Dokumen: Mata-mata Inggris Terlibat Pembantaian Massal PKI di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mata-mata Inggris secara tidak langsung terlibat dalam pembantaian massal anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1960-an. Mereka berperan menghasut penduduk Indonesia, termasuk para jenderal militer, untuk membasmi “kanker komunis”.
Keterlibatan mata-mata London itu terungkap dalam dokumen rahasia yang dirilis surat kabar The Guardian, Minggu (17/10/2021).
Penumpasan brutal tentara Indonesia terhadap PKI pada tahun 1965 dan 1966 dianggap sebagai salah satu pembunuhan massal terburuk abad ke-20. Menurut berbagai perkiaraan, sekitar 500.000 hingga 3 juta orang pendukung PKI dibantai, menurut berbagai perkiraan.
Dokumen Kantor Luar Negeri Inggris yang tidak diklasifikasikan, yang baru-baru ini dirilis oleh Arsip Nasional Inggris dan dilihat oleh surat kabar The Guardian, menunjukkan bahwa Inggris bukannya tanpa kesalahan dalam peristiwa mengejutkan itu.
Kantor Luar Negeri Inggris selalu membantah keterlibatan negara itu dalam tindakan brutal terhadap mereka yang dituduh memiliki hubungan komunis di Indonesia.
Tetapi ternyata London memfokuskan mesin propagandanya pada salah satu pendiri sekaligus Presiden Indonesia Soekarno dan pendukung komunisnya atas penentangan keras pemimpin tersebut terhadap Federasi Malaya [Malaysia], yang menurut Inggris Soekarno berambisi menyatukan bekas jajahan Inggris itu dengan Indonesia.
Ketegangan antara PKI dan militer Indonesia telah meningkat sejak awal 1960-an, di mana Presiden Soekarno berjuang untuk menyeimbangkan kekuatan-kekuatan yang bersaing. Puncak ketegangan adalah pembantaian PKI terhadap para jenderal yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G/30S) 1965, yang kemudian dianggap sebagai kudeta yang gagal.
Menurut The Guardian, beberapa bulan sebelumnya, tim spesialis dari Departemen Riset Informasi (IRD) Kantor Luar Negeri Inggris telah dikerahkan di Singapura untuk menghasilkan propaganda hitam untuk melemahkan pemerintahan Soekarno.
Kudeta yang gagal hanya memudahkan para propagandis untuk memengaruhi audiens yang mereka tuju, termasuk politisi anti-komunis dan jenderal-jenderal tentara Indonesia.
Propaganda tersebut disebarkan melalui buletin berbahasa Indonesia, yang konon merupakan karya para imigran Indonesia, namun sebenarnya dikeluarkan oleh pakar Inggris di Singapura.
Dalam setahun, sekitar 28.000 eksemplar buletin telah diterbitkan. Inggris juga mendanai sebuah stasiun radio, yang disiarkan oleh orang Malaysia ke Indonesia.
Tak lama setelah pembantaian militer terhadap para anggota PKI dimulai, buletin yang diproduksi Inggris menyerukan PKI dan semua organisasi komunis untuk dilenyapkan. Ia mengeklaim bahwa Indonesia akan tetap dalam bahaya selama para pemimpin komunis masih buron dan petinggi dan anggota mereka dibiarkan tanpa hukuman.
“Penundaan dan tindakan setengah hati hanya dapat menyebabkan kehancuran kita yang paling akhir dan menyeluruh,” bunyi pamflet para penulis propaganda memperingatkan para pembacanya.
Pembantaian itu diduga meningkat di seluruh kepulauan Indonesia dalam beberapa minggu setelah penerbitan buletin, di mana The Guardian bersikeras tidak ada keraguan bahwa diplomat Inggris menyadari apa yang terjadi.
"Mata-mata Inggris di wilayah tersebut memiliki segala cara untuk menyadap komunikasi pemerintah Indonesia dan memantau pergerakan militernya," tulis The Guardian.
Salah satu buletin, yang dirilis selama tindakan keras terhadap komunis, memuji "dinas perang dan polisi" karena melakukan pekerjaan yang sangat baik.
Para propagandis Inggris membandingkan PKI dengan Adolf Hitler dan Jenghis Khan dalam pamflet, dan bersikeras bahwa pekerjaan yang dimulai oleh tentara harus dilanjutkan dan diintensifkan.
Selain itu, sebuah surat dari Norman Reddaway, salah satu propagandis terkemuka yang bekerja di Singapura, kepada duta besar Inggris di Jakarta mengungkapkan strategi Inggris untuk menyembunyikan fakta bahwa pembantaian telah terjadi dengan dorongan para jenderal.
Dia menulis bahwa pendekatan seperti itu seharusnya diambil dengan harapan bahwa para jenderal akan melakukannya lebih baik daripada "geng lama".
Reddaway bersikeras dalam dokumen lain yang tidak diklasifikasikanbahwa para ahli Kementerian Luar Negeri dan jenderal Indonesia “bernyanyi dalam harmoni".
Dia juga merayakan propaganda Inggris karena mampu menghapuskan oposisi Soekarno terhadap proyek Federasi Malaya dengan “biaya minimal” dan hanya dalam waktu setengah tahun.
Apa yang digambarkan Reddaway sebagai "geng lama" benar-benar hancur oleh peristiwa berdarah pertengahan 1960-an. Presiden Soekarno ditangkap pada tahun 1967 dan meninggal tiga tahun kemudian di bawah tahanan rumah.
Dokumen yang dideklasifikasi di Amerika Serikat pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa Washington juga tidak hanya memiliki “pengetahuan rinci” tentang pembantaian terhdap komunis di Indonesia, tetapi memberikan “dukungan aktif” untuk tindakan tersebut.
Sebuah studi Universitas Yale menggambarkan pembantaian yang diperintahkan oleh Soeharto sebagai “pembersihan yang mutlak penting", merinci pembunuhan dari 50 hingga 100 anggota PKI setiap malam oleh kelompok anti-komunis sipil dengan dukungan militer.
Keterlibatan mata-mata London itu terungkap dalam dokumen rahasia yang dirilis surat kabar The Guardian, Minggu (17/10/2021).
Penumpasan brutal tentara Indonesia terhadap PKI pada tahun 1965 dan 1966 dianggap sebagai salah satu pembunuhan massal terburuk abad ke-20. Menurut berbagai perkiaraan, sekitar 500.000 hingga 3 juta orang pendukung PKI dibantai, menurut berbagai perkiraan.
Dokumen Kantor Luar Negeri Inggris yang tidak diklasifikasikan, yang baru-baru ini dirilis oleh Arsip Nasional Inggris dan dilihat oleh surat kabar The Guardian, menunjukkan bahwa Inggris bukannya tanpa kesalahan dalam peristiwa mengejutkan itu.
Kantor Luar Negeri Inggris selalu membantah keterlibatan negara itu dalam tindakan brutal terhadap mereka yang dituduh memiliki hubungan komunis di Indonesia.
Tetapi ternyata London memfokuskan mesin propagandanya pada salah satu pendiri sekaligus Presiden Indonesia Soekarno dan pendukung komunisnya atas penentangan keras pemimpin tersebut terhadap Federasi Malaya [Malaysia], yang menurut Inggris Soekarno berambisi menyatukan bekas jajahan Inggris itu dengan Indonesia.
Ketegangan antara PKI dan militer Indonesia telah meningkat sejak awal 1960-an, di mana Presiden Soekarno berjuang untuk menyeimbangkan kekuatan-kekuatan yang bersaing. Puncak ketegangan adalah pembantaian PKI terhadap para jenderal yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G/30S) 1965, yang kemudian dianggap sebagai kudeta yang gagal.
Menurut The Guardian, beberapa bulan sebelumnya, tim spesialis dari Departemen Riset Informasi (IRD) Kantor Luar Negeri Inggris telah dikerahkan di Singapura untuk menghasilkan propaganda hitam untuk melemahkan pemerintahan Soekarno.
Kudeta yang gagal hanya memudahkan para propagandis untuk memengaruhi audiens yang mereka tuju, termasuk politisi anti-komunis dan jenderal-jenderal tentara Indonesia.
Propaganda tersebut disebarkan melalui buletin berbahasa Indonesia, yang konon merupakan karya para imigran Indonesia, namun sebenarnya dikeluarkan oleh pakar Inggris di Singapura.
Dalam setahun, sekitar 28.000 eksemplar buletin telah diterbitkan. Inggris juga mendanai sebuah stasiun radio, yang disiarkan oleh orang Malaysia ke Indonesia.
Tak lama setelah pembantaian militer terhadap para anggota PKI dimulai, buletin yang diproduksi Inggris menyerukan PKI dan semua organisasi komunis untuk dilenyapkan. Ia mengeklaim bahwa Indonesia akan tetap dalam bahaya selama para pemimpin komunis masih buron dan petinggi dan anggota mereka dibiarkan tanpa hukuman.
“Penundaan dan tindakan setengah hati hanya dapat menyebabkan kehancuran kita yang paling akhir dan menyeluruh,” bunyi pamflet para penulis propaganda memperingatkan para pembacanya.
Pembantaian itu diduga meningkat di seluruh kepulauan Indonesia dalam beberapa minggu setelah penerbitan buletin, di mana The Guardian bersikeras tidak ada keraguan bahwa diplomat Inggris menyadari apa yang terjadi.
"Mata-mata Inggris di wilayah tersebut memiliki segala cara untuk menyadap komunikasi pemerintah Indonesia dan memantau pergerakan militernya," tulis The Guardian.
Salah satu buletin, yang dirilis selama tindakan keras terhadap komunis, memuji "dinas perang dan polisi" karena melakukan pekerjaan yang sangat baik.
Para propagandis Inggris membandingkan PKI dengan Adolf Hitler dan Jenghis Khan dalam pamflet, dan bersikeras bahwa pekerjaan yang dimulai oleh tentara harus dilanjutkan dan diintensifkan.
Selain itu, sebuah surat dari Norman Reddaway, salah satu propagandis terkemuka yang bekerja di Singapura, kepada duta besar Inggris di Jakarta mengungkapkan strategi Inggris untuk menyembunyikan fakta bahwa pembantaian telah terjadi dengan dorongan para jenderal.
Dia menulis bahwa pendekatan seperti itu seharusnya diambil dengan harapan bahwa para jenderal akan melakukannya lebih baik daripada "geng lama".
Reddaway bersikeras dalam dokumen lain yang tidak diklasifikasikanbahwa para ahli Kementerian Luar Negeri dan jenderal Indonesia “bernyanyi dalam harmoni".
Dia juga merayakan propaganda Inggris karena mampu menghapuskan oposisi Soekarno terhadap proyek Federasi Malaya dengan “biaya minimal” dan hanya dalam waktu setengah tahun.
Apa yang digambarkan Reddaway sebagai "geng lama" benar-benar hancur oleh peristiwa berdarah pertengahan 1960-an. Presiden Soekarno ditangkap pada tahun 1967 dan meninggal tiga tahun kemudian di bawah tahanan rumah.
Dokumen yang dideklasifikasi di Amerika Serikat pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa Washington juga tidak hanya memiliki “pengetahuan rinci” tentang pembantaian terhdap komunis di Indonesia, tetapi memberikan “dukungan aktif” untuk tindakan tersebut.
Sebuah studi Universitas Yale menggambarkan pembantaian yang diperintahkan oleh Soeharto sebagai “pembersihan yang mutlak penting", merinci pembunuhan dari 50 hingga 100 anggota PKI setiap malam oleh kelompok anti-komunis sipil dengan dukungan militer.
(min)