Eks Mata-mata: Mohammed bin Salman Sesumbar Ingin Bunuh Raja Arab Saudi pada 2014
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Seorang mantan pejabat tinggi badan intelijen Arab Saudi mengatakan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) pada 2014 pernah sesumbar padanya bahwa diaingin membunuh raja Arab Saudi. Saat itu, rajanya adalah Raja Abdullah bin Abdulaziz al-Saud.
Saad al-Jabri, yang terlibat dalam upaya kontraterorisme di Arab Saudi bersama Amerika Serikat (AS) membuat klaim tentang MBS dalam sebuah wawancara dengan CBS News dalam program “60 Minutes” yang ditayangkan hari Minggu (24/10/2021).
Al-Jabri tidak memberikan bukti atas klaimnya itu. Dia saat ini tinggal di pengasingan di Kanada.
Menurutnya, Pangeran MBS pada 2014 tidak memegang peran senior dalam pemerintahan Kerajaan Arab Saudi. Namun, MBS menjabat sebagai penjaga gerbang istana kerajaan ayahnya, Salman bin Abdulaziz al-Saud, ketika ayahnya masih berstatus sebagai putra mahkota.
Raja Salman naik takhta pada Januari 2015 setelah saudara tirinya, Raja Abdullah, meninggal dunia.
Al-Jabri menggunakan kesempatan wawancara itu untuk memperingatkan Pangeran MBS bahwa dia merekam video yang mengungkapkan lebih banyak rahasia kerajaan dan beberapa rahasia Amerika Serikat.
Sebuah klip pendek tanpa suara diperlihatkan kepada koresponden “60 Minutes”, Scott Pelley. Video itu, kata al-Jabri, bisa dirilis jika dia terbunuh.
Ini adalah upaya terbaru oleh mantan pejabat kontraterorisme Arab Saudi untuk mencoba menekan Putra Mahkota MBS yang berusia 36 tahun, yang menurut keluarga al-Jabri telah menahan dua anak dewasa al-Jabri dan menggunakan mereka sebagai pion untuk memaksa ayah mereka kembali ke Arab Saudi.
Jika kembali ke Arab Saudi, al-Jabri menghadapi kemungkinan penindasan, pemenjaraan atau tahanan rumah seperti mantan atasannya; menteri dalam negeri yang pernah berkuasa, Pangeran Mohammed bin Nayef, yang digulingkan dari posisinya sebagai putra mahkota oleh Pangeran MBS pada 2017.
Al-Jabri (62) mengeklaim Putra Mahkota MBS tidak akan beristirahat. "Sampai dia melihat saya mati karena dia takut akan informasi saya," katanya, yang dilansir AP, Senin (25/10/2021).
Dia menggambarkan Pangeran MBS sebagai seorang psikopat dan pembunuh.
Putra Mahkota MBS pernah memicu kecaman global setelah terungkap bahwa sejumlah anak buahnya telah membunuh jurnalis pembangkang Arab Saudi Jamal Khashoggi di dalam Konsulat Saudi di Turki pada Oktober 2018.
Setelah rekaman dari dalam konsulat dibocorkan oleh otoritas Turki, Arab Saudi mengeklaim bahwa itu adalah upaya yang dimaksudkan untuk secara paksa membawa Khashoggi kembali ke negaranya, dan itu menjadi serba salah.
Putra mahkota membantah mengetahui operasi itu, meskipun penilaian intelijen AS sebaliknya.
Al-Jabri mengeklaim bahwa dalam pertemuan tahun 2014 dengan Pangeran Mohammed bin Nayef, yang merupakan kepala intelijen karena menjabat menteri dalam negeri pada saat itu, MBS yang jauh lebih muda mengatakan dia bisa membunuh Raja Abdullah untuk memberi jalan bagi ayahnya naik takhta.
“Dia mengatakan kepadanya, ‘Saya ingin membunuh Raja Abdullah. Saya mendapatkan cincin racun dari Rusia. Cukup bagi saya untuk berjabat tangan dengannya dan dia akan selesai',” kata al-Jabri.
Dia mengeklaim bahwa intelijen Arab Saudi menanggapi ancaman itu dengan serius. Masalah itu, kata al-Jabri, kemudian ditangani di internal keluarga kerajaan.
Saad al-Jabri, yang terlibat dalam upaya kontraterorisme di Arab Saudi bersama Amerika Serikat (AS) membuat klaim tentang MBS dalam sebuah wawancara dengan CBS News dalam program “60 Minutes” yang ditayangkan hari Minggu (24/10/2021).
Al-Jabri tidak memberikan bukti atas klaimnya itu. Dia saat ini tinggal di pengasingan di Kanada.
Menurutnya, Pangeran MBS pada 2014 tidak memegang peran senior dalam pemerintahan Kerajaan Arab Saudi. Namun, MBS menjabat sebagai penjaga gerbang istana kerajaan ayahnya, Salman bin Abdulaziz al-Saud, ketika ayahnya masih berstatus sebagai putra mahkota.
Raja Salman naik takhta pada Januari 2015 setelah saudara tirinya, Raja Abdullah, meninggal dunia.
Al-Jabri menggunakan kesempatan wawancara itu untuk memperingatkan Pangeran MBS bahwa dia merekam video yang mengungkapkan lebih banyak rahasia kerajaan dan beberapa rahasia Amerika Serikat.
Sebuah klip pendek tanpa suara diperlihatkan kepada koresponden “60 Minutes”, Scott Pelley. Video itu, kata al-Jabri, bisa dirilis jika dia terbunuh.
Ini adalah upaya terbaru oleh mantan pejabat kontraterorisme Arab Saudi untuk mencoba menekan Putra Mahkota MBS yang berusia 36 tahun, yang menurut keluarga al-Jabri telah menahan dua anak dewasa al-Jabri dan menggunakan mereka sebagai pion untuk memaksa ayah mereka kembali ke Arab Saudi.
Jika kembali ke Arab Saudi, al-Jabri menghadapi kemungkinan penindasan, pemenjaraan atau tahanan rumah seperti mantan atasannya; menteri dalam negeri yang pernah berkuasa, Pangeran Mohammed bin Nayef, yang digulingkan dari posisinya sebagai putra mahkota oleh Pangeran MBS pada 2017.
Al-Jabri (62) mengeklaim Putra Mahkota MBS tidak akan beristirahat. "Sampai dia melihat saya mati karena dia takut akan informasi saya," katanya, yang dilansir AP, Senin (25/10/2021).
Dia menggambarkan Pangeran MBS sebagai seorang psikopat dan pembunuh.
Putra Mahkota MBS pernah memicu kecaman global setelah terungkap bahwa sejumlah anak buahnya telah membunuh jurnalis pembangkang Arab Saudi Jamal Khashoggi di dalam Konsulat Saudi di Turki pada Oktober 2018.
Setelah rekaman dari dalam konsulat dibocorkan oleh otoritas Turki, Arab Saudi mengeklaim bahwa itu adalah upaya yang dimaksudkan untuk secara paksa membawa Khashoggi kembali ke negaranya, dan itu menjadi serba salah.
Putra mahkota membantah mengetahui operasi itu, meskipun penilaian intelijen AS sebaliknya.
Al-Jabri mengeklaim bahwa dalam pertemuan tahun 2014 dengan Pangeran Mohammed bin Nayef, yang merupakan kepala intelijen karena menjabat menteri dalam negeri pada saat itu, MBS yang jauh lebih muda mengatakan dia bisa membunuh Raja Abdullah untuk memberi jalan bagi ayahnya naik takhta.
“Dia mengatakan kepadanya, ‘Saya ingin membunuh Raja Abdullah. Saya mendapatkan cincin racun dari Rusia. Cukup bagi saya untuk berjabat tangan dengannya dan dia akan selesai',” kata al-Jabri.
Dia mengeklaim bahwa intelijen Arab Saudi menanggapi ancaman itu dengan serius. Masalah itu, kata al-Jabri, kemudian ditangani di internal keluarga kerajaan.
(min)