Al-Sahrawi, Sosok Kejam Pemimpin ISIS Sahel yang Dihabisi Prancis

Kamis, 16 September 2021 - 22:31 WIB
loading...
Al-Sahrawi, Sosok Kejam...
Pemimpin Negara Islam (ISIS) di Sahara Raya Adnan Abu Walid al-Sahrawi. Foto/moroccoworldnews.com
A A A
PARIS - Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan bahwa pasukan Prancis telah membunuh Pemimpin Negara Islam atau ISIS di Sahara Raya Adnan Abu Walid al-Sahrawi.

Adnan Abu Walid al-Sahrawi adalah tokoh paling diburu Prancis di Sahel. Cabang ISIS itu sangat aktif di wilayah perbatasan Mali, Burkina Faso dan Nigeria. Lalu siapakan sebenarnya Adnan Abu Walid al-Sahrawi?

Adnan Abu Walid al-Sahrawi dianggap sebagai salah satu teroris paling kejam di Sahel dan musuh utama Prancis di kawasan Afrika yang bermasalah. Mendapatkan reputasi untuk memenggal tangan pencuri, al-Sahrawi memimpin afiliasi ISIS yang sangat aktif di Sahel tengah.

Sahel telah dilanda pemberontakan jihad brutal sejak kelompok Islam menguasai Mali utara pada 2012. Prancis, bekas kekuatan kolonial, kemudian melakukan intervensi di Mali pada 2013 dan memukul balik para ekstrimis.

Terlepas dari kehadiran pasukan asing, kekerasan ekstrimis telah menyebar ke Mali tengah serta negara tetangga Burkina Faso dan Niger.

Apa yang disebut Negara Islam di Sahara Besar (ISGS) telah disalahkan atas serangkaian serangan berdarah di wilayah semi-kering yang luas itu.



Ia mengaku bertanggung jawab atas penyergapan di dekat desa Tongo Tongo di Niger pada 2017 yang merenggut nyawa empat pasukan khusus Amerika Serikat (AS) dan empat tentara Nigeria.

Ia dipanggil al-Sahrawi sesuai dengan tempatnya berasal di Sahara Barat, di mana ia bertempur di Front Polisario, yang bertujuan untuk mengakhiri kekuasaan Maroko. Diperkirakan berusia empat puluhan pada saat kematiannya, al-Sahrawi kerap mengenakan sorban hitam dan berjenggot di sejumlah fotonya yang diketahui.

Dia juga menghabiskan sebagian masa mudanya di Aljazair, di mana para ahli mengatakan dia ditarik ke dalam lingkaran ekstrimis.

Al-Sahrawi terlibat dalam pemberontakan Sahel sejak awal, sebagai anggota Gerakan untuk Kesatuan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO), salah satu milisi Islam yang menguasai Mali utara.

Sebelum intervensi Prancis, al-Sahrawi adalah juru bicara MUJAO yang bersekutu dengan al-Qaeda di kota utara Gao. Di sana, ia mendapatkan reputasi sebagai penegak hukum Syariah yang tidak fleksibel.

Seorang pejabat terpilih di kota itu, yang meminta namanya tidak disebutkan, mengatakan bahwa lebih banyak pencuri yang dipotong tangannya di Gao daripada di tempat lain.

"Itu karena instruksi Abu Walid," katanya, merujuk pada al-Sahrawi, seperti dikutip dari AFP, Kamis (16/9/2021).



MUJAO kemudian bergabung dengan kelompok lain untuk membentuk milisi al-Mourabitoune, di bawah kepemimpinan Mokhtar Belmokhtar dari Aljazair.

Namun pada tahun 2015, al-Sahrawi berjanji setia kepada kelompok Negara Islam (IS atau ISIS), yang pada saat itu menguasai sebagian besar wilayah Irak dan Suriah.

Dilaporkan merekrut dari kelompok penggembala tradisional Fulani, ISGS aktif di wilayah perbatasan tanpa hukum yang menghubungkan Mali, Burkina Faso dan Niger, di mana ISGS menerapkan interpretasi kerasnya terhadap hukum Syariah.

Namun, kelompok ekstrimis ini menjadi terkenal di dunia pada tahun 2017, setelah serangan di Niger yang menewaskan pasukan khusus AS.

Antara akhir 2019 dan awal 2020, ISGS juga berada di balik serangkaian serangan terhadap pangkalan militer di Mali, Burkina Faso, dan Niger yang menewaskan ratusan tentara.



Serentetan pembunuhan inilah yang mendorong Prancis, pada Januari 2020, untuk menetapkan al-Sahrawi sebagai "musuh prioritas" di Sahel.

Spesialis dan pejabat keamanan telah mencirikan komandan ISGS ini sebagai orang yang acuh tak acuh terhadap hilangnya nyawa.

Seorang pejabat keamanan Mali yang menolak disebutkan namanya menggambarkan al-Sahrawi sebagai "penguasa mutlak" ISGS yang kadang-kadang diketahui pergi berperang sendiri.

Namun kini petualangan al-Sahrari telah berakhir. Tentara Prancis mengatakan bahwa mereka telah membunuh pemimpin ISGS itu dalam serangan udara saat dia mengendarai sepeda motor di utara negara itu. Pernyataan ini sekalihus mengakhiri rumor yang berkembang selama berminggu-minggu bahwa dia telah meninggal.

Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly mengatakan kepada radio RFI bahwa dia menjadi sasaran karena dia adalah "pemimpin otoriter yang tak terbantahkan" dari kelompok itu.

(ian)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1643 seconds (0.1#10.140)