Keluarga Tuntut Keadilan Saat Pemakaman George Floyd
loading...
A
A
A
HOUSTON - Seruan dan tuntutan keadilan muncul pada kebaktian jelang pemakaman George Floyd, warga kulit hitam yang dibunuh polisi Amerika Serikat (AS) , di Houston. Kematian Flyod memicu demonstrasi di AS dan menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Politikus, aktivis hak sipil, dan selebritas bergabung untuk berbagai memori tentang Floyd yang disebut sebagai “orang pria yang baik hati”. Pemimpin hak sipil Al Sharpton mengungkapkan euologi menuding Presiden Donald Trump menunjukkan hal tidak simpati dengan kematian Floyd dan mengirimkan sinyal ampunan kepada polisi yang membunuh Floyd.
“Kita bertarung dengan kejahatan di tempat yang tinggi,” ujar Sharpton dilansir Reuters. Dia mengkritik Trump karena mengabaikan keadilan. “Kamu (Trump) mencoba untuk menghentikan demonstrans dibandingkan menghentikan brutalitas,” tudingnya.
Dari pihak keluarga, sepupu Floyd, Brooke Williams, menyerukan perubahan dalam tatanan hukum. Dia mengungkapkan, hukum di AS memang tidak menguntungkan warga kulit hitam. “Kenapa sistem hukum ini korup dan rusak?” katanya. (Baca: Demostrasn AS Tumbangkan Patung Columbus dan Dibuang ke Danau)
Dia mengatakan, hukum menempatkan sistem warga Afro-Amerika untuk gagal. “Hukum ini harus diubah. Tidak boleh ada kejahatan kebencian,” katanya. Seseorang berkata 'Buat Amerika Hebat Lagi', namun kapan Amerika pernah hebat?'
George Floyd dimakamkan di Houston, Texas, hari Selasa (9/6/2020), dua pekan setelah dibunuh oleh polisi di Kota Minneapolis. Kebaktian pemakaman Floyd di Houston berlangsung tertutup namun disiarkan langsung melalui internet. Kebaktian pemakaman digelar di Gereja Fountain of Praise di Kota Houston, Texas, yang dihadiri 500 tamu, termasuk sejumlah politisi dan selebritas.
Di sana, peti jenazah George Floyd diletakkan selama enam jam pada Senin (8/6/2020) waktu setempat. Selanjutnya peti dibawa ke kompleks pemakaman di bagian selatan Hosuton, tempat mendiang dikuburkan di samping pusara ibunya.
Lawan politik Presiden Donald Trump dari kubu Partai Demokrat dalam pemilihan presiden AS pada November mendatang, Joe Biden, menyampaikan pesan melalui panggilan video:l. "Ketika ada keadilan untuk George Floyd, kita akan benar-benar menuju keadilan ras di Amerika," kata Biden.
Adapun Al Green, anggota Kongres AS mengungkapkan, "George Floyd tidak untuk dihabisi—itulah mengapa kami di sini. Kejahatannya adalah dia dilahirkan berkulit hitam."
Kematian George Floyd memicu aksi menentang rasisme di Amerika Serikat dan berbagai kota di seluruh dunia. Ribuan orang turun ke jalan guna memprotes rasisme, kebanyakan ikut unjuk rasa untuk pertama kalinya dalam hidup mereka dan terdiri dari multietnis. (Baca juga: Keluarga Floyd Minta PBB Selidiki Kebrutalan Polisi AS)
Floyd bukanlah warga Afrika-Amerika pertama yang kematiannya di tahanan polisi telah memicu protes. Ada juga gelombang unjuk rasa dan seruan adanya perubahan setelah sosok, seperti Tamir Rice, Michael Brown, dan Eric Garner dibunuh aparat polisi.
Unjuk rasa menyebar ke seluruh 50 negara bagian dan Washington DC, termasuk di kota-kota dan kawasan pedesaan yang sebagian besar warganya berkulit putih. Gelombang protes Black Lives Matter kali ini tampaknya lebih beragam secara rasial, dengan jumlah yang lebih besar dari pengunjuk rasa kulit putih dan pendemo dari etnis lain bergabung dengan para aktivis kulit hitam.
Beberapa faktor berbeda lainnya ikut menentukan sehingga menciptakan "badai sempurna untuk aksi pemberontakan" terhadap kematian George Floyd, ujar Frank Leon Roberts, aktivis yang melakukan pendampingan dalam gerakan Black Lives Matter di New York University dilansir BBC. Dia mengungkapkan, dalam kasus George Floyd ini adalah ketidakdilan yang sepenuhnya tidak ambigu, karena masyarakat dapat melihat Floyd benar-benar tidak bersenjata dan tidak mampu berbuat apa-apa. (Baca juga: Rusia-China Siap Pasang Badan untuk Iran dari sanksi PBB)
"Dalam banyak contoh kekerasan yang dilakukan aparat polisi sebelumnya, ada semacam narasi yang bersifat ambigu--ada anggapan parsial tentang apa yang terjadi, atau aparat kepolisian mengatakan mereka membuat keputusan sepersekian detik karena mereka takut atas keselamatan mereka sendiri," kata Roberts. Banyak orang yang bergabung dalam unjuk rasa baru-baru ini merupakan pengalaman pertama berdemo, yang mengaku melihat kematian George Floyd membuat mereka merasa tidak bisa hanya berdiam diri di rumah lagi.
Kematian Floyd datang di tengah pandemi virus korona yang menyebabkan rakyat Amerika dipaksa agar tinggal di rumah mereka sehingga memicu tingkat pengangguran tertinggi sejak Great Depression pada 1930-an. Pada tingkat praktis, tingkat pengangguran sebesar 13% di AS yang berarti lebih banyak warga bisa ikut unjuk rasa tanpa disibukkan soal pekerjaan. (Andika H Mustaqim)
Politikus, aktivis hak sipil, dan selebritas bergabung untuk berbagai memori tentang Floyd yang disebut sebagai “orang pria yang baik hati”. Pemimpin hak sipil Al Sharpton mengungkapkan euologi menuding Presiden Donald Trump menunjukkan hal tidak simpati dengan kematian Floyd dan mengirimkan sinyal ampunan kepada polisi yang membunuh Floyd.
“Kita bertarung dengan kejahatan di tempat yang tinggi,” ujar Sharpton dilansir Reuters. Dia mengkritik Trump karena mengabaikan keadilan. “Kamu (Trump) mencoba untuk menghentikan demonstrans dibandingkan menghentikan brutalitas,” tudingnya.
Dari pihak keluarga, sepupu Floyd, Brooke Williams, menyerukan perubahan dalam tatanan hukum. Dia mengungkapkan, hukum di AS memang tidak menguntungkan warga kulit hitam. “Kenapa sistem hukum ini korup dan rusak?” katanya. (Baca: Demostrasn AS Tumbangkan Patung Columbus dan Dibuang ke Danau)
Dia mengatakan, hukum menempatkan sistem warga Afro-Amerika untuk gagal. “Hukum ini harus diubah. Tidak boleh ada kejahatan kebencian,” katanya. Seseorang berkata 'Buat Amerika Hebat Lagi', namun kapan Amerika pernah hebat?'
George Floyd dimakamkan di Houston, Texas, hari Selasa (9/6/2020), dua pekan setelah dibunuh oleh polisi di Kota Minneapolis. Kebaktian pemakaman Floyd di Houston berlangsung tertutup namun disiarkan langsung melalui internet. Kebaktian pemakaman digelar di Gereja Fountain of Praise di Kota Houston, Texas, yang dihadiri 500 tamu, termasuk sejumlah politisi dan selebritas.
Di sana, peti jenazah George Floyd diletakkan selama enam jam pada Senin (8/6/2020) waktu setempat. Selanjutnya peti dibawa ke kompleks pemakaman di bagian selatan Hosuton, tempat mendiang dikuburkan di samping pusara ibunya.
Lawan politik Presiden Donald Trump dari kubu Partai Demokrat dalam pemilihan presiden AS pada November mendatang, Joe Biden, menyampaikan pesan melalui panggilan video:l. "Ketika ada keadilan untuk George Floyd, kita akan benar-benar menuju keadilan ras di Amerika," kata Biden.
Adapun Al Green, anggota Kongres AS mengungkapkan, "George Floyd tidak untuk dihabisi—itulah mengapa kami di sini. Kejahatannya adalah dia dilahirkan berkulit hitam."
Kematian George Floyd memicu aksi menentang rasisme di Amerika Serikat dan berbagai kota di seluruh dunia. Ribuan orang turun ke jalan guna memprotes rasisme, kebanyakan ikut unjuk rasa untuk pertama kalinya dalam hidup mereka dan terdiri dari multietnis. (Baca juga: Keluarga Floyd Minta PBB Selidiki Kebrutalan Polisi AS)
Floyd bukanlah warga Afrika-Amerika pertama yang kematiannya di tahanan polisi telah memicu protes. Ada juga gelombang unjuk rasa dan seruan adanya perubahan setelah sosok, seperti Tamir Rice, Michael Brown, dan Eric Garner dibunuh aparat polisi.
Unjuk rasa menyebar ke seluruh 50 negara bagian dan Washington DC, termasuk di kota-kota dan kawasan pedesaan yang sebagian besar warganya berkulit putih. Gelombang protes Black Lives Matter kali ini tampaknya lebih beragam secara rasial, dengan jumlah yang lebih besar dari pengunjuk rasa kulit putih dan pendemo dari etnis lain bergabung dengan para aktivis kulit hitam.
Beberapa faktor berbeda lainnya ikut menentukan sehingga menciptakan "badai sempurna untuk aksi pemberontakan" terhadap kematian George Floyd, ujar Frank Leon Roberts, aktivis yang melakukan pendampingan dalam gerakan Black Lives Matter di New York University dilansir BBC. Dia mengungkapkan, dalam kasus George Floyd ini adalah ketidakdilan yang sepenuhnya tidak ambigu, karena masyarakat dapat melihat Floyd benar-benar tidak bersenjata dan tidak mampu berbuat apa-apa. (Baca juga: Rusia-China Siap Pasang Badan untuk Iran dari sanksi PBB)
"Dalam banyak contoh kekerasan yang dilakukan aparat polisi sebelumnya, ada semacam narasi yang bersifat ambigu--ada anggapan parsial tentang apa yang terjadi, atau aparat kepolisian mengatakan mereka membuat keputusan sepersekian detik karena mereka takut atas keselamatan mereka sendiri," kata Roberts. Banyak orang yang bergabung dalam unjuk rasa baru-baru ini merupakan pengalaman pertama berdemo, yang mengaku melihat kematian George Floyd membuat mereka merasa tidak bisa hanya berdiam diri di rumah lagi.
Kematian Floyd datang di tengah pandemi virus korona yang menyebabkan rakyat Amerika dipaksa agar tinggal di rumah mereka sehingga memicu tingkat pengangguran tertinggi sejak Great Depression pada 1930-an. Pada tingkat praktis, tingkat pengangguran sebesar 13% di AS yang berarti lebih banyak warga bisa ikut unjuk rasa tanpa disibukkan soal pekerjaan. (Andika H Mustaqim)
(ysw)