Putri Terakhir Irak Meninggal, Saksi Kekacauan dalam Sejarah Timur Tengah

Senin, 11 Mei 2020 - 11:27 WIB
loading...
Putri Terakhir Irak Meninggal, Saksi Kekacauan dalam Sejarah Timur Tengah
Putri Badiya binti Ali, putri terakhir monarki Irak, meninggal di usia 100 tahun di London, Sabtu (9/5/2020). Foto/Wikimedia Commons
A A A
LONDON - Putri Badiya binti Ali, putri terakhir monarki Irak meninggal dalam usia 100 tahun di London pada Sabtu pekan lalu. Dia adalah saksi kekacauan dalam sejarah Timur Tengah termasuk kudeta yang menewaskan banyak anggota keluarganya.

Kudeta monarki Irak pecah 14 Juli 1958. Putri Badiya berhasil selamat hingga akhirnya mengasingkan diri di London. Sebelum meninggal, dia tercatat sebagai satu-satunya putri monarki Irak yang masih hidup.

Setelah beberapa tahun kudeta berlalu, Putri Badiya bercerita tentang pemberontakan berdarah tersebut. Dia kala itu bercerita dengan menangis. Dia menyaksikan dengan ketakutan dari balkon sebuah bangunan di Baghdad ketika asap membumbung tinggi dari Istana Rihab pada 14 Juli 1958.

Kematiannya menandai berakhirnya babak kekacauan dalam sejarah Timur Tengah yang membawanya dari masa kanak-kanak di Makkah ke istana-istana megah di ibu kota wilayah itu dan mengasingkan diri di Inggris.

Dilahirkan di Damaskus pada 1920 pada dinasti Hashemite, Putri Badiya adalah putri Raja Ali bin Al-Hussein, yang secara singkat memerintah kerajaan Hijaz di Arab barat dan memegang gelar Grand Sharif di Makkah.

Kakeknya, Hussein bin Ali, telah memimpin pemberontakan Arab melawan Kekaisaran Ottoman dan mendirikan kerajaan Hejaz pada tahun 1916.

Pada tahun 1925 Putri Badiya dan keluarganya meninggalkan Makkah ke Irak setelah kerajaannya digulingkan oleh Ibn Saud, pendiri Arab Saudi.

Di Yordania, paman Putri Badiya telah mendirikan kerajaan dengan dukungan Inggris, dan ketika Kekaisaran Ottoman runtuh, pamannya yang lain, Faisal I, menjadi raja Irak pada tahun 1921.

Bagi sang putri muda, tiba di Baghdad adalah saat yang sangat menyenangkan, dan dia langsung jatuh cinta.

"Bagdad sangat indah dibandingkan dengan Amman karena Amman kecil dan diterangi lilin," kenangnya dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Al-Sharqiya pada 2012.

“Ada listrik di Baghdad dan jembatan serta corniche tinggi. Baghdad itu indah dan saya menyukainya."

Faisal memerintah selama 12 tahun sampai kematiannya akibat serangan jantung pada usia 48 tahun. Putranya, Ghazi, naik takhta pada tahun 1933.

Dia menikah dengan saudara perempuan Putri Badiya, Putri Aliya. Sekitar 60 tahun kemudian, rakyat Irak melakukan kudeta yang menewaskan Raja Faisal II

Ketika Ghazi meninggal enam tahun kemudian dalam kecelakaan mobil di Baghdad, barisan penguasa berikutnya adalah putranya Faisal II, yang baru berusia 3 tahun.

Sekali lagi, Putri Badiya mendapati dirinya sangat dekat dengan tampuk kekuasaan ketika saudara lelakinya, Pangeran Mahkota Abdallah, menjabat sebagai bupati sampai raja muda itu cukup umur untuk memerintah.

Setelah menempuh pendidikan di Inggris, tepatnya di Harrow, Faisal II naik takhta di usia 18 tahun pada 1953.

Dianggap sebagai sangat cerdas dan bertanggung jawab atas suatu negara dengan kekayaan sumber daya, dia diharapkan untuk membawa negara itu maju.

Irak mulai berkembang. Pendapatan minyak mengalir dan negara itu mengalami industrialisasi yang cepat.

Tetapi ada juga kesenjangan sosial yang sangat besar dan kaum miskin di negara itu diyakinkan bahwa pemerintah Irak terlalu dekat dengan Inggris dan kebutuhan Barat.

Gelombang nasionalisme Arab mulai berbalik dan permusuhan terhadap hubungan dekat Irak dengan Inggris diperburuk oleh krisis Suez pada tahun 1956.

Jika Putri Badiya berada di Istana Rihab ketika Brigadir Abdul Karim Qassim tiba dengan pasukan pada 14 Juli 1958—dalam kudeta—, dia pasti akan terbunuh.

Perwira yang tidak puas itu memerintahkan tank-tanknya melepaskan tembakan tak lama setelah Raja Faisal II dan anggota keluarga Kerajaan lainnya serta staf mereka keluar melalui pintu belakang.

Di antara mereka yang berbaris dan ditembak mati bersama raja adalah saudara lelaki Putri Badiya, Putra Mahkota Abdullah, saudara perempuannya Putri Abadiya dan saudara perempuan ipar; Putri Hiyam.

Putri Badiya mendengar kudeta dari tempat dia tinggal di ibukota Irak bersama suaminya, Sharif Al-Hussein bin Ali, dan ketiga anak mereka.

"Saya mendengar ledakan sekitar pukul 06.00-06.30 pagi dan saya melompat dari tempat tidur," katanya dalam wawancara semasa hidup. "Saya bertanya pada Hussein 'apa itu?'...Saya telah melihat Istana Rihab dan melihat asap keluar darinya."

Dia berbicara kepada Raja Faisal II tak lama sebelum kematian sang raja. Raja Faisal II kala itu menawarkan untuk mengirim penjaga guna melindunginya, tetapi Putri Badiya menolak.

Kemudian seorang anggota staf kerajaan berlari, berlumuran darah, ke tempat sang putri tinggal. "Mereka (pemberontak) membunuh mereka (anggota keluarga kerajaan), mereka membunuh raja dan keluarganya," teriak anggota staf tersebut.

Putri Badiya mengenang; "Saya mulai menangis dan menjerit, dan ketika pengasuh anak-anak (asal) Inggris bertanya kepada saya apa yang salah, saya berkata; 'Mereka telah membunuh keluarga saya'."

Bersama dengan suami dan anak-anaknya, dia berhasil mencapai Kedutaan Arab Saudi, tempat mereka berlindung selama sebulan.

Raja Arab Saudi Saud bersikeras keluarga itu harus melarikan diri dari negara tersebut hidup-hidup.

"Raja Saud mengatakan kepada duta besar untuk menjaga kita," katanya.

Dalam wawancara itu, Putri Badiya jelas kesal dan terguncang dengan ingatan akan sebuah episode yang menentukan hidupnya.

Melalui tempat perlindungan di Kedutaan Saudi, dia melarikan diri ke Mesir dan ke Swiss sebelum menetap di Inggris, tempat dia tinggal sampai kematiannya tiba.

Bagi banyak orang Irak, kudeta dan kematian berdarah keluarga kerajaan menandai titik balik dalam sejarah negara itu yang mengarah ke era gelap kudeta, diktator dan konflik yang masih berlangsung hingga hari ini.

Salah satu putra dari Putri Badiya, Sharif Ali bin Al-Hussein, bekerja dalam oposisi terhadap Saddam Hussein, dan setelah invasi pimpinan Amerika Serikat pada tahun 2003, dia melobi untuk mengembalikan monarki secara konstitusional dengan dirinya sebagai raja.

Pada hari Minggu, ucapan duka cita mengalir atas meninggalnya Putri Badiya. Presiden Irak Barham Salih mengirim pesan belasungkawa kepada putranya.

"Hati kami sangat sedih karena harus mendengar berita tragis tentang meninggalnya Putri Badiya binti Ali," bunyi pesan presiden seperti dikutip Arab News, Senin (11/5/2020).

Perdana Menteri Mustafa Al-Kadhimi, yang sekarang memimpin dengan beban memecahkan banyak kesengsaraan Irak, juga menyampaikan belasungkawa.

"Dengan meninggalnya Putri Badiya binti Ali, bab yang cerah dan penting dari sejarah modern Irak berakhir," tulis dia di Twitter.

“Dia adalah bagian dari era politik dan sosial yang mewakili Irak dengan cara terbaik. Semoga dia beristirahat dengan tenang dan belasungkawa tulus saya untuk keluarganya dan orang-orang terkasih."

Dari Yordania, anggota kerajaan Hashemite yang tersisa; Raja Abdullah II, mengatakan kerajaan berduka atas meninggalnya Putri Badiya.

Berikut momen Irak dari masa ke masa:

Tahun 1917 Inggris merebut Baghdad selama Perang Dunia I.

Tahun 1921 Faisal I, putra Grand Sharif dari Makkah Hussein bin Ali, diangkat menjadi raja.

Tahun 1932 Irak merdeka dengan berakhirnya Mandat Inggris. Inggris mempertahankan pangkalan militer di sana.

Tahun 1941 Inggris menduduki kembali Irak setelah kudeta pro-Axis di tengah Perang Dunia II.

Tahun 1958 Monarki Irak digulingkan dalam kudeta yang dipimpin oleh Abdul Karim Qassim. Irak meninggalkan Pakta Baghdad pro-Inggris.

Tahun 1963 Perdana Menteri Qassim digulingkan dalam kudeta yang dipimpin oleh Partai Baath pan-Arab.

Tahun 1963 Pemerintahan Baath digulingkan.

Tahun 1968 Kudeta yang dipimpin Baathist membuat Ahmad Hasan Al-Bakr berkuasa.

Tahun 1972 Rezim menasionalisasi Perusahaan Minyak Irak.

Tahun 1979 Saddam Hussein mengambil alih kekuasaan dari Presiden Al-Bakr.

Tahun 1980 Perang Iran-Irak dimulai dan berlarut-larut selama delapan tahun.

Tahun 1990 Irak menginvasi dan mencaplok Kuwait, memicu Perang Teluk pertama.

Tahun 1991 Kampanye militer pimpinan Amerika memaksa Irak menarik diri dari Kuwait.

Tahun 1998 AS dan Inggris meluncurkan kampanye untuk menghancurkan program senjata nuklir dan kimia Irak.

Invasi yang dipimpin AS 2003 menggulingkan rezim Saddam Hussein, menandai dimulainya tahun-tahun pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Saddam ditangkap di Tikrit pada bulan Desember.

Tahun 2006 Saddam dieksekusi gantung karena kejahatan terhadap kemanusiaan.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1274 seconds (0.1#10.140)