Transisi dari Trump ke Biden akan Dipenuhi Berbagai Tantangan
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Hukum Amerika Serikat (AS) mengatur instruksi yang sangat jelas untuk transfer kekuasaan yang lancar dari satu presiden ke presiden berikutnya. Tapi, transisi pemerintahan yang akan dihadapi Joe Biden diperkirakan akan lebih lebih sulit dibandingkan para presiden sebelumnya.
Kenapa?
Strategi untuk menjegal kemenangan Biden oleh Presiden Donald Trump mungkin saja berujung pada penghitungan surat suara di beberapa negara bagian AS yang akan menunda aktivitas terkaitan transisi kekuasaan. Itu pernah terjadi ketika George W Bush juga tidak langsung dinyatakan sebagai pemenang setelah lima pekan digelarnya pemilu.
“Pertarungan di pengadilan yang panjang akan menunda transisi. Itu akan berbahaya bagi kebijakan luar negeri,” ujar sumber anggota Kongres dari Partai Republik, dilansir Reuters. “Dunia tidak akan memberikan perhatian kepada kita di saat kita fokus pada pemilu,” paparnya.(Baca juga: Tolak Akui Kemenangan Biden, Trump: Pemilihan Belum Selesai! )
Di saat Biden berhasil mengamankan suara elektoral, perhatian tertuju kepada Trump yang memang terbiasa melanggar norma dalam pemerintahan dan politik. Trump tetap akan mempertahankan gayanya dengan membatasi kerja sama dan menghalangi proses demokrasi.
Banyak diplomat dan pengamat menganggap selama kekuasaan berakhir hingga 20 Januari nanti, Trump akan membuat kebijakan yang kacau balau mulai dari keputusan perang dagang hingga penarikan pasukan, serta pemberian amnesti. Trump juga diprediksi akan mempersulit penanganan pandemi virus corona dan upaya mencegah krisis ekonomi.
“Kita sangat khawatir dengan kebijakan yang tidak bisa diprediksi,” kata seorang pejabat pemerintahan yang menjadi aliansi AS di Kedutaan Besar asing di Washington. “Kebijakan pada masa transisi itu bisa menjadi citra buruk kredibilitas AS di dunia,” ujarnya.
Undang-Undang Transisi Kepresidenan yang disahkan pada 1964 dan diamendemen bebeberapa kali memberikan kesempatan bagi pegawai negeri sipil AS untuk memproses transfer data dan keahlian bagi para pejabat mendatang. Hal itu bertujuan untuk membatasi risiko politisasi. (Baca juga: Gugat Hasil Pilpres, Partai Republik Cari Dana Rp852 Miliar )
Para penasehat politi Biden terus memantai segala langkah yang dilakukan Biden dan loyalisnya dalam kebijakan dalam negeri dan luar negeri. Itu disebabkan mereka mewaspadai segala bentuk sabotase terhadap Biden saat berkuasa. Sejauh ini belum ada langkah drastis yang dilakukan Trump.
Biden telah membentuk merilis situs internet yang bertujuan untuk mewujudkan transisi pemerintahan yakni buildbackbetter.com. Namun, situs itu belum aktif sepenuhnya dan tidak akan rencana apa yang akan dilakukannya.
“Sekitar 200 orang akan bekerja merencanakan dan membuat kebijakan pemerintahan pada tim transisi tersebut,” kata Jordan Strauss, mantan pejabat Gedung Putih dan pengelola bisnis intelijen pada lembaga konsultan keuangan Duff & Phelps. Tim tersebut akan menempatkan ratusan perwakilan pada puluhan lembaga pada beberapa mendatang yang digunakan untuk menggantikan sekitar 4.000 pejabat yang ditunjuk secara politis oleh Trump. Mereka juga akan mengontrol anggaran tahunan senilai USD4,5 triliun.
Sejak Trump berkuasa pada Januari 2017, dia memang kerap menyerang pegawai negeri sipil dan Demokrat yang bekerja pada pemerintahannya. Di saat Trump bisa saja tak bisa bekerja sama, para pejabat dan pegawai federal AS akan bisa diajak membantu dan bekerja sama. Namun, langkah tersebut juga harus ada instruksi dari pejabat tinggi.
“Para pejabat Trump sejauh ini mengabaikan aturan untuk memfasilitasi transisi kepada perwakilan Biden,” kata ilmuwan politik Martha Joynt Kumar, penulis buku tentang transisi kekuasaan di Gedung Putih.
Chris Liddell, deputi kepala staf Gedung Putih, mengungkapkan transisi kekuasaan berkaitan dengan reputasi. “Transfer kekuasaan yang damai dan lancar tetap menjadi inti dari sistem politik AS,” paparnya.
Lihat Juga: Mengapa Stasiun Televisi AS ABC News Harus Membayar Ganti Rugi Rp240 Miliar kepada Donald Trump?
Kenapa?
Strategi untuk menjegal kemenangan Biden oleh Presiden Donald Trump mungkin saja berujung pada penghitungan surat suara di beberapa negara bagian AS yang akan menunda aktivitas terkaitan transisi kekuasaan. Itu pernah terjadi ketika George W Bush juga tidak langsung dinyatakan sebagai pemenang setelah lima pekan digelarnya pemilu.
“Pertarungan di pengadilan yang panjang akan menunda transisi. Itu akan berbahaya bagi kebijakan luar negeri,” ujar sumber anggota Kongres dari Partai Republik, dilansir Reuters. “Dunia tidak akan memberikan perhatian kepada kita di saat kita fokus pada pemilu,” paparnya.(Baca juga: Tolak Akui Kemenangan Biden, Trump: Pemilihan Belum Selesai! )
Di saat Biden berhasil mengamankan suara elektoral, perhatian tertuju kepada Trump yang memang terbiasa melanggar norma dalam pemerintahan dan politik. Trump tetap akan mempertahankan gayanya dengan membatasi kerja sama dan menghalangi proses demokrasi.
Banyak diplomat dan pengamat menganggap selama kekuasaan berakhir hingga 20 Januari nanti, Trump akan membuat kebijakan yang kacau balau mulai dari keputusan perang dagang hingga penarikan pasukan, serta pemberian amnesti. Trump juga diprediksi akan mempersulit penanganan pandemi virus corona dan upaya mencegah krisis ekonomi.
“Kita sangat khawatir dengan kebijakan yang tidak bisa diprediksi,” kata seorang pejabat pemerintahan yang menjadi aliansi AS di Kedutaan Besar asing di Washington. “Kebijakan pada masa transisi itu bisa menjadi citra buruk kredibilitas AS di dunia,” ujarnya.
Undang-Undang Transisi Kepresidenan yang disahkan pada 1964 dan diamendemen bebeberapa kali memberikan kesempatan bagi pegawai negeri sipil AS untuk memproses transfer data dan keahlian bagi para pejabat mendatang. Hal itu bertujuan untuk membatasi risiko politisasi. (Baca juga: Gugat Hasil Pilpres, Partai Republik Cari Dana Rp852 Miliar )
Para penasehat politi Biden terus memantai segala langkah yang dilakukan Biden dan loyalisnya dalam kebijakan dalam negeri dan luar negeri. Itu disebabkan mereka mewaspadai segala bentuk sabotase terhadap Biden saat berkuasa. Sejauh ini belum ada langkah drastis yang dilakukan Trump.
Biden telah membentuk merilis situs internet yang bertujuan untuk mewujudkan transisi pemerintahan yakni buildbackbetter.com. Namun, situs itu belum aktif sepenuhnya dan tidak akan rencana apa yang akan dilakukannya.
“Sekitar 200 orang akan bekerja merencanakan dan membuat kebijakan pemerintahan pada tim transisi tersebut,” kata Jordan Strauss, mantan pejabat Gedung Putih dan pengelola bisnis intelijen pada lembaga konsultan keuangan Duff & Phelps. Tim tersebut akan menempatkan ratusan perwakilan pada puluhan lembaga pada beberapa mendatang yang digunakan untuk menggantikan sekitar 4.000 pejabat yang ditunjuk secara politis oleh Trump. Mereka juga akan mengontrol anggaran tahunan senilai USD4,5 triliun.
Sejak Trump berkuasa pada Januari 2017, dia memang kerap menyerang pegawai negeri sipil dan Demokrat yang bekerja pada pemerintahannya. Di saat Trump bisa saja tak bisa bekerja sama, para pejabat dan pegawai federal AS akan bisa diajak membantu dan bekerja sama. Namun, langkah tersebut juga harus ada instruksi dari pejabat tinggi.
“Para pejabat Trump sejauh ini mengabaikan aturan untuk memfasilitasi transisi kepada perwakilan Biden,” kata ilmuwan politik Martha Joynt Kumar, penulis buku tentang transisi kekuasaan di Gedung Putih.
Chris Liddell, deputi kepala staf Gedung Putih, mengungkapkan transisi kekuasaan berkaitan dengan reputasi. “Transfer kekuasaan yang damai dan lancar tetap menjadi inti dari sistem politik AS,” paparnya.
Lihat Juga: Mengapa Stasiun Televisi AS ABC News Harus Membayar Ganti Rugi Rp240 Miliar kepada Donald Trump?
(ber)