Anggota Kesepakatan Abraham Bertemu Juli, Bentuk Aliansi Militer?
loading...
A
A
A
MANAMA - Penandatangan Kesepakatan Abraham akan bertemu pada pertengahan Juli untuk kedua kalinya, setelah konferensi tingkat tinggi (KTT) Negev yang diadakan pada Maret.
Kesepakatan Abraham merupakan pakta normalisasi antara Israel, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain dan Maroko.
Pertemuan Juli itu akan berlangsung di ibu kota Bahrain, Manama, dan juga akan menyertakan peserta dari Yordania, Mesir, dan Amerika Serikat (AS).
Pada September 2020, Israel, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain menandatangani perjanjian normalisasi bersejarah yang membuka jalan bagi pembentukan hubungan dengan negara-negara Muslim lainnya, Sudan dan Maroko.
Sejak itu semua pihak menandatangani sejumlah pakta penting di bidang ekonomi dan pertahanan.
Meskipun masih belum diketahui apa agendanya, Yusuf Mubarak, pengamat politik yang berbasis di Manama mengatakan pertemuan itu diharapkan menindaklanjuti topik-topik KTT Negev dan akan memberikan "pandangan mendalam" terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perkembangan di Ukraina dan Iran.
Mengenai Ukraina, para pejabat diperkirakan membahas gangguan ketahanan pangan dan energi yang dipicu oleh dimulainya permusuhan di negara Eropa pada 24 Februari.
Pada topik Iran, pembicaraan akan fokus pada pembentukan kesepakatan nuklir dengan Republik Islam Iran dan aktivitas sekutu Iran di kawasan itu, seperti pemberontak Houthi di Yaman dan kelompok Syiah Lebanon, Hizbullah.
Mesir dan beberapa negara Teluk semakin prihatin dengan perkembangan terakhir di kawasan itu.
Di Lebanon, Hizbullah telah berhasil mempertahankan kursinya di legislatif setelah pemilu parlemen Mei meskipun Aliansi 8 Maret kehilangan mayoritas di majelis itu.
Di Yaman, koalisi pimpinan Saudi telah gagal melenyapkan pemberontak Houthi yang menguasai sebagian besar negara.
Ketidakmampuan koalisi Saudi untuk mencapai kemenangan telah mendorong Riyadh menandatangani gencatan senjata dengan kelompok pemberontak dan memperpanjangnya dua bulan lagi.
Namun, para ahli telah memperingatkan bahwa itu hanya masalah waktu sampai ketegangan berkobar lagi.
Jika itu terjadi, blok yang dipimpin Riyadh akan dipaksa bereaksi, dan mereka akan membutuhkan senjata untuk melakukannya.
"Satu topik menarik (yang diharapkan akan dibahas selama KTT) adalah sistem Iron Beam Israel," ungkap Mubarak.
Iron Beam adalah sistem pertahanan udara senjata energi terarah yang dikembangkan Rafael Israel.
"Ini (menarik) karena tujuan gandanya: menjatuhkan proyektil musuh dengan murah dan memenangkan hati dan pikiran sekutu," ujar dia.
Bentuk Aliansi Militer?
Pembicaraan tentang pembentukan front militer gabungan, semacam NATO regional, telah dikemukakan sebelumnya.
Tahun lalu, dilaporkan bahwa UEA, Israel, Mesir dan Bahrain telah bekerja menciptakan aliansi semacam itu untuk mengekang Iran dan sekutunya di Timur Tengah.
Terlepas dari beberapa pertemuan, bagaimanapun, kata-kata belum diterjemahkan ke dalam tindakan.
Sebagian alasannya, menurut Mubarak, adalah meletusnya pandemi virus corona dan pembatasan perjalanan yang dipicunya.
Faktor lain yang menghambat kemajuan adalah ketidakstabilan politik di Israel, yang telah melalui empat putaran pemilu dalam tiga tahun terakhir, serta ketegangan antara negara Yahudi dan Hamas.
Sekarang, bagaimanapun, menurut analis politik, waktunya telah tiba untuk menerjemahkan kata-kata menjadi tindakan, dengan Israel, UEA dan Bahrain diharapkan memimpin aliansi baru.
"Kedua negara Teluk tidak memiliki warisan perang dengan Israel. Mereka juga tidak memiliki kehadiran Palestina yang besar, dua faktor yang berkontribusi pada perdamaian dingin (seperti yang dimiliki Israel dengan Yordania dan Mesir)," papar dia.
"(Begitu kerjasama ini terbukti berhasil), akan bermanfaat dalam mengusulkan implementasi pencapaian ini di Mesir, Yordania, Maroko, Sudan dan negara regional pendukung perdamaian di masa depan," ujar dia.
Beberapa negara Teluk yang saat ini tidak memiliki hubungan resmi dengan Israel baru-baru ini mulai membuat tanda-tanda bahwa mereka akan tertarik untuk lebih dekat dengan negara Yahudi itu.
Surat kabar Kuwait A-Seyyasah, misalnya, menerbitkan artikel halaman depan tentang peluang yang hilang dari negara-negara Arab dengan tidak mencapai kesepakatan dengan para pejabat di Yerusalem.
Di Arab Saudi, media telah mulai memberikan platform untuk wawancara dengan para politisi dan pakar Israel.
“Israel (sudah) memiliki hubungan formal dengan satu atau lain cara dengan empat negara Teluk, meskipun telah terjalin selama beberapa dekade. (Tetapi forum yang akan datang) diantisipasi untuk memberikan (lampu hijau) untuk tindakan yang sudah disepakati dan semoga yang baru juga,” pungkas dia.
Kesepakatan Abraham merupakan pakta normalisasi antara Israel, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain dan Maroko.
Pertemuan Juli itu akan berlangsung di ibu kota Bahrain, Manama, dan juga akan menyertakan peserta dari Yordania, Mesir, dan Amerika Serikat (AS).
Pada September 2020, Israel, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain menandatangani perjanjian normalisasi bersejarah yang membuka jalan bagi pembentukan hubungan dengan negara-negara Muslim lainnya, Sudan dan Maroko.
Sejak itu semua pihak menandatangani sejumlah pakta penting di bidang ekonomi dan pertahanan.
Meskipun masih belum diketahui apa agendanya, Yusuf Mubarak, pengamat politik yang berbasis di Manama mengatakan pertemuan itu diharapkan menindaklanjuti topik-topik KTT Negev dan akan memberikan "pandangan mendalam" terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perkembangan di Ukraina dan Iran.
Mengenai Ukraina, para pejabat diperkirakan membahas gangguan ketahanan pangan dan energi yang dipicu oleh dimulainya permusuhan di negara Eropa pada 24 Februari.
Pada topik Iran, pembicaraan akan fokus pada pembentukan kesepakatan nuklir dengan Republik Islam Iran dan aktivitas sekutu Iran di kawasan itu, seperti pemberontak Houthi di Yaman dan kelompok Syiah Lebanon, Hizbullah.
Mesir dan beberapa negara Teluk semakin prihatin dengan perkembangan terakhir di kawasan itu.
Di Lebanon, Hizbullah telah berhasil mempertahankan kursinya di legislatif setelah pemilu parlemen Mei meskipun Aliansi 8 Maret kehilangan mayoritas di majelis itu.
Di Yaman, koalisi pimpinan Saudi telah gagal melenyapkan pemberontak Houthi yang menguasai sebagian besar negara.
Ketidakmampuan koalisi Saudi untuk mencapai kemenangan telah mendorong Riyadh menandatangani gencatan senjata dengan kelompok pemberontak dan memperpanjangnya dua bulan lagi.
Namun, para ahli telah memperingatkan bahwa itu hanya masalah waktu sampai ketegangan berkobar lagi.
Jika itu terjadi, blok yang dipimpin Riyadh akan dipaksa bereaksi, dan mereka akan membutuhkan senjata untuk melakukannya.
"Satu topik menarik (yang diharapkan akan dibahas selama KTT) adalah sistem Iron Beam Israel," ungkap Mubarak.
Iron Beam adalah sistem pertahanan udara senjata energi terarah yang dikembangkan Rafael Israel.
"Ini (menarik) karena tujuan gandanya: menjatuhkan proyektil musuh dengan murah dan memenangkan hati dan pikiran sekutu," ujar dia.
Bentuk Aliansi Militer?
Pembicaraan tentang pembentukan front militer gabungan, semacam NATO regional, telah dikemukakan sebelumnya.
Tahun lalu, dilaporkan bahwa UEA, Israel, Mesir dan Bahrain telah bekerja menciptakan aliansi semacam itu untuk mengekang Iran dan sekutunya di Timur Tengah.
Terlepas dari beberapa pertemuan, bagaimanapun, kata-kata belum diterjemahkan ke dalam tindakan.
Sebagian alasannya, menurut Mubarak, adalah meletusnya pandemi virus corona dan pembatasan perjalanan yang dipicunya.
Faktor lain yang menghambat kemajuan adalah ketidakstabilan politik di Israel, yang telah melalui empat putaran pemilu dalam tiga tahun terakhir, serta ketegangan antara negara Yahudi dan Hamas.
Sekarang, bagaimanapun, menurut analis politik, waktunya telah tiba untuk menerjemahkan kata-kata menjadi tindakan, dengan Israel, UEA dan Bahrain diharapkan memimpin aliansi baru.
"Kedua negara Teluk tidak memiliki warisan perang dengan Israel. Mereka juga tidak memiliki kehadiran Palestina yang besar, dua faktor yang berkontribusi pada perdamaian dingin (seperti yang dimiliki Israel dengan Yordania dan Mesir)," papar dia.
"(Begitu kerjasama ini terbukti berhasil), akan bermanfaat dalam mengusulkan implementasi pencapaian ini di Mesir, Yordania, Maroko, Sudan dan negara regional pendukung perdamaian di masa depan," ujar dia.
Beberapa negara Teluk yang saat ini tidak memiliki hubungan resmi dengan Israel baru-baru ini mulai membuat tanda-tanda bahwa mereka akan tertarik untuk lebih dekat dengan negara Yahudi itu.
Surat kabar Kuwait A-Seyyasah, misalnya, menerbitkan artikel halaman depan tentang peluang yang hilang dari negara-negara Arab dengan tidak mencapai kesepakatan dengan para pejabat di Yerusalem.
Di Arab Saudi, media telah mulai memberikan platform untuk wawancara dengan para politisi dan pakar Israel.
“Israel (sudah) memiliki hubungan formal dengan satu atau lain cara dengan empat negara Teluk, meskipun telah terjalin selama beberapa dekade. (Tetapi forum yang akan datang) diantisipasi untuk memberikan (lampu hijau) untuk tindakan yang sudah disepakati dan semoga yang baru juga,” pungkas dia.
(sya)