Rusia Sebut Langkah AS di Sahara Barat Bisa Picu Konflik Baru
loading...
A
A
A
MOSKOW - Rusia mengatakan, keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) , Donald Trump untuk mengakui kedaulatan Maroko di Sahara Barat dapat menghambat upaya PBB yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik. Selain itu, Moksow menyebut, langkah itu juga dapat memicu kekerasan baru di kawasan tersebut.
"Dengan keputusan ini, pemerintahan Donald Trump bertujuan untuk merusak dasar hukum internasional yang diakui secara universal dari penyelesaian Sahara Barat, yang menetapkan penentuan status akhir daerah itu melalui referendum," ucap Kementerian Luar Negeri Rusia, seperti dilansir Tass pada Minggu (13/12/2020).
"Posisi baru AS ini dapat secara dramatis menghambat upaya PBB untuk mempromosikan Rencana Penyelesaian Sahara Barat dan memperburuk hubungan antara pihak-pihak yang terlibat langsung dan untuk memprovokasi spiral baru konfrontasi bersenjata di wilayah Sahara-Sahel," sambungnya.
Sahara Barat dibagi antara Maroko dan Mauritania pada akhir pemerintahan kolonial Spanyol pada tahun 1976. Ketika Mauritania, di bawah tekanan dari gerilyawan Polisario, meninggalkan semua klaim atas bagiannya pada Agustus 1979, Maroko menduduki sektor itu dan sejak itu menegaskan kontrol administratif di seluruh wilayah. Pertempuran pecah antara Maroko dan Front Polisario, yang berjuang untuk kemerdekaan Sahara Barat.
Sebuah kesepakatan gencatan senjata ditandatangani pada tahun 1991. PBB mengerahkan misi tahun itu untuk memantau gencatan senjata dan untuk mengatur, jika mungkin, referendum tentang penentuan nasib sendiri rakyat Sahara Barat.( Baca Juga: Baca juga: Nasihat Imam Syafi'i Saat Terjadi Wabah
Sama dengan Rusia, Aljazair mengatakan deklarasi tersebut akan merusak upaya de-eskalasi yang telah dilakukan di semua tingkatan untuk membuka jalan untuk meluncurkan jalur politik yang nyata dan meyakinkan pihak yang berselisih untuk melakukan dialog tanpa syarat yang ditengahi PBB dengan dukungan dari Uni Afrika.
"Konflik yang lazim di Sahara Barat adalah kasus dekolonisasi yang hanya dapat diselesaikan melalui pelaksanaan konvensi internasional dan doktrin yang berlaku baik dari PBB dan Uni Afrika terkait dengan masalah ini," ujarnya.
"Dengan keputusan ini, pemerintahan Donald Trump bertujuan untuk merusak dasar hukum internasional yang diakui secara universal dari penyelesaian Sahara Barat, yang menetapkan penentuan status akhir daerah itu melalui referendum," ucap Kementerian Luar Negeri Rusia, seperti dilansir Tass pada Minggu (13/12/2020).
"Posisi baru AS ini dapat secara dramatis menghambat upaya PBB untuk mempromosikan Rencana Penyelesaian Sahara Barat dan memperburuk hubungan antara pihak-pihak yang terlibat langsung dan untuk memprovokasi spiral baru konfrontasi bersenjata di wilayah Sahara-Sahel," sambungnya.
Sahara Barat dibagi antara Maroko dan Mauritania pada akhir pemerintahan kolonial Spanyol pada tahun 1976. Ketika Mauritania, di bawah tekanan dari gerilyawan Polisario, meninggalkan semua klaim atas bagiannya pada Agustus 1979, Maroko menduduki sektor itu dan sejak itu menegaskan kontrol administratif di seluruh wilayah. Pertempuran pecah antara Maroko dan Front Polisario, yang berjuang untuk kemerdekaan Sahara Barat.
Sebuah kesepakatan gencatan senjata ditandatangani pada tahun 1991. PBB mengerahkan misi tahun itu untuk memantau gencatan senjata dan untuk mengatur, jika mungkin, referendum tentang penentuan nasib sendiri rakyat Sahara Barat.( Baca Juga: Baca juga: Nasihat Imam Syafi'i Saat Terjadi Wabah
Sama dengan Rusia, Aljazair mengatakan deklarasi tersebut akan merusak upaya de-eskalasi yang telah dilakukan di semua tingkatan untuk membuka jalan untuk meluncurkan jalur politik yang nyata dan meyakinkan pihak yang berselisih untuk melakukan dialog tanpa syarat yang ditengahi PBB dengan dukungan dari Uni Afrika.
"Konflik yang lazim di Sahara Barat adalah kasus dekolonisasi yang hanya dapat diselesaikan melalui pelaksanaan konvensi internasional dan doktrin yang berlaku baik dari PBB dan Uni Afrika terkait dengan masalah ini," ujarnya.
(esn)