Putri Terakhir Irak Meninggal, Saksi Kekacauan dalam Sejarah Timur Tengah

Senin, 11 Mei 2020 - 11:27 WIB
loading...
A A A
Jika Putri Badiya berada di Istana Rihab ketika Brigadir Abdul Karim Qassim tiba dengan pasukan pada 14 Juli 1958—dalam kudeta—, dia pasti akan terbunuh.

Perwira yang tidak puas itu memerintahkan tank-tanknya melepaskan tembakan tak lama setelah Raja Faisal II dan anggota keluarga Kerajaan lainnya serta staf mereka keluar melalui pintu belakang.

Di antara mereka yang berbaris dan ditembak mati bersama raja adalah saudara lelaki Putri Badiya, Putra Mahkota Abdullah, saudara perempuannya Putri Abadiya dan saudara perempuan ipar; Putri Hiyam.

Putri Badiya mendengar kudeta dari tempat dia tinggal di ibukota Irak bersama suaminya, Sharif Al-Hussein bin Ali, dan ketiga anak mereka.

"Saya mendengar ledakan sekitar pukul 06.00-06.30 pagi dan saya melompat dari tempat tidur," katanya dalam wawancara semasa hidup. "Saya bertanya pada Hussein 'apa itu?'...Saya telah melihat Istana Rihab dan melihat asap keluar darinya."

Dia berbicara kepada Raja Faisal II tak lama sebelum kematian sang raja. Raja Faisal II kala itu menawarkan untuk mengirim penjaga guna melindunginya, tetapi Putri Badiya menolak.

Kemudian seorang anggota staf kerajaan berlari, berlumuran darah, ke tempat sang putri tinggal. "Mereka (pemberontak) membunuh mereka (anggota keluarga kerajaan), mereka membunuh raja dan keluarganya," teriak anggota staf tersebut.

Putri Badiya mengenang; "Saya mulai menangis dan menjerit, dan ketika pengasuh anak-anak (asal) Inggris bertanya kepada saya apa yang salah, saya berkata; 'Mereka telah membunuh keluarga saya'."

Bersama dengan suami dan anak-anaknya, dia berhasil mencapai Kedutaan Arab Saudi, tempat mereka berlindung selama sebulan.

Raja Arab Saudi Saud bersikeras keluarga itu harus melarikan diri dari negara tersebut hidup-hidup.
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1763 seconds (0.1#10.140)