Pilpres Amerika Serikat, Buku Jadi Senjata Politik AS

Jum'at, 11 September 2020 - 11:15 WIB
loading...
Pilpres Amerika Serikat, Buku Jadi Senjata Politik AS
Joe Biden dan Donald Trump. Foto/Reuters
A A A
WASHINGTON - Calon presiden (capres) Joe Biden dari Partai Demokrat menuding Presiden Donald Trump yang menjadi capres dari Partai Republik mengkhianati rakyat AS. Serangan Biden itu diungkapkan setelah membaca buku karya jurnalis senior Bob Woodward yang baru dirilis berjudul “Rage”.

Serangan Biden itu berkaitan dengan kebijakan yang dilakukan Trump. Pada awalnya, Trump mengetahui kalau virus korona memang mematikan dan menular. Tetapi, Trump memilih mengabaikannya karena dia tidak ingin menciptakan kepanikan. Itu diungkapkan oleh Woodward dalam bukunya. Buku itu sepertinya menjadi senjata yang efektif dan efisien dalam menyerang lawan menjelang pemilu presiden pada 3 November mendatang. (Baca: 7 Daerah Ini Masih Berlakukan PSBB)

“Dia ( Trump ) mengetahui dan bertujuan mengabaikannya. Lebih buruknya, dia berbohong kepada rakyat AS,” kata Biden saat berpidato di Michigan dilansir Reuters. Biden sedang berkunjung ke negara bagian yang menjadi perebutan dan pertarungan sengit, yakni Michigan, lokasi industri otomotif AS. Dia mempromosikan proposal pajak perusahaan. “Saat penyakit mematikan itu telah menyebar ke seluruh negara ini, dia (Trump) gagal melaksanakan tujuannya,” kata Biden.

Dalam banyak jajak pendapat, Biden selalu unggul secara nasional. Survei Reuters/Ipsos menunjukkan Biden unggul 12 poin. Biden dan Trump memang berlomba menjelang pemilu presiden mendatang pada saat pandemi korona.

Bagaimana komentar Trump ? "Saya tidak ingin orang takut, saya tidak ingin membuat panik, seperti yang Anda katakan, dan tentu saja saya tidak akan membawa negara ini maupun dunia ke dalam kegilaan,” kata Trump kepada jurnalis pada Rabu (9/9) waktu setempat. “Kami ingin menunjukkan kepercayaan diri, kami ingin menunjukkan kekuatan,” ujarnya. Trump menjelaskan bahwa buku Woodward merupakan "serangan politis".

Sementara itu, juru bicara Gedung Putih, Kayleigh McEnany, menjelaskan Trump tidak pernah meremehkan virus tersebut. “Presiden menyampaikan ketenangan. Presiden serius tentang ini,” ujarnya. (Baca juga: Tuntutlah Ilmu Walau ke Negeri China Ternyata Bukan Hadis Shahih)

Woodward, jurnalis yang pertama melaporkan tentang skandal Watergate pada era Nixon, mewawancarai Trump 18 kali mulai dari Desember hingga Juli. Trump mengatakan kepadanya bahwa virus tersebut "mematikan" sebelum kematian pertama di AS terkonfirmasi. Buku berjudul “Rage” sejatinya akan dirilis pada 15 September mendatang, tapi cuplikan buku itu telah disebar ke media massa.

Trump mengindikasikan bahwa dia mengetahui lebih banyak tentang tingkat keparahan penyakit Covid-19 daripada yang ia katakan di depan umum. Menurut rekaman percakapan, Trump memberi tahu Woodward pada Februari lalu bahwa virus korona lebih mematikan daripada flu.

"Itu menyebar melalui udara," kata Trump kepada Woodward pada 7 Februari. "Itu selalu lebih sulit daripada sentuhan. Anda tidak perlu menyentuh apa pun. Betul? Tetapi dengan udara, Anda hanya perlu menghirup udara dan begitulah penyebarannya. Karenanya, (virus korona) ini sangat rumit. Sangat pelik. (Virus korona) itu juga lebih mematikan daripada flu-flu yang berat,” kata Trump.

Namun, pada bulan yang sama, Trump berjanji bahwa virus itu "sangat terkendali" dan jumlah kasus akan segera mendekati nol. Dia juga secara terbuka menyiratkan flu biasa lebih berbahaya daripada Covid-19. Saat berbicara di Capitol Hill pada 10 Maret, Trump berkata: "Tenang saja. Itu akan hilang." Sembilan hari kemudian, hanya hitungan hari setelah Gedung Putih mengumumkan pandemi sebagai darurat nasional, Trump mengatakan kepada Woodward: "Saya ingin selalu mengecilkannya. Saya masih suka mengecilkannya, karena saya tidak ingin membuat panik." (Baca juga: Jaga Tingkat Hidrasi, Jangan Tunggu Haus Baru Minum)

Buku Rage juga mengungkapkan tentang aksi antirasisme di AS. Woodward menulis bahwa dia mengungkit protes Black Lives Matter dalam percakapan dengan sang presiden pada 19 Juni, menyarankan bahwa orang "kulit putih yang memiliki hak istimewa" seperti diri mereka harus berusaha memahami bagaimana perasaan orang kulit hitam Amerika. "Anda benar-benar meminum Kool-Aid itu, betul," kata Trump. "Dengarkan saja dirimu,"ujarnya.

Protes yang meluas secara nasional terhadap kebrutalan polisi dan rasisme dipicu oleh kematian George Floyd di Minnesota pada Mei lalu. Trump juga mengulangi pernyataan bahwa dia telah berbuat lebih banyak untuk orang keturunan Afrika-Amerika daripada presiden mana pun selain Abraham Lincoln yang menghapus perbudakan. Kemudian pada 8 Juli, Trump kembali menegaskan bahwa dia telah "melakukan banyak hal untuk komunitas kulit hitam", tetapi "tidak merasakan rasa cinta apa pun".

Buku Woodward juga mengutip puluhan surat antara Trump dan Kim Jong-un dari Korea Utara (Korut). Dalam surat-suratnya yang diisi dengan bahasa berbunga-bunga, Kim dilaporkan menyebut Trump sebagai "Your Excellency (Yang Mulia)" dan menyatakan "persahabatan yang mendalam dan istimewa akan bekerja sebagai kekuatan magis."

Bukan Hanya Satu Buku Saja

Mantan penasihat keamanan nasional John Bolton menulis buku berjudul "The Room Where It Happened: A White House Memoir.” Berbeda dengan buku Woodward yang tidak menuai protes dari Trump, buku yang ditulis Bolton justru mendapatkan kecaman dari Trump. (Baca juga: Jakarta PSBB Lagi, Kegiatan Ekonomi Jabodetabek Bisa Ambles)

Pemerintahan Trump mengungkapkan pelarangan terhadap buku berjudul "The Room Where It Happened: A White House Memoir," karena mengandung informasi rahasia dan mengancam keamanan nasional. Buku direncanakan akan dijual di toko buku dan online pada Selasa (besok). Tetapi, buku tersebut telah didapatkan oleh banyak media dan jurnalis. Buku itu sangat menelanjangi Trump yang terus mengalami penurunan popularitas.

Salah satu hal terpenting dalam buku tersebut adalah tudingan kalau Trump meminta bantuan China untuk memenangkan pemilu presiden pada November mendatang. Bolton mengungkapkan, Trump meminta Presiden China Xi Jinping untuk menjamin agar dia bisa menang pada pemilu presiden. Tuduhan Bolton mengacu pada pertemuan antara Trump dan Xi pada pertemuan G20 di Osaka, Jepang, Juni 2019. Presiden China itu mengeluh bahwa sejumlah kalangan di AS menyerukan perang dingin yang baru, menurut Bolton dalam cuplikan buku tersebut. Trump, seperti disebutkan Bolton, kemudian berasumsi bahwa Xi merujuk pada orang-orang Partai Demokrat.

Dalam buku tersebut, Bolton juga membahas klaim-klaim yang berujung pada sidang pemakzulan Trump. Klaim itu, antara lain, Trump menahan bantuan militer ke Ukraina guna menekan Presiden Volodymyr Zelensky agar memulai penyelidikan terhadap Joe Biden dan putranya, Hunter. Trump membantah laporan tersebut, setelah sidang berjalan selama dua pekan di Senat yang dikendalikan Partai Republik, dia tidak dimakzulkan. (Lihat videonya: Tawuran Remaja Sambil Berenang Kembali Terjadi di Jakarta Utara)

Buku yang tidak kalah mengejutkan adalah berjudul “Too Much and Never Enough: How My Family Created the World's Most Dangerous Man” yang ditulis keponakan Presiden Trump, yakni Mary Trump. Mary merupakan seorang psikolog sehingga dia berbicara mengenai psikologi Trump. "Donald merupakan pria yang sangat rusak secara psikologis, berdasarkan asuhan dan hubungan dengan orang tuanya," katanya dilansir CNN. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1660 seconds (0.1#10.140)