Biden Ingin Pertahankan Kebijakan Trump Ekspor Drone Tempur
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden ingin mempertahankan kebijakan Donald Trump yang kontroversial dengan memulai penjualan drone bersenjata ke negara-negara dengan catatan hak asasi manusia (HAM) dalam pengawasan.
Ketika pemerintahan mantan Presiden Donald Trump menafsirkan kembali perjanjian senjata era Perang Dingin antara 35 negara yang dikenal sebagai Rezim Kontrol Teknologi Rudal (MTCR) untuk meningkatkan penjualan drone, para pendukung kontrol senjata dan beberapa anggota parlemen Partai Demokrat khawatir langkah itu akan memperburuk konflik global.
Meskipun masih terlalu dini untuk mengetahui apakah itu masalahnya, penjualan drone tempur itu telah meningkat.
Menjaga kebijakan juga bisa bertentangan dengan janji kampanye Presiden Joe Biden untuk "memastikan Amerika tidak memeriksa nilai-nilainya di depan pintu untuk menjual senjata".
Ketika Biden menjadi wakil presiden di era Presiden Barack Obama, kelompok hak asasi manusia mengkritik pemerintahan mereka karena serangan drone bersenjata terhadap militan Taliban di Afghanistan yang juga menewaskan warga sipil.
Lihat infografis: Topeng Emas Berusia 3.000 Tahun Ditemukan di China
Dari 2018 hingga 2020 Washington telah menegosiasikan ulang MTCR yang berusia 33 tahun untuk mencabut batas yang disepakati pada proliferasi teknologi drone.
Tetapi tahun lalu Trump menunda upaya menulis ulang pakta tersebut dan memutuskan menawarkan drone AS ke hampir semua negara yang ingin membelinya.
“Biden ingin memperbarui pembicaraan itu,” ungkap sejumlah sumber yang mengetahui kabar itu.
Saat jet siluman seperti F-35 seharga USD79 juta, drone jauh lebih murah tetapi masih dapat melakukan serangan rudal berisiko tinggi dan misi pengawasan tanpa membahayakan pilot.
Banyak drone buatan AS mampu terbang cepat dan membawa muatan berat, menjadikannya sangat diinginkan banyak negara.
Membeli drone AS juga sekaligus memperkuat hubungan suatu negara dengan militer AS.
“Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih (NSC) sedang mempelajari bagaimana menjaga kebijakan tersebut sementara Departemen Luar Negeri meminta sekutu dan negara lain yang menjual drone untuk mengadopsi posisi AS,” papar sejumlah sumber yang mengetahui masalah tersebut.
Meskipun belum ada keputusan yang telah diloloskan ke tingkat wakil menteri, orang-orang yang diberi pengarahan tentang pembicaraan internal mengatakan condong ke arah kebijakan ekspor Trump yang lebih ekspansif.
"Mereka tidak akan mundur," ujar salah satu orang tentang kebijakan yang diharapkan Trump akan mengambil pangsa pasar dari drone buatan China.
Seorang pejabat di NSC berkata, "Pemerintah AS akan terus menggunakan kebijaksanaan nasionalnya dan memperlakukan drone besar seolah-olah berada di luar lingkup MTCR, yang ditulis untuk mengontrol proliferasi rudal jelajah.”
Menjaga kebijakan itu akan membuka pintu bagi ratusan juta dolar hingga miliaran dolar dalam penjualan AS ke pemerintah di Taiwan, India, Maroko, dan Uni Emirat Arab (UEA) yang di masa lalu telah dilarang membelinya.
Aktivis hak asasi manusia dan pendukung pengawasan senjata bukan satu-satunya suara skeptis tentang kebijakan Trump itu.
Anggota Kongres menahan penjualan empat drone bersenjata ke Maroko, yang dilaporkan Reuters pada Desember.
“Mereka keberatan atas langkah pemerintahan Trump yang mengakui Sahara Barat sebagai wilayah Maroko,” ungkap sumber yang mengetahui kesepakatan itu pada Reuters.
Pejabat NSC mengatakan, “Keputusan melanjutkan kebijakan Trump memberikan pemerintah AS fleksibilitas untuk meninjau permintaan ekspor UAS (drone) sambil terus menjalankan kebijaksanaan nasional dengan cara yang konsisten dengan komitmen MTCR kami, serta komitmen kuat kami terhadap keamanan nasional AS, hak asasi manusia, nonproliferasi, dan tujuan kebijakan luar negeri lainnya.”
MTCR mengklasifikasikan beberapa drone AS yang paling kuat sebagai rudal jelajah karena memenuhi spesifikasi teknis untuk pesawat tanpa awak dalam pakta tersebut.
Di bawah penafsiran ulang Trump, Amerika Serikat memutuskan memperlakukan drone berkemampuan serangan besar yang tidak dapat melakukan perjalanan lebih cepat dari 800 kilometer per jam seolah-olah termasuk dalam klasifikasi yang berada di luar yurisdiksi pakta itu.
Hal ini memungkinkan ekspor Global Hawks yang lebih mudah, yang tidak dipersenjatai dan digunakan untuk pengawasan, serta Reaper yang digunakan untuk pengawasan dan serangan udara.
Global Hawks dibuat Northrop Grumman, dan Reaper dibuat General Atomics.
“Dalam jangka panjang, tim Biden ingin menegosiasikan kesepakatan baru hanya untuk ekspor drone,” papar sumber yang mengetahui situasi tersebut.
Pejabat NSC mengatakan tim Biden akan bekerja dengan negara lain untuk membentuk standar internasional untuk penjualan, transfer, dan penggunaan drone bersenjata selanjutnya.
Ketika pemerintahan mantan Presiden Donald Trump menafsirkan kembali perjanjian senjata era Perang Dingin antara 35 negara yang dikenal sebagai Rezim Kontrol Teknologi Rudal (MTCR) untuk meningkatkan penjualan drone, para pendukung kontrol senjata dan beberapa anggota parlemen Partai Demokrat khawatir langkah itu akan memperburuk konflik global.
Meskipun masih terlalu dini untuk mengetahui apakah itu masalahnya, penjualan drone tempur itu telah meningkat.
Menjaga kebijakan juga bisa bertentangan dengan janji kampanye Presiden Joe Biden untuk "memastikan Amerika tidak memeriksa nilai-nilainya di depan pintu untuk menjual senjata".
Ketika Biden menjadi wakil presiden di era Presiden Barack Obama, kelompok hak asasi manusia mengkritik pemerintahan mereka karena serangan drone bersenjata terhadap militan Taliban di Afghanistan yang juga menewaskan warga sipil.
Lihat infografis: Topeng Emas Berusia 3.000 Tahun Ditemukan di China
Dari 2018 hingga 2020 Washington telah menegosiasikan ulang MTCR yang berusia 33 tahun untuk mencabut batas yang disepakati pada proliferasi teknologi drone.
Tetapi tahun lalu Trump menunda upaya menulis ulang pakta tersebut dan memutuskan menawarkan drone AS ke hampir semua negara yang ingin membelinya.
“Biden ingin memperbarui pembicaraan itu,” ungkap sejumlah sumber yang mengetahui kabar itu.
Saat jet siluman seperti F-35 seharga USD79 juta, drone jauh lebih murah tetapi masih dapat melakukan serangan rudal berisiko tinggi dan misi pengawasan tanpa membahayakan pilot.
Banyak drone buatan AS mampu terbang cepat dan membawa muatan berat, menjadikannya sangat diinginkan banyak negara.
Membeli drone AS juga sekaligus memperkuat hubungan suatu negara dengan militer AS.
“Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih (NSC) sedang mempelajari bagaimana menjaga kebijakan tersebut sementara Departemen Luar Negeri meminta sekutu dan negara lain yang menjual drone untuk mengadopsi posisi AS,” papar sejumlah sumber yang mengetahui masalah tersebut.
Meskipun belum ada keputusan yang telah diloloskan ke tingkat wakil menteri, orang-orang yang diberi pengarahan tentang pembicaraan internal mengatakan condong ke arah kebijakan ekspor Trump yang lebih ekspansif.
"Mereka tidak akan mundur," ujar salah satu orang tentang kebijakan yang diharapkan Trump akan mengambil pangsa pasar dari drone buatan China.
Seorang pejabat di NSC berkata, "Pemerintah AS akan terus menggunakan kebijaksanaan nasionalnya dan memperlakukan drone besar seolah-olah berada di luar lingkup MTCR, yang ditulis untuk mengontrol proliferasi rudal jelajah.”
Menjaga kebijakan itu akan membuka pintu bagi ratusan juta dolar hingga miliaran dolar dalam penjualan AS ke pemerintah di Taiwan, India, Maroko, dan Uni Emirat Arab (UEA) yang di masa lalu telah dilarang membelinya.
Aktivis hak asasi manusia dan pendukung pengawasan senjata bukan satu-satunya suara skeptis tentang kebijakan Trump itu.
Anggota Kongres menahan penjualan empat drone bersenjata ke Maroko, yang dilaporkan Reuters pada Desember.
“Mereka keberatan atas langkah pemerintahan Trump yang mengakui Sahara Barat sebagai wilayah Maroko,” ungkap sumber yang mengetahui kesepakatan itu pada Reuters.
Pejabat NSC mengatakan, “Keputusan melanjutkan kebijakan Trump memberikan pemerintah AS fleksibilitas untuk meninjau permintaan ekspor UAS (drone) sambil terus menjalankan kebijaksanaan nasional dengan cara yang konsisten dengan komitmen MTCR kami, serta komitmen kuat kami terhadap keamanan nasional AS, hak asasi manusia, nonproliferasi, dan tujuan kebijakan luar negeri lainnya.”
MTCR mengklasifikasikan beberapa drone AS yang paling kuat sebagai rudal jelajah karena memenuhi spesifikasi teknis untuk pesawat tanpa awak dalam pakta tersebut.
Di bawah penafsiran ulang Trump, Amerika Serikat memutuskan memperlakukan drone berkemampuan serangan besar yang tidak dapat melakukan perjalanan lebih cepat dari 800 kilometer per jam seolah-olah termasuk dalam klasifikasi yang berada di luar yurisdiksi pakta itu.
Hal ini memungkinkan ekspor Global Hawks yang lebih mudah, yang tidak dipersenjatai dan digunakan untuk pengawasan, serta Reaper yang digunakan untuk pengawasan dan serangan udara.
Global Hawks dibuat Northrop Grumman, dan Reaper dibuat General Atomics.
“Dalam jangka panjang, tim Biden ingin menegosiasikan kesepakatan baru hanya untuk ekspor drone,” papar sumber yang mengetahui situasi tersebut.
Pejabat NSC mengatakan tim Biden akan bekerja dengan negara lain untuk membentuk standar internasional untuk penjualan, transfer, dan penggunaan drone bersenjata selanjutnya.
(sya)