Putin, Kaisar Era Baru Rusia

Jum'at, 03 Juli 2020 - 07:02 WIB
loading...
Putin, Kaisar Era Baru...
Vladimir Putin. Foto/Sputnik/Reuters
A A A
MOSKOW - Vladimir Putin menjadi kaisar di era baru Rusia? Simpulan ini tidak berlebihan. Walaupun secara ketatanegaraan Negeri Beruang Merah sudah merupakan negara demokrasi, secara faktual Putin berkesempatan memimpin negeri ini hingga 2036, bahkan sangat mungkin sampai seumur hidup.

Kondisi demikian terbuka lebar setelah mayoritas masyarakat Rusia mendukung reformasi konstitusi yang dilakukan lewat mekanisme demokratis, yakni referendum. Dengan hasil ini, masa jabatan Putin yang akan berakhir pada 2024 diizinkan diperpanjang hingga 2036.

Walaupun reformasi konstitusi itu memberi catatan perpanjangan terjadi bila Putin menang pemilu sebanyak dua kali, secara faktual tidak ada halangan yang mampu membendungnya untuk melanggengkan kekuasaan.

Seperti diketahui, saat ini Putin menjabat sebagai presiden keempat kalinya. Dia juga pernah menjabat sebagai perdana menteri. Total dia telah berkuasa selama 20 tahun terakhir. “Putin kini adalah sebuah institusi, entitas politik,” kata Andrei Kolesnikov dari Carnegie Moscow Center seperti dilansir The Moscow Times. (Baca: Menolak Diperkosa, Gadis 14 di India Tewas Dibakar)

Dukungan mayoritas masyarakat Rusia terhadap reformasi konstitusi menunjukkan begitu kuatnya pengaruh Putin. Mereka menganggap negaranya tidak bisa dilepaskan dari Putin. Jika pada era Uni Soviet memiliki ideologi sebagai pemersatu bangsa, Rusia kini justru menganggap Putin sebagai “ideologi”.

Putin bukan sekadar sebagai pemimpin suatu bangsa yang menentukan arah perkembangannya, tetapi dia menjadi “dewa kecil” yang bukan hanya dipatuhi, tetapi juga dibanggakan. Dia pun dianggap sebagai satu-satunya orang yang mampu memperteguh Rusia sebagai “Uni Soviet” baru.

Putin juga dianggap sebagai orang yang mampu membawa Rusia dalam percaturan konflik global dan memperkuat posisi geopolitik Rusia dalam persaingan dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Karena itu dia disebut sebagai pemimpin yang mampu membawa nama Rusia tetap bersinar bukan hanya di negaranya, tetapi juga di mancanegara.

Kolesnikov mengakui kecanggihan politik Putin. Menurut dia, Putin menggunakan suara publik untuk membuat orang biasa menyadari bahwa dia memang layak memperpanjang kekuasaan. Dia juga ingin mengebiri dominasi ideologi ultrakonservatif. “Putin mengombinasikan model pemerintahan otoriter dan kapitalisme negara sejak 2003,” ujar Kolesnikov. Kombinasi tersebut dianggap tepat bagi Putin yang ingin terus melanggengkan kekuasaan.

Dalam pandangan lain, Gleb Pavlovsky, pakar politik Rusia dan mantan konsultan politik Kremlin, mengungkapkan Kremlin akan mendapatkan kekuasaan dengan mudah dan tidak perlu menganggap penting strategi yang dilakukan kubu oposisi. “Rakyat bisa jadi masih marah dengan pemerintah, tetapi mereka tidak memiliki alternatif lain selain Putin,” kata Pavlovksy seperti dilansir Al-Jazeera.

Hal berbeda juga diungkapkan analis politik di Moskow, Ekaterina Schulmann. Dia memperingatkan bahwa referendum justru akan gagal untuk memperkuat kekuasaan Putin. Publik sudah menyadari bahwa dampak virus corona sudah sangat merugikan rakyat. “Saya pikir pemilu tidak akan mampu melegitimasi siapa pun,” katanya.

Adapun kubu oposisi Rusia juga tak bisa bertindak banyak. Mereka hanya bisa beretorika. Pemimpin oposisi Rusia, Alexei Navalny, mengkritik referendum tersebut sebagai upaya populis untuk mendesain Putin (67) agar bisa menjadi presiden seumur hidup. “Hasil referendum sebagai ‘kebohongan besar’ yang tidak mencerminkan pendapat publik yang sebenarnya di Rusia,” katanya. (Baca juga: Warga Rusia Dukung Amandemen, Putin Berkuasa hingga 2036)

Svetlana (58) seorang guru bahasa Inggris, mengatakan dirinya tidak mendukung perubahan konstitusi. Dia menginginkan pemimpin yang lebih baik bagi kedua anaknya yang sulit mencari pekerjaan. “Semua itu dilakukan Putin untuk tetap berkuasa,” katanya.

Untuk diketahui, pada referendum yang digelar selama satu pekan, dari 87% suara yang telah dihitung, lebih dari 77% pemilih dalam referendum tersebut mendukung reformasi konstitusi. Menurut keterangan Komisi Pemilihan Umum, jumlah pemilih yang memberikan suara mereka mencapai 64% dari seluruh pemilih yang terdaftar.

Referendum yang berlangsung selama tujuh hari itu tidak mendapat pengawasan secara independen dan salinan konstitusi baru sudah beredar di toko-toko buku dalam periode tersebut. Sebelum pemungutan suara berakhir, kementerian dalam negeri telah menyatakan tidak ada pelanggaran yang bisa memengaruhi hasil.

Tempat pemungutan suara yang terakhir tutup di negara dengan 11 zona waktu itu adalah tempat pemungutan suara yang berada di Kaliningrad, pesisir Laut Baltik, pada pukul 18.00 GMT. (Baca juga: Laporkan Kartu Prakerja ke Ombudsman, ICW Sebut Ada Konflik Kepentingan)

Putin dan para pendukungnya bersikeras bahwa rangkaian reformasi konstitusi—yang mencapai 200 amendemen—diperlukan guna menjamin stabilitas nasional. Putin yang kini berusia 67 tahun mengatakan dirinya tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai presiden ketika masa jabatannya berakhir pada 2024. Meski demikian, menurutnya, penting bahwa dirinya punya pilihan untuk mencalonkan diri lagi.

Kepemimpinan Kuat Hadirkan Stabilitas?

Putin selalu membenarkan dirinya dengan mempertahankan rezim politik konservatif. Dia juga selalu mengatakan Rusia selalu menghadapi turbulensi di masa lalu. “Kepemimpinan yang kuat akan menghadirkan stabilitas,” sebut Putin.

Dia menganggap amendemen konstitusi justru akan menjamin stabilitas. Dia juga selalu mengabaikan upaya untuk mencari penggantinya di antara jajaran elite Rusia. Itu dikarenakan dia memang ingin melanjutkan kekuasaannya. (Lihat videonya: Begal Motor Menangis Cium Kaki Ibunya Saat Dijenguk)

“Saya tahu dalam dua tahun ini semua bekerja normal di semua level pemerintahan. Semua mata tertuju kepada siapa yang akan menggantikannya,” kata Putin dalam wawancara dengan stasiun televisi pemerintah. Dia justru menyarankan seluruh rakyat untuk tetap bekerja saja. “Tak perlu mencari pengganti saya,” tegasnya.

Dalam pandangan Tatiana Stanovaya, kepala konsultan politik R-Politik, keputusan Putin untuk tetap menggelar referendum di tengah wabah korona menunjukkan gaya politiknya. “Lebih cepat, lebih baik,” kata Stanovaya kepada CBS News. Referendum juga digelar di tengah popularitasnya yang terus merosot. “Dia (Putin) suka menggelar sesuatu dalam mode operasi khusus,” ucapnya. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2002 seconds (0.1#10.140)