Lagi, Trump Keluarkan Kebijakan Kontroversial

Kamis, 19 November 2020 - 10:13 WIB
loading...
Lagi, Trump Keluarkan...
Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Foto/Reuters
A A A
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berusaha menjegal proses transisi pemerintahan kepada presiden terpilih Joe Biden sehingga tidak mulus dan tidak berjalan dengan damai. Meskipun demikian, Biden tidak patah semangat.

Lagi, Trump Keluarkan Kebijakan Kontroversial


Gebrakan terbaru Trump adalah memecat pejabat keamanan siber Chris Krebs. Pemecatan tersebut karena Krebs menolak perintah Trump yang menuding pemilu berlangsung curang. Padahal, tidak ada bukti nyata tentang hal tersebut. (Baca: Enam Jenis Bisikan Setan yang Merasuki Manusia)

Reuters melaporkan pekan lalu bahwa Krebs yang bekerja melindungi pemilu dari serangan peretas, tetapi mendapatkan perlakuan tidak pantas dari Gedung Putih karena upayanya untuk meniadakan disinformasi. Krebs pun sudah menyadari bahwa langkahnya akan berujung pada pemecatan.

“Krebs telah menjamin bahwa pernyataan yang tidak akurat bahwa pemilu aman ketika terjadi kecurangan dan pelanggaran, termasuk pemungutan suara orang meninggal, pengamat tidak dibolehkan masuk ke tempat pemungutan suara, dan mesin pemungutan suara yang rusak sehingga suara Trump beralih ke Biden,” ujar Trump, dilansir Reuters. Puluhan pakar keamanan juga menyatakan klaim peretasan besar-besaran tersebut tidak terbukti.

Krebs memimpin Badan Keamanan Infrastruktur dan Keamanan siber (CISA) di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri sejak dua tahun lalu. Dia membuat marah Gedung Putih karena mengelola situs yang dikendalikan CISA bernama “Rumor Control” yang menghapus informasi salah tentang pemilu.

Juru bicara CISA menyatakan lembaganya tidak berkomentar. Krebs sendiri tak diberi tahu rencana pemecatan oleh Trump. Dia mengetahui pemecatan dari Twitter. Direktur Eksekutif CISA Brandon Wales diperkirakan mengambil alih tugas Krebs. Wales memang bukan tokoh partisan dalam Departemen Keamanan Dalam Negeri. (Baca juga: Subsidi Gaji 2,4 Juta Guru Non-PNS Cair)

Selain itu, Trump masih menominasikan kandidat kontroversial untuk menjadi salah satu pemimpin Federal Reserve Judy Shelton. Meskipun langkah tersebut diblok Senat karena seorang senator Partai Republik dilaporkan terinfeksi virus korona. Shelton dinilai kontroversial karena menggunakan pendekatan ekstrem untuk menurunkan dampak krisis virus korona dan krisis ekonomi.

Shelton, 66, dikenal memiliki pandangan yang tidak konsisten, termasuk standar emas dan kebijakan bunga. Dia mengatakan bahwa Bank Sentral AS memiliki kekuatan berlebihan mengenai uang dan pasar finansial yang membuat tidak sehat perekonomian AS. Gaya dan kebijakan Shelton memang identik dengan Trump.

Tidak berhenti di situ, Trump juga mengurangi jumlah pasukan AS di Afghanistan dari 4.500 menjadi 2.500 pada pertengahan Januari mendatang. Keputusan tersebut ditentang para politikus Partai Demokrat dan Partai Republik. Kebijakan itu melemahkan keamanan dan mengganggu perundingan damai dengan Taliban.

Pelaksana tugas Menteri Pertahanan Christopher Miller membenarkan penarikan pasukan tersebut. Selain itu, pasukan AS di Irak juga dikurangi dari 3.000 menjadi 2.500 prajurit. “Pada 15 Januari 2021, pasukan kita akan dikurangi di Afghanistan menjadi 2.500 tentara. Pasukan kita di Irak juga hanya menjadi 2.500 prajurit,” katanya. (Baca juga: Bali Destinasi Bulan Madu Terbaik di Dunia)

Saat bersamaan, anggota senat Partai Republik Mitch McConnell menentang segala perubahan besar terhadap kebijakan luar negeri AS dan pertahanan dalam beberapa bulan mendatang. “Adanya perubahan ekstrem dalam beberapa bulan mendatang seharusnya tidak mengguncang atau mengubah kebijakan pertahanan dan luar negeri,” kata McConnell.

Tim transisi Biden tidak berkomentar mengenai pengurangan tentara oleh Trump tersebut. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS dari Partai Republik, Mac Thornberry, juga mengkritik kebijakan Trump sebagai suatu kesalahan. “Pengurangan tentara di Afghanistan akan melemahkan negosiasi,” katanya.

Langkah Trump yang sangat dikenal menghalangi upaya pemerintahan transisi kepada Biden adalah tidak transparan dalam berkoordinasi tentang penanganan Covid-19. Padahal, upaya menghalangi proses transfer kekuasaan itu bisa membahayakan ribuan nyawa warga AS karena korona.

Pelaku kesehatan AS seperti Asosiasi Medis AS, Asosiasi Perawat AS, dan Asosiasi Rumah Sakit AS telah meminta transisi kekuasaan Trump ke Biden berlangsung mulus dan damai. Itu bertujuan agar tidak terjadi absen dalam strategi nasional yang terintegrasi. “Perlunya upaya penghitungan aset nasional untuk menyelamatkan banyak nyawa warga AS,” demikian permintaan mereka. (Baca juga: Putusan MK Jadi Penentu masa Depan KPK)

Kepala tim gugus tugas Covid-19 Biden, Vivek Murthy, mengungkapkan pihaknya belum bisa bertemu dan berdiskusi dengan para pejabat pemerintahan saat ini. Itu sebagai penghalang untuk melanjutkan respons penanganan pandemi korona. Saat bersamaan, jumlah kasus korona terus meningkat di AS dan penyebaran korona lebih banyak terjadi di pedesaan.

“AS seharusnya menggunakan pendekatan seragam dalam memerangi pandemi,” kata Anthony Fauci, pakar penyakit menular AS. “Kita membutuhkan langkah kesehatan publik yang menjamin semua orang bisa mematuhinya,” katanya dilansir New York Times.

Langkah kontroversial Trump yang mendapatkan kritikan tajam adalah dia memecat Menteri Pertahanan Mark Esper. Pemecatan ini terjadi menyusul pertengkaran publik antara Trump dan Esper dalam beberapa pekan terakhir. Esper mengucapkan terima kasih kepada anggota Angkatan Bersenjata AS dan mengatakan bangga atas prestasi yang dilakukan selama 18 bulan bertugas di Pentagon. (Lihat videonya: Pemerintah Austria Kembali Putuskan untuk Lockdown Kedua)

Partai Demokrat Nancy Pelosi mengkritik keputusan itu. "Pemecatan mendadak Menhan Esper adalah bukti bahwa Presiden Trump ingin mengisi hari-hari terakhirnya di kantor untuk menabur kekacauan di demokrasi Amerika dan di seluruh dunia," kata Pelosi yang juga sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS itu. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1709 seconds (0.1#10.140)