ABK Indonesia Diperbudak di Kapal Nelayan China, EJF Dorong Penyelidikan
loading...
A
A
A
SEOUL - Yayasan Keadilan Lingkungan (EJF) merilis laporan dari kapal nelayan China yang empat anak buah kapal (ABK) dilaporkan meninggal dunia akibat tak mendapat perawatan medis yang layak.
ABK asal Indonesia itu mengungkap berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius yang mereka alami seperti kekerasan fisik dan kerja 18 jam per hari, serta aktivitas penangkapan ikan ilegal oleh kapal nelayan China.
EJF dan Advokat untuk Hukum Kepentingan Publik (APIL) menyerukan investigasi segera pada armada kapal nelayan China yang masih terus beroperasi di Samudera Pasifik Barat itu.
Empat pria ABK itu semuanya mulai bekerja di kapal Long Xing 629 pada awal 2019. ABK pertama meninggal pada 21 Desember dan ABK kedua meninggal beberapa hari kemudian setelah dipindah ke kapal serupa Long Xing 802.
Pada akhir Maret, semua ABK dipindah ke dua kapal lain untuk transit ke Busan, Korea Selatan (Korsel). ABK ketiga meninggal di saat dalam perjalanan menuju Tian Yu 8. ABK keemapt meninggal setelah tiba di Korsel.
“Para ABK yang selamat dari kapal itu melaporkan para korban meninggal itu menderita bengkak, nyeri dada dan kesulitan bernafas selama beberapa pekan,” ungkap laporan Maritime Executive.
Kapten kapal dituduh menolak menuju pelabuhan untuk mendapat perawatan medis yang layak bagi para ABK yang sakit. Para ABK menganggap kematian rekan-rekannya itu akibat kualitas air yang buruk yang disediakan di kapal tersebut, meski tak ada autopsi yang dilakukan pada para ABK.
Tiga ABK yang meninggal di kapal itu dibuang begitu saja ke laut pada hari yang sama saat mereka meninggal, meski kontrak yang ada mengharuskan para pemilik kapal memulangkan jenazah itu ke negara asalnya yakni Indonesia.
ABK keempat meninggal saat dalam karantina setelah tiba di Korsel. “Dia juga tidak mendapat perawatan medis yang layak meski mengeluhkan gejala yang sama selama dua bulan,” ungkap ABK yang menghubungi EJF.
Para ABK menyebut kekerasan fisik dilakukan oleh para ABK senior asal China terhadap dua ABK asal Indonesia.
Para ABK harus bekerja 18 jam per hari dan dalam beberapa kasus dua hari berturut-turut tanpa istirahat. Kapal itu masih di laut selama setahun tanpa singgah di pelabuhan.
ABK Indonesia mengaku terpaksa minum air laut yang asin, sementara kru asal China dapat air minum segar dalam botol kemasan.
Laporan ini diberikan dari para ABK Indonesia dari Long Xing 629 yang sekarang berada di Korsel, saat mereka diwawancarai oleh para pengacara dari APIL.
Menurut kontrak mereka, sebagian besar ABK sepakat bekerja dengan gaji per bulan USD300. Namun banyak yang dibayar hanya USD42 per bulan dan gaji itu terus dikurangi untuk fee rekrutmen dan tabungan keamanan.
Itu artinya beberapa ABK hanya dibayar kurang dari USD300 selama setahun penuh. Tiga bulan gaji pertama mereka ditahan untuk emmbayar berbagai pemotongan itu.
“Selain melanggar kontrak kerja mereka, praktek pembayaran ini menunjukkan kerja paksa,” ungkap pernyataan EJF.
Paspor semua ABK juga disita oleh kapten di satu kapal saat para ABK memulai kontrak kerja mereka. ABK dari Long Xing 629 juga melaporkan penangkapan ikan ilegal skala industri dan memberikan foto-foto dan film sirip ikan hiu yang diduga sebagai spesies yang terancam punah.
Meski kapal itu terdaftar sebagai penangkap ikan tuna, para ABK menyatakan mereka menangkap hiu menggunakan peralatan khusus sehingga mereka dapat menangkap lebih dari 20 hiu per hari, untuk mengisi 16 boks penuh berisi sirip ikan hiu dengan masing-masing boks berbobot 45 kg.
Meski China tak memiliki aturan melarang sirip hiu, praktek ini melanggar aturan yang ditetapkan badan regional yang mengelola Samudera Pasifik Sentral Barat.
Berbagai foto yang diberikan ABK menunjukkan beberapa sirip hiu itu merupakan spesies yang terancam punah, termasuk hiu Hammerhead dan Oceanic White Tips.
ABK menyatakan sirip hiu itu dimasukkan boks dan dipindahkan antar kapal untuk dibawa ke pelabuhan dan dijual.
APIL dan EJF menyerukan investigasi oleh otoritas China dan internasional atas kejadian di kapal itu.
“Eksploitasi kerja yang parah terjadi dalam kasus ini yang hanya puncak gunung es. Kita harus memahami mekanisme structural dan kontraktual yang mencegah orang ini meninggalkan pekerjaan mereka dan dipaksa bekerja, bahkan saat mereka menghadapi sakit sangat serius dan pelanggaran HAM nyata. Ini termasuk perdagangan manusia dan kerja paksa. Ini contoh perdagangan manusia yang sangat terkait penangkapan ikan ilegal,” ungkap Pengacara APIL, Jong Chul-kim.
Direktur Eksekutif EJF Steve Trent menambahkan, “Ini kasus mengejutkan yang mengingatkan bahwa perubahan diperlukan di sektor pangan laut global.”
“Untuk menbaga laba di tengah menurunnya populasi ikan, para operator melakukan pelanggaran HAM dan menolak perawatan medis dasar ABK. Ini mungkin karena sebagian besar industri penangkapan ikan global beroperasi dalam bayangan, menjauh dari pemerintah dan perhatian publik,” papar Trent.
“Kita perlu langkah radikal menuju transparansi perikanan, demi tidak hanya ekosistem laut tapi orang yang tergantung pada laut untuk makanan dan mata pencarian,” ungkap Trent. (Baca Juga: Video: WNI Kerja Bak Budak di Kapal China, Meninggal Dibuang di Laut)
ABK asal Indonesia itu mengungkap berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius yang mereka alami seperti kekerasan fisik dan kerja 18 jam per hari, serta aktivitas penangkapan ikan ilegal oleh kapal nelayan China.
EJF dan Advokat untuk Hukum Kepentingan Publik (APIL) menyerukan investigasi segera pada armada kapal nelayan China yang masih terus beroperasi di Samudera Pasifik Barat itu.
Empat pria ABK itu semuanya mulai bekerja di kapal Long Xing 629 pada awal 2019. ABK pertama meninggal pada 21 Desember dan ABK kedua meninggal beberapa hari kemudian setelah dipindah ke kapal serupa Long Xing 802.
Pada akhir Maret, semua ABK dipindah ke dua kapal lain untuk transit ke Busan, Korea Selatan (Korsel). ABK ketiga meninggal di saat dalam perjalanan menuju Tian Yu 8. ABK keemapt meninggal setelah tiba di Korsel.
“Para ABK yang selamat dari kapal itu melaporkan para korban meninggal itu menderita bengkak, nyeri dada dan kesulitan bernafas selama beberapa pekan,” ungkap laporan Maritime Executive.
Kapten kapal dituduh menolak menuju pelabuhan untuk mendapat perawatan medis yang layak bagi para ABK yang sakit. Para ABK menganggap kematian rekan-rekannya itu akibat kualitas air yang buruk yang disediakan di kapal tersebut, meski tak ada autopsi yang dilakukan pada para ABK.
Tiga ABK yang meninggal di kapal itu dibuang begitu saja ke laut pada hari yang sama saat mereka meninggal, meski kontrak yang ada mengharuskan para pemilik kapal memulangkan jenazah itu ke negara asalnya yakni Indonesia.
ABK keempat meninggal saat dalam karantina setelah tiba di Korsel. “Dia juga tidak mendapat perawatan medis yang layak meski mengeluhkan gejala yang sama selama dua bulan,” ungkap ABK yang menghubungi EJF.
Para ABK menyebut kekerasan fisik dilakukan oleh para ABK senior asal China terhadap dua ABK asal Indonesia.
Para ABK harus bekerja 18 jam per hari dan dalam beberapa kasus dua hari berturut-turut tanpa istirahat. Kapal itu masih di laut selama setahun tanpa singgah di pelabuhan.
ABK Indonesia mengaku terpaksa minum air laut yang asin, sementara kru asal China dapat air minum segar dalam botol kemasan.
Laporan ini diberikan dari para ABK Indonesia dari Long Xing 629 yang sekarang berada di Korsel, saat mereka diwawancarai oleh para pengacara dari APIL.
Menurut kontrak mereka, sebagian besar ABK sepakat bekerja dengan gaji per bulan USD300. Namun banyak yang dibayar hanya USD42 per bulan dan gaji itu terus dikurangi untuk fee rekrutmen dan tabungan keamanan.
Itu artinya beberapa ABK hanya dibayar kurang dari USD300 selama setahun penuh. Tiga bulan gaji pertama mereka ditahan untuk emmbayar berbagai pemotongan itu.
“Selain melanggar kontrak kerja mereka, praktek pembayaran ini menunjukkan kerja paksa,” ungkap pernyataan EJF.
Paspor semua ABK juga disita oleh kapten di satu kapal saat para ABK memulai kontrak kerja mereka. ABK dari Long Xing 629 juga melaporkan penangkapan ikan ilegal skala industri dan memberikan foto-foto dan film sirip ikan hiu yang diduga sebagai spesies yang terancam punah.
Meski kapal itu terdaftar sebagai penangkap ikan tuna, para ABK menyatakan mereka menangkap hiu menggunakan peralatan khusus sehingga mereka dapat menangkap lebih dari 20 hiu per hari, untuk mengisi 16 boks penuh berisi sirip ikan hiu dengan masing-masing boks berbobot 45 kg.
Meski China tak memiliki aturan melarang sirip hiu, praktek ini melanggar aturan yang ditetapkan badan regional yang mengelola Samudera Pasifik Sentral Barat.
Berbagai foto yang diberikan ABK menunjukkan beberapa sirip hiu itu merupakan spesies yang terancam punah, termasuk hiu Hammerhead dan Oceanic White Tips.
ABK menyatakan sirip hiu itu dimasukkan boks dan dipindahkan antar kapal untuk dibawa ke pelabuhan dan dijual.
APIL dan EJF menyerukan investigasi oleh otoritas China dan internasional atas kejadian di kapal itu.
“Eksploitasi kerja yang parah terjadi dalam kasus ini yang hanya puncak gunung es. Kita harus memahami mekanisme structural dan kontraktual yang mencegah orang ini meninggalkan pekerjaan mereka dan dipaksa bekerja, bahkan saat mereka menghadapi sakit sangat serius dan pelanggaran HAM nyata. Ini termasuk perdagangan manusia dan kerja paksa. Ini contoh perdagangan manusia yang sangat terkait penangkapan ikan ilegal,” ungkap Pengacara APIL, Jong Chul-kim.
Direktur Eksekutif EJF Steve Trent menambahkan, “Ini kasus mengejutkan yang mengingatkan bahwa perubahan diperlukan di sektor pangan laut global.”
“Untuk menbaga laba di tengah menurunnya populasi ikan, para operator melakukan pelanggaran HAM dan menolak perawatan medis dasar ABK. Ini mungkin karena sebagian besar industri penangkapan ikan global beroperasi dalam bayangan, menjauh dari pemerintah dan perhatian publik,” papar Trent.
“Kita perlu langkah radikal menuju transparansi perikanan, demi tidak hanya ekosistem laut tapi orang yang tergantung pada laut untuk makanan dan mata pencarian,” ungkap Trent. (Baca Juga: Video: WNI Kerja Bak Budak di Kapal China, Meninggal Dibuang di Laut)
(sya)