Kisah Tragis Sohail Pardis, Penerjemah untuk Militer AS yang Dipenggal Taliban

Sabtu, 24 Juli 2021 - 12:06 WIB
loading...
A A A
Tetapi mereka yang berbicara kepada CNN mengatakan hidup mereka sekarang berada di bawah ancaman ketika Taliban melancarkan serangan balas dendam setelah penarikan AS dari Afghanistan. Pada puncak perang, ada sekitar 100.000 tentara AS di negara itu, sebagai bagian dari pasukan NATO.

"Kami tidak bisa bernapas di sini. Taliban tidak memiliki belas kasihan pada kami," kata Ayoubi.

Sekitar 18.000 warga Afghanistan yang bekerja untuk militer AS telah mengajukan program Visa Imigran Khusus yang memungkinkan mereka pergi ke Amerika Serikat.

Pada 14 Juli, Gedung Putih mengatakan pihaknya meluncurkan, "Operation Allies Refuge," sebuah upaya untuk merelokasi ribuan penerjemah Afghanistan yang bekerja untuk AS dan yang nyawanya kini terancam. Juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan evakuasi akan dimulai pada minggu terakhir bulan Juli untuk pemohon Visa Imigran Khusus yang sudah dalam proses.

Sebelumnya, pemerintahan Biden mengatakan sedang dalam pembicaraan dengan sejumlah negara untuk bertindak sebagai tempat yang aman sampai AS dapat menyelesaikan proses visa yang panjang, sebuah tanda yang jelas bahwa pemerintah sangat menyadari ancaman yang ditimbulkan oleh Taliban.

Juru bicara Pentagon John Kirby mengatakan pada hari Rabu lalu bahwa Departemen Pertahanan "sedang mempertimbangkan opsi" di mana warga negara Afghanistan dan keluarga mereka berpotensi pergi.

"Kami masih mengkaji kemungkinan lokasi di luar negeri untuk memasukkan beberapa instalasi departemen yang akan mampu mendukung upaya relokasi yang direncanakan dengan tempat tinggal sementara yang sesuai dan infrastruktur pendukung," kata Kirby.

Pardis meninggalkan seorang putri berusia 9 tahun yang masa depannya tidak pasti. Putri kecil itu dirawat oleh saudara laki-lakinya, Najibulla Sahak, yang mengatakan kepada CNN bahwa mereka harus meninggalkan rumah mereka di Kabul demi keselamatan mereka, karena khawatir mereka akan menjadi sasaran selanjutnya.

Berbicara dari kuburan saudaranya, di lereng bukit yang tandus di antara bebatuan, rumput liar, dan bendera, Sahak mengatakan mereka tidak aman.

"Saya sangat khawatir dengan keselamatan keluarga saya. Tidak banyak pekerjaan di negara ini, dan situasi keamanannya sangat buruk," katanya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1847 seconds (0.1#10.140)