Istana Buckingham: Ratu Elizabeth II Mendukung Gerakan Black Lives Matter

Jum'at, 10 September 2021 - 18:57 WIB
loading...
Istana Buckingham: Ratu Elizabeth II Mendukung Gerakan Black Lives Matter
Istana Buckingham menyatakan Ratu Elizabeth II mendukung gerakan Black Lives Matter. Foto/Kolase/Sindonews
A A A
LONDON - Ratu Inggris , Elizabeth II , mendukung gerakan Black Lives Matter (BLM). Hal itu diungkapkan salah satu perwakilan senior kerajaan, Sir Ken Olisa.

Berbicara di Channel 4, Olisa mengatakan, ia telah membahas seluruh masalah ras dan rasisme di masyarakat dengan anggota senior keluarga setelah pembunuhan George Floyd .

"Itu topik pembicaraan yang hangat. Pertanyaannya adalah apa lagi yang bisa kita lakukan untuk mengikat masyarakat untuk menghilangkan hambatan ini. (Para bangsawan) sangat peduli untuk membuat bangsa yang satu ini terikat oleh nilai-nilai yang sama," kata Olisa seperti dikutip dari Sputnik, Jumat (10/9/2021).

Ketika ditanya apakah Keluarga Kerajaan mendukung BLM, perwakilan tersebut mengatakan: "Jawabannyaadalah ya."

Pernyataan itu kemungkinan akan menghilangkan tekanan terhadap Istana Buckingham , yang telah dikritik keras tahun ini setelah wawancara yang diberikan Pangeran Harry dan Meghan Markle kepada pembawa acara talkshow Amerika Serikat (AS) Oprah Winfrey.

Selama wawancara itu, Duchess of Sussex, yang ibunya berkulit hitam, mengklaim bahwa salah satu anggota keluarga bertanya-tanya tentang warna kulit apa yang akan dimiliki anak sulung pasangan itu, Archie.

"Karena mereka khawatir jika dia terlalu cokelat, itu akan menjadi masalah? Apakah Anda mengatakan itu?" tanya pembawa acara TV Oprah Winfrey.

"Jika itu asumsi yang Anda buat, saya pikir itu terasa cukup aman," jawab Meghan Markle.

Dia menolak untuk mengungkapkan nama anggota kerajaan yang menanyakan hal itu, tetapi di luar wawancara ia menegaskan itu jika itu bukan Ratu atau mendiang suaminya, Pangeran Philip.



Pangeran Harry mengatakan dia sangat sedih karena tidak ada anggota keluarga yang mengutuk perlakuan rasis terhadap Meghan Markle oleh pers Inggris, dan Duchess menyarankan bahwa rasisme bisa berada di balik keputusan Istana untuk tidak memberikan perlindungan keamanan kepada Archie, yang mana semua anggota kerajaan berhak mendapatkannya. Dia juga menduga bahwa hal itu juga kemungkinan menjadi alasan mengapa dia tidak diberi gelar "Pangeran" meskipun dalam kasus ini dia tidak mengetahui keputusan tahun 1917 oleh George V untuk membatasi berapa banyak orang yang dapat diberi gelar "Pangeran" atau "Putri".

Tuduhan itu memicu kecaman luas dan seruan untuk memboikot Keluarga Kerajaan. Sebuah perusahaan lobi Inggris meluncurkan petisi yang meminta pemerintah untuk menghapuskan monarki.

Keluarga Kerajaan kemudian merilis sebuah pernyataan yang mengatakan akan secara pribadi menangani tuduhan rasisme, tetapi mencatat bahwa beberapa ingatan mungkin berbeda.

"Kami sangat bukan keluarga rasis," Pangeran William berbicara kepada wartawan.



Black Lives Matter (BLM) adalah gerakan yang memberi perhatian pada isu-isu rasisme dan kebrutalan polisi. Gerakan ini muncul pada tahun 2013 setelah dua aktivis AS memulai tagar #BlackLivesMatter untuk memprotes pembebasan warga Amerika keturunan Hispanik George Zimmerman yang menembak mati pemuda kulit hitam berusia 17 tahun, Trayvon Martin, selama pertengkaran tahun 2012 di Sanford, Florida. Popularitas gerakan ini telah berkembang selama bertahun-tahun karena para anggotanya menyoroti kasus-kasus besar orang Afrika-Amerika yang telah dibunuh oleh polisi di Amerika Serikat.

BLM mendapatkan momentum di seluruh dunia setelah kematian George Floyd, yang terjadi pada Mei 2020. Saat itu polisi menerima telepon tentang seorang pria (Floyd) yang diduga membayar belanjaannya dengan uang kertas palsu. Rekaman yang direkam oleh para saksi mata menunjukkan bahwa selama penangkapan Floyd terjepit ke tanah dengan satu petugas, Derek Chauvin, meletakkan lutut di lehernya.

Floyd berulang kali memberi tahu Chauvin bahwa dia tidak bisa bernapas. Meskipun memohon, petugas itu terus berlutut di lehernya selama hampir sembilan menit bahkan setelah Floyd kehilangan kesadaran.

Berita kematian Floyd memicu aksi protes besar-besaran terhadap rasisme dan kebrutalan polisi di AS, yang berlanjut selama berbulan-bulan. Demonstrasi serupa juga terjadi di hampir seluruh belahan dunia, termasuk di Inggris, Prancis, Iran, Jerman, Brasil, Jepang, Australia.

(ian)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1939 seconds (0.1#10.140)