Ukraina Tuding Rusia Mainkan Hunger Games, Krisis Pangan Mengancam Dunia
loading...
A
A
A
KIEV - Pemerintah Ukraina marah dan menuduh militer Rusia terus memblokade pelabuhan-pelabuhan dagang.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba menuduh Rusia memainkan “hunger games” yang mengancam dunia dengan bencana kelaparan pada setidaknya 400 juta orang.
Pasalnya, selama ini Ukraina merupakan penyuplai bahan makanan berupa gandum, sereal, jagung, dan minyak bunga matahari kepada 400 juta orang di Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia.
Kuleba melontarkan kecaman tersebut dalam postingnya di Twitter. Dia juga mengatakan PBB dan Ukraina sedang mengerjakan "operasi" untuk memastikan rute perdagangan guna mengangkut bahan pangan dengan aman ke luar negeri.
Dia mengecam Rusia karena terus mempertahankan blokade laut sambil menyalahkan Ukraina atas ancaman kekurangan pangan yang ada.
"Rusia memainkan hunger games dengan dunia dengan cara memblokir ekspor makanan Ukraina dengan satu tangan dan mencoba mengalihkan kesalahan pada Ukraina dengan tangan lainnya," tulis Kuleba.
Sebelumnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky juga berkali-kali memperingatkan lebih dari 20 juta ton biji-bijian tertahan di negara itu.
Bahan pangan yang segera membusuk jika tidak cepat dikirim itu berpotensi menyebabkan kekurangan pangan di seluruh dunia dan menaikkan harga.
Zelensky juga telah berulang kali menuduh Rusia telah merampok persediaan pangan Ukraina selama invasi militer mereka, dan kini menambah kesengsaraan tidak hanya pada warga Ukraina, melainkan pada penduduk di berbagai belahan dunia lainnya dengan memblokade laut.
Tak hanya Ukraina, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz pada 31 Mei lalu mendesak Presiden Rusia Vladimir Putin mengakhiri blokade Rusia terhadap pelabuhan terbesar Odesa, berdasarkan ketentuan resolusi PBB.
Demikian pula Amerika Serikat melalui Menlu Antony Blinken. Menurut dia, blokade atas pelabuhan Ukraina telah memicu krisis pasokan pangan dan biji-bijian.
“Invasi Rusia yang tidak beralasan telah menghentikan perdagangan maritim di sebagian besar Laut Hitam. Itu telah membuat kawasan itu tidak aman untuk navigasi, menjebak ekspor pertanian Ukraina dan membahayakan pasokan makanan global,” papar Blinken.
Blinken merujuk pada resolusi PBB 2018 yang mengutuk kelaparan sebagai alat perang, dengan mengatakan situasinya telah memburuk sejak saat itu.
"Pengabaian mencolok Federasi Rusia terhadap resolusi ini hanyalah contoh terbaru dari pemerintah yang menggunakan kelaparan warga sipil untuk mencoba memaksakan tujuannya," ujar Blinken.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menuduh Moskow memang memblokir ekspor gandum Ukraina sebagai senjata perang.
"Rusia memimpin perang ini dengan senjata lain yang mengerikan dan kuat: kelaparan dan kekurangan. Dengan memblokir pelabuhan Ukraina, dengan menghancurkan silo, jalan dan rel kereta api, Rusia telah meluncurkan perang gandum, memicu krisis pangan global," tuding Baerbock pada pertemuan PBB pekan lalu.
Dampak buruk dari invasi militer Rusia ke Ukraina terhadap ketahanan pangan global itu telah berulang kali diserukan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengatakan invasi Rusia yang diikuti blokade laut itu mengancam puluhan juta orang kepada kondisi rawan pangan, yang bisa segera diikuti dengan malnutrisi, gizi buruk dan kelaparan massal.
PBB menegaskan, jutaan orang "berbaris menuju kelaparan" kecuali pelabuhan Ukraina di sepanjang Laut Hitam dibuka kembali. Secara khusus, blokade itu bisa mengancam pasokan makanan ke Afrika sub-Sahara.
Saat berbicara di Global Food Security Call to Action Ministerial pada 18 Mei lalu, Guterres mengatakan dirinya telah melakukan kontak yang intensif dengan Rusia, Ukraina, Turki, Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara-negara lain tentang masalah ini.
"Implikasi keamanan, ekonomi, dan keuangan yang kompleks membutuhkan niat baik di semua pihak untuk mencapai kesepakatan," papar dia.
"Saya tidak akan merinci karena pernyataan publik dapat merusak peluang keberhasilan," ungkap dia.
Namun Rusia bergeming. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, mengatakan terserah Barat dan Kiev untuk menyelesaikan sendiri krisis tersebut, dan itu harus dimulai dengan pencabutan sanksi terhadap Rusia.
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan salah besar bila negaranya disalahkan atas kerawanan pangan global yang menurutnya telah terjadi selama bertahun-tahun.
Alih-alih mengubah kebijakan yang membawa bayangan kematian kepada banyak orang di dunia tersebut, Nebenzia malah menyalahkan Kiev.
Dia mengatakan pasukan Ukraina justru yang telah menempatkan ranjau di sepanjang pantai Laut Hitam.
Sebagaimana atasannya, Menlu Rusia Lavrov, Nebenzia juga mengatakan sanksi Barat memiliki efek negatif pada ekspor makanan dan pupuk Rusia.
Sebagaimana diberitakan banyak media massa arus utama dunia, meski pasukannya telah meninggalkan sebagian wilayah Ukraina, Rusia masih memblokade pelabuhan-pelabuhan dagang Ukraina yang membatasi negara itu untuk melakukan ekspor.
Sementara secara tradisional, bersama Rusia, Ukraina adalah pemasok sekitar 30% gandum dunia.
Untuk ekspor bahan pangan yang mereka produksi, Ukraina saat ini hanya memiliki tiga terminal pelabuhan ekspor, yakni Pelabuhan Izmail dengan ekspor 1,5 juta ton per tahun, Pelabuhan Reni (4 juta ton per tahun) dan Kiliya (0,4 juta ton per tahun).
Namun, kapasitas ketiga ini sangat terbatas dibandingkan dengan pelabuhan besar Odesa dan Mykolaiv.
Dalam kondisi darurat, bersama dengan mitra dagang Eropa dan Uni Eropa, Ukraina telah membentuk dua jalur darat alternatif untuk mengekspor makanannya, yang disebut “Jalur Solidaritas” melalui Rumania ke Laut Hitam, dan melalui Polandia dan Negara Baltik ke Laut Baltik.
Meski cukup membantu, kedua jalur itu memiliki banyak hambatan, selain efeknya yang sangat terbatas karena volume pangan yang diblokade terlalu besar.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba menuduh Rusia memainkan “hunger games” yang mengancam dunia dengan bencana kelaparan pada setidaknya 400 juta orang.
Pasalnya, selama ini Ukraina merupakan penyuplai bahan makanan berupa gandum, sereal, jagung, dan minyak bunga matahari kepada 400 juta orang di Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia.
Kuleba melontarkan kecaman tersebut dalam postingnya di Twitter. Dia juga mengatakan PBB dan Ukraina sedang mengerjakan "operasi" untuk memastikan rute perdagangan guna mengangkut bahan pangan dengan aman ke luar negeri.
Dia mengecam Rusia karena terus mempertahankan blokade laut sambil menyalahkan Ukraina atas ancaman kekurangan pangan yang ada.
"Rusia memainkan hunger games dengan dunia dengan cara memblokir ekspor makanan Ukraina dengan satu tangan dan mencoba mengalihkan kesalahan pada Ukraina dengan tangan lainnya," tulis Kuleba.
Sebelumnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky juga berkali-kali memperingatkan lebih dari 20 juta ton biji-bijian tertahan di negara itu.
Bahan pangan yang segera membusuk jika tidak cepat dikirim itu berpotensi menyebabkan kekurangan pangan di seluruh dunia dan menaikkan harga.
Zelensky juga telah berulang kali menuduh Rusia telah merampok persediaan pangan Ukraina selama invasi militer mereka, dan kini menambah kesengsaraan tidak hanya pada warga Ukraina, melainkan pada penduduk di berbagai belahan dunia lainnya dengan memblokade laut.
Tak hanya Ukraina, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz pada 31 Mei lalu mendesak Presiden Rusia Vladimir Putin mengakhiri blokade Rusia terhadap pelabuhan terbesar Odesa, berdasarkan ketentuan resolusi PBB.
Demikian pula Amerika Serikat melalui Menlu Antony Blinken. Menurut dia, blokade atas pelabuhan Ukraina telah memicu krisis pasokan pangan dan biji-bijian.
“Invasi Rusia yang tidak beralasan telah menghentikan perdagangan maritim di sebagian besar Laut Hitam. Itu telah membuat kawasan itu tidak aman untuk navigasi, menjebak ekspor pertanian Ukraina dan membahayakan pasokan makanan global,” papar Blinken.
Blinken merujuk pada resolusi PBB 2018 yang mengutuk kelaparan sebagai alat perang, dengan mengatakan situasinya telah memburuk sejak saat itu.
"Pengabaian mencolok Federasi Rusia terhadap resolusi ini hanyalah contoh terbaru dari pemerintah yang menggunakan kelaparan warga sipil untuk mencoba memaksakan tujuannya," ujar Blinken.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menuduh Moskow memang memblokir ekspor gandum Ukraina sebagai senjata perang.
"Rusia memimpin perang ini dengan senjata lain yang mengerikan dan kuat: kelaparan dan kekurangan. Dengan memblokir pelabuhan Ukraina, dengan menghancurkan silo, jalan dan rel kereta api, Rusia telah meluncurkan perang gandum, memicu krisis pangan global," tuding Baerbock pada pertemuan PBB pekan lalu.
Dampak buruk dari invasi militer Rusia ke Ukraina terhadap ketahanan pangan global itu telah berulang kali diserukan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengatakan invasi Rusia yang diikuti blokade laut itu mengancam puluhan juta orang kepada kondisi rawan pangan, yang bisa segera diikuti dengan malnutrisi, gizi buruk dan kelaparan massal.
PBB menegaskan, jutaan orang "berbaris menuju kelaparan" kecuali pelabuhan Ukraina di sepanjang Laut Hitam dibuka kembali. Secara khusus, blokade itu bisa mengancam pasokan makanan ke Afrika sub-Sahara.
Saat berbicara di Global Food Security Call to Action Ministerial pada 18 Mei lalu, Guterres mengatakan dirinya telah melakukan kontak yang intensif dengan Rusia, Ukraina, Turki, Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara-negara lain tentang masalah ini.
"Implikasi keamanan, ekonomi, dan keuangan yang kompleks membutuhkan niat baik di semua pihak untuk mencapai kesepakatan," papar dia.
"Saya tidak akan merinci karena pernyataan publik dapat merusak peluang keberhasilan," ungkap dia.
Namun Rusia bergeming. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, mengatakan terserah Barat dan Kiev untuk menyelesaikan sendiri krisis tersebut, dan itu harus dimulai dengan pencabutan sanksi terhadap Rusia.
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan salah besar bila negaranya disalahkan atas kerawanan pangan global yang menurutnya telah terjadi selama bertahun-tahun.
Alih-alih mengubah kebijakan yang membawa bayangan kematian kepada banyak orang di dunia tersebut, Nebenzia malah menyalahkan Kiev.
Dia mengatakan pasukan Ukraina justru yang telah menempatkan ranjau di sepanjang pantai Laut Hitam.
Sebagaimana atasannya, Menlu Rusia Lavrov, Nebenzia juga mengatakan sanksi Barat memiliki efek negatif pada ekspor makanan dan pupuk Rusia.
Sebagaimana diberitakan banyak media massa arus utama dunia, meski pasukannya telah meninggalkan sebagian wilayah Ukraina, Rusia masih memblokade pelabuhan-pelabuhan dagang Ukraina yang membatasi negara itu untuk melakukan ekspor.
Sementara secara tradisional, bersama Rusia, Ukraina adalah pemasok sekitar 30% gandum dunia.
Untuk ekspor bahan pangan yang mereka produksi, Ukraina saat ini hanya memiliki tiga terminal pelabuhan ekspor, yakni Pelabuhan Izmail dengan ekspor 1,5 juta ton per tahun, Pelabuhan Reni (4 juta ton per tahun) dan Kiliya (0,4 juta ton per tahun).
Namun, kapasitas ketiga ini sangat terbatas dibandingkan dengan pelabuhan besar Odesa dan Mykolaiv.
Dalam kondisi darurat, bersama dengan mitra dagang Eropa dan Uni Eropa, Ukraina telah membentuk dua jalur darat alternatif untuk mengekspor makanannya, yang disebut “Jalur Solidaritas” melalui Rumania ke Laut Hitam, dan melalui Polandia dan Negara Baltik ke Laut Baltik.
Meski cukup membantu, kedua jalur itu memiliki banyak hambatan, selain efeknya yang sangat terbatas karena volume pangan yang diblokade terlalu besar.
(sya)