Abaikan Kemarahan China, AS Setuju Jual 400 Rudal Harpoon ke Taiwan
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengizinkan penjualan 400 rudal jelajah anti-kapal Harpoon, bersama dengan peluncur mobile, radar, dan dukungan teknis terkait, ke Taiwan . Langkah Amerika ini mengabaikan kemarahan China yang sejak awal sangat menentang penjualan senjata ke pulau yang telah memerintah sendiri tersebut.
Nilai kesepkatan penjualan rudal Harpoon dan perangkat pendukungnya mencapai USD2,37 miliar. (Baca: AS-Jepang Latihan Perang Besar-besaran, Unjuk Kekuatan pada China )
Rudal Boeing Harpoon Block II akan melengkapi 100 Unit Transporter Peluncur Sistem Pertahanan Pantai Harpoon, 25 truk radar, empat rudal latihan, suku cadang, dan dukungan sebagai bagian dari kesepakatan.
Departemen Luar Negeri Amerika harus menyetujui penjualan senjata asing (FMS) sebelum kesepakatan dapat dicapai. Taiwan bermaksud menggunakan dananya sendiri untuk memperoleh rudal tersebut.
Penjualan rudal jelajah anti-kapal terjadi ketika ketegangan antara China dan Amerika Serikat meningkat terkait pandemi Covid-19, yang disalahkan oleh Presiden Trump pada China. Langkah Washington itu juga sebagai respons atas pengumuman hari ini bahwa China menjatuhkan sanksi kepada Boeing, Lockheed Martin dan Raytheon atas penjualan senjata Amerika ke Taiwan. (Baca: China Sanksi Perusahaan AS atas Penjualan Senjata ke Taiwan )
Pengumuman sanksi tersebut mendapat tanggapan yang tidak menyenangkan dari juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Morgan Ortagus, yang mengatakan dalam sebuah pernyataan melalui email bahwa sangat keterlaluan menargetkan perusahaan-perusahaan AS untuk melakukan kontrak dengan pemerintah Amerika Serikat.
“Upaya Beijing untuk membalas terhadap perusahaan AS dan asing atas penjualan mereka yang mendukung persyaratan pertahanan diri Taiwan yang sah tidak produktif,” kata Ortagus.
"Lebih buruk lagi, dalam kasus ini, Republik Rakyat China (RRC) memberikan sanksi kepada perusahaan karena melakukan bisnis dengan Pemerintah AS," ujarnya.
Ortagus mengindikasikan bahwa sanksi oleh China itu sebagai tanggapan atas penjualan dua sistem rudal yang tertunda dan sistem pengintaian udara kepada Taiwan yang diumumkan minggu lalu. (Baca: Dewan Cendekiawan Senior Saudi: Menghina Nabi Muhammad Hanya Melayani Ekstremis )
"Pada tanggal 21 Oktober, pemerintah memberi tahu Kongres tentang beberapa kemungkinan Penjualan Militer Asing ke Taiwan untuk rudal SLAM-ER, sistem roket HIMARS, dan pod pengintai MS-110," bunyi pernyataan Ortagus.
"Ini adalah penjualan FMS di manaBasisIndustri Pertahanan AS melakukan kontrak dengan Pemerintah AS," lanjut dia.
“Karena itu, RRC tampaknya menerapkan sanksi terhadap perusahaan AS karena melakukan kontrak dengan Pemerintah AS. Ini sepenuhnya tidak dapat diterima dan mencerminkan kurangnya pemahaman tentang sifat banyak kerja sama keamanan Amerika," imbuh dia seperti dikutip Defense News, Selasa (27/10/2020).
Taiwan telah memerintah sendiri setelah perang saudara China puluhan tahun silam. Namun, Beijing tidak mengakui pulau itu sebagai negara dan menganggapnya sebagai provinsinya yang membangkang. Beijing telah bersumpah menundukkan Taipei, bahkan dengan kekerasan militer jika perlu.
Lihat Juga: Eks Analis CIA Sebut Biden Mirip Pelaku Bom Bunuh Diri, Wariskan Perang Besar pada Trump
Nilai kesepkatan penjualan rudal Harpoon dan perangkat pendukungnya mencapai USD2,37 miliar. (Baca: AS-Jepang Latihan Perang Besar-besaran, Unjuk Kekuatan pada China )
Rudal Boeing Harpoon Block II akan melengkapi 100 Unit Transporter Peluncur Sistem Pertahanan Pantai Harpoon, 25 truk radar, empat rudal latihan, suku cadang, dan dukungan sebagai bagian dari kesepakatan.
Departemen Luar Negeri Amerika harus menyetujui penjualan senjata asing (FMS) sebelum kesepakatan dapat dicapai. Taiwan bermaksud menggunakan dananya sendiri untuk memperoleh rudal tersebut.
Penjualan rudal jelajah anti-kapal terjadi ketika ketegangan antara China dan Amerika Serikat meningkat terkait pandemi Covid-19, yang disalahkan oleh Presiden Trump pada China. Langkah Washington itu juga sebagai respons atas pengumuman hari ini bahwa China menjatuhkan sanksi kepada Boeing, Lockheed Martin dan Raytheon atas penjualan senjata Amerika ke Taiwan. (Baca: China Sanksi Perusahaan AS atas Penjualan Senjata ke Taiwan )
Pengumuman sanksi tersebut mendapat tanggapan yang tidak menyenangkan dari juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Morgan Ortagus, yang mengatakan dalam sebuah pernyataan melalui email bahwa sangat keterlaluan menargetkan perusahaan-perusahaan AS untuk melakukan kontrak dengan pemerintah Amerika Serikat.
“Upaya Beijing untuk membalas terhadap perusahaan AS dan asing atas penjualan mereka yang mendukung persyaratan pertahanan diri Taiwan yang sah tidak produktif,” kata Ortagus.
"Lebih buruk lagi, dalam kasus ini, Republik Rakyat China (RRC) memberikan sanksi kepada perusahaan karena melakukan bisnis dengan Pemerintah AS," ujarnya.
Ortagus mengindikasikan bahwa sanksi oleh China itu sebagai tanggapan atas penjualan dua sistem rudal yang tertunda dan sistem pengintaian udara kepada Taiwan yang diumumkan minggu lalu. (Baca: Dewan Cendekiawan Senior Saudi: Menghina Nabi Muhammad Hanya Melayani Ekstremis )
"Pada tanggal 21 Oktober, pemerintah memberi tahu Kongres tentang beberapa kemungkinan Penjualan Militer Asing ke Taiwan untuk rudal SLAM-ER, sistem roket HIMARS, dan pod pengintai MS-110," bunyi pernyataan Ortagus.
"Ini adalah penjualan FMS di manaBasisIndustri Pertahanan AS melakukan kontrak dengan Pemerintah AS," lanjut dia.
“Karena itu, RRC tampaknya menerapkan sanksi terhadap perusahaan AS karena melakukan kontrak dengan Pemerintah AS. Ini sepenuhnya tidak dapat diterima dan mencerminkan kurangnya pemahaman tentang sifat banyak kerja sama keamanan Amerika," imbuh dia seperti dikutip Defense News, Selasa (27/10/2020).
Taiwan telah memerintah sendiri setelah perang saudara China puluhan tahun silam. Namun, Beijing tidak mengakui pulau itu sebagai negara dan menganggapnya sebagai provinsinya yang membangkang. Beijing telah bersumpah menundukkan Taipei, bahkan dengan kekerasan militer jika perlu.
Lihat Juga: Eks Analis CIA Sebut Biden Mirip Pelaku Bom Bunuh Diri, Wariskan Perang Besar pada Trump
(min)