakan diikuti oleh pemadaman listrik di beberapa daerah.
Serangan hari Selasa adalah serangan hari kedua berturut-turut yang menargetkan infrastruktur listrik Ukraina dan sistem komando serta komunikasi yang digunakan oleh militer Ukraina. Serangan Senin kemarin mencapai target di lebih dari 1.000 km, menghancurkan atau merusak beberapa fasilitas militer, dan menyebabkan pemadaman listrik yang meluas.
Media Ukraina melaporkan bahwa 11 orang tewas dan lebih dari dua lusin lainnya terluka, dan sebanyak 200 rudal digunakan.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa serangan itu merupakan tanggapan terhadap serangan Ukraina yang menargetkan wilayah Rusia, termasuk serangan Sabtu di Jembatan Crimea, yang menewaskan tiga warga sipil, pipa gas TurkStream, listrik Rusia dan infrastruktur transportasi, dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kursk, antara lain.
"Jika upaya untuk melakukan serangan teror terhadap wilayah kami terus berlanjut, tanggapan Rusia akan keras dan akan sesuai dalam skala dengan tingkat ancaman yang diajukan ke Federasi Rusia," Putin memperingatkan.
Pejabat Ukraina mengklaim Kiev bertanggung jawab atas serangan Jembatan Crimea di media sosial dan kepada New York Times. Namun, seorang pejabat senior Ukraina yang bertanggung jawab atas operasi sabotase yang terkena prank warga Rusia secara tidak sengaja mengungkapkan bahwa Washington memiliki hak untuk memveto semua operasi Ukraina dan Kiev tidak dapat "maju" melakukan serangan di Jembatan Crimea kecuali pejabat AS menyetujuinya.
Sampai saat ini, Rusia umumnya menghindari penargetan infrastruktur penting selama operasi militer khusus di Ukraina, sejalan dengan tujuan yang digariskan di awal, yang oleh Presiden Putin ditandai sebagai "de-Nazifikasi" pemerintah di Kiev, dan "de-militerisasi" angkatan bersenjata negara itu untuk menghentikan serangan terhadap Donbass.
Eskalasi yang terjadi setelah ledakan Jembatan Crimea mengancam untuk mengintensifkan konflik, dengan media Barat melaporkan bahwa pemerintah Zelensky telah menegaskan kembali tuntutannya untuk rudal jarak jauh untuk memungkinkannya menyerang jauh ke dalam wilayah Rusia.
Moskow telah berulang kali memperingatkan Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya agar tidak mengirim persenjataan canggih ke Ukraina, dengan mengatakan pengiriman semacam itu mengancam untuk memperluas krisis, dan bahwa bagian dari senjata ini - termasuk hal-hal seperti senjata anti-pesawat portabel yang dapat menembak jatuh pesawat sipil, dapat berakhir di pasar gelap senjata internasional dan di tangan kelompok teroris.
Militer Rusia dan milisi dan pejabat di Donbass dan wilayah perbatasan lainnya juga telah mengindikasikan bahwa pihak Ukraina menggunakan sebagian besar persenjataan beratnya yang bersumber dari Barat untuk melancarkan serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil.
(ian)