Ketergantungan Banyak Negara ke China Makin Mengkhawatirkan

Sabtu, 05 September 2020 - 06:48 WIB
loading...
Ketergantungan Banyak Negara ke China Makin Mengkhawatirkan
Foto/dok
A A A
BEIJING - Masa depan banyak negara baik di Asia maupun Afrika kini bergantung atau berada di tangan China. Ketergantungan itu, terutama di sektor perekonomian, menjadikan Beijing dengan mudah melakukan intervensi politik hingga pertahanan.

Di Asia negara seperti Pakistan, Thailand, dan Myanmar sudah “tunduk” kepada China karena bantuan pinjaman dan bantuan ekonomi yang diberikan. Mereka juga ikut menyukseskan program Jalur Sutra Modern atau Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) berupa proyek pembangunan infrastruktur untuk mendukung akses perdagangan. Proyek BRI itu bernilai multitriliunan dolar untuk menebar pengaruh Beijing dengan dalih infrastruktur.

Dengan dana Jalur Sutra yang dikucurkan China ke berbagai negara, Beijing akan mendapatkan jaminan aset berupa tambang mineral atau pelabuhan. Utang yang berlebihan bisa menjadi masalah bagi negara yang berutang, tetapi tidak dengan China karena menjadikan hal itu sebagai kesempatan. Program Jalur Sutra yang diluncurkan pada 2013 itu telah melibatkan 138 negara dan 30 organisasi internasional dengan berinvestasi untuk menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa dengan nilai USD8 triliun. (Baca: Usai Diperika Oleh Dewan Pengawas KPK, Firli Bahuri Memilih Bungkam)

Pada 2017 sebuah think tank asal India menyebut, program Jalur Sutra China merupakan “diplomasi jebakan utang”. Kasus itu terbukti ketika Sri Lanka gagal membayar utang proyek Pelabuhan Hambantota yang terletak di pantai Selatan Sri Lanka melalui bantuan utang sebesar USD1,5 miliar. Pada 2017 Sri Lanka harus merelakan pelabuhan tersebut kepada China karena tidak mampu membayar utangnya. Akibatnya, Sri Lanka harus menandatangani kontrak untuk melayani perusahaan milik negara China selama 99 tahun.

Kasus Sri Lanka menjadi pelajaran berharga bahwa risiko dan desain strategi China dalam menjebak utang. Ketakutan semakin meningkat setelah Center for Global Development, think tank asal Washington, memperingatkan 23 dari 68 negara yang mendapatkan keuntungan dari program Jalur Sutra berisiko mengalami permasalahan utang.

Siapa negara tersebut? Mereka adalah Djibouti, Kyrgyzstan, Laos, Mongolia, Montenegro, Maladewa , Pakistan, dan Tajikistan. “Permasalahan utang akan menciptakan tingkat ketergantungan terhadap China sebagai kreditur,” ungkap Center for Global Development.

Belajar dari pengalaman, Malaysia memanfaatkan utang dari China untuk proyek yang tidak strategis. Malaysia menginvestasikan utang dari China dalam sektor industri, properti, dan hiburan. Dalam kajian yang dilakukan Chatham House, Malaysia justru menyerahkan proyek komersial seperti pelabuhan dan jalur kereta api kepada aktor dalam negeri. Hal berbeda dilakukan di Afrika. Analisis Brookings Institution menyebut proyek utang China di Afrika justru menjadi “predator” di mana negara Afrika meminjam uang dari China tetap mengintegrasikan dalam manajemen utang dan anggaran. (Baca juga: Memanas, Rusia Bakal Gelar Latihan di Laut Mediterania)

Analisis Asia Society Policy Institute dari AS juga menyebut proyek Jalur Sutra China di Asia Pasifik cenderung menjadi utang yang tidak berkelanjutan. China bisa merenegosiasi sejumlah kontrak dan penyesuaian realitas baru.

Terbaru adalah pengakuan Perdana Menteri (PM) Pakistan Imran Khan bahwa masa depan negara kini bergantung kepada China. Namun, dia mengungkapkan pertumbuhan ekonomi China yang lebih cepat dibandingkan negara lain di dunia menjadikan Pakistan juga ikut diuntungkan. Ketika China terus menjadi negara maju, rakyat Pakistan akan diuntungkan keluar dari kemiskinan.

“Ekonomi masa depan Pakistan berkaitan dengan China dan hubungan bilateral Islamabad dan Beijing lebih baik dibandingkan sebelumnya,” kata Khan dalam wawancara dengan Al Jazeera beberapa waktu lalu. Meski demikian, kedekatan Pakistan dengan China juga menguntungkan dalam geopolitik seiring konflik Beijing dan New Delhi di perbatasan mereka.

Pada awal Agustus lalu Pakistan menyepakati proyek mahal Koridor Ekonomi China-Pakistan bernilai USD6,8 miliar untuk meningkatkan jalur kereta api. Itu bagian kecil dari janji Beijing untuk proyek infrastruktur senilai USD60 miliar di Pakistan dalam rangka Jalur Sutra. Proyek itu akan memperbaiki jalur kereta sepanjang 2.655 km sehingga meningkatkan kapasitas perjalanan 150 kereta per hari.

Bukan hanya Pakistan, Thailand pun demikian. Trinh Nguyen dari lembaga kajian internasional Carnegie menyatakan ekonomi Thailand terlalu bergantung pada China. Bukan hanya dari segi bantuan keuangan dari Beijing, tetapi juga kunjungan wisatawan China ke Thailand.

Thailand juga bekerja dengan China membangun jalur kereta. Proyek kereta supercepat itu bagian dari jaringan rel sepanjang 873 km yang menghubungkan Thailand dan Laos melalui Sungai Mekong. Program itu bagian dari Jalan Sutra China untuk menghubungkan ekonomi terbesar kedua dunia dengan Asia Tenggara, Pakistan, dan Asia Tengah. (Baca juga: Jeli, Cara Selebriti Manfaatkan TikTok untuk Publikasi)

Diklaim oleh Zhang Yongjun, peneliti China Centre for International Economic Exchanges berbasis di Beijing, proyek itu akan meningkatkan perekonomian bagi Thailand. “Itu akan mengoneksikan Bangkok dan China dan negara lain di masa depan,” katanya, dilansir Phnompenh Post.

Faktanya, ketergantungan kepada China bukan hanya terjadi pada negara berkembang. Negara maju seperti AS, Jepang, dan Prancis juga terlalu bergantung banyak kepada perusahaan China untuk memproduksi ponsel pintar, obat-obatan, dan produk lainnya. Seiring dengan pandemi, perang dagang China-AS menjadikan banyak perusahaan global berusaha menghindari konflik politik dengan mencoba mengurangi ketergantungan dengan China.

Jit Lim dari firma konsultan manajemen, Alvarez & Marsal, mengatakan, China masih menawarkan jaringan suplai dan pasokan ke berbagai industri. Posisi China dianggap tidak bisa digantikan.

“Untuk mengurangi ketergantungan dari China , perlunya negara melakukan diversifikasi ekonomi,” saran Oliver Tonby dari lembaga konsultan manajemen McKinsey. Negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam juga tergantung dengan perekonomian China karena menjadi satu di antara mata rantai perdagangan Beijing.

Sementara dalam diplomasi, China mengalahkan AS sebagai negara dengan jumlah pos diplomasi terbesar di dunia. Itu mengindikasikan ambisi internasional Beijing untuk memperkuat geopolitik dan mengembangkan perdagangan. (Baca juga: 5 Camilan Malam yang Enak, Juga Menyehatkan)

Laporan yang dipublikasikan dalam Global Diplomacy Index oleh Lowy Institute berbasis di Sydney, berpijak pada analisis jumlah kedutaan besar (kedubes) dan konsulat yang dimiliki suatu negara di seluruh dunia. Indeks Diplomasi Global Lowy 2019 itu memetakan 61 jaringan diplomasi di seluruh dunia baik kedubes, konsulat, misi permanen, dan posisi diplomatik lainnya.

Mereka melacak seluruh negara anggota G-20 dan OECD dan sebagian besar adalah negara Asia. Berdasarkan laporan tersebut, China memiliki 276 posisi diplomasi secara global atau selisih tiga dibandingkan AS. Washington dan Beijing memiliki jumlah kedubes yang sama, tetapi China memiliki lebih banyak konsulat lebih banyak dibandingkan AS.

Presiden China Xi Jinping memiliki agenda ambisius untuk menjadikan China sebagai negara superpower baik secara ekonomi dan militer di dunia. “Xi memiliki semua kekuatan. Tapi, kita tidak mengetahui bagaimana dia ingin menggunakannya untuk apa,” kata Kerry Brown, direktur Institute China Lau di King's College London, dilansir Channel News Asia. “Jika itu digunakan untuk menangkal tantangan China, itu akan menjadi hal baik. Jika tidak, itu akan menjadi masalah mendalam,” ucapnya. (Lihat videonya: Pekerja Diduga Lalai, Dua Bangunan Ruko Roboh)

Dalam bidang ekonomi, China menabuh genderang perang perdagangan dengan Amerika Serikat. Beijing semakin percaya diri dengan stabilitas politik dan ekonominya. “Di masa depan, Xi akan memimpin China sangat lama. Itu menjadi jaminan kalau hubungan luar negeri akan stabil dan bisa diprediksi,” ujar Wu Xinbo, pakar perpolitikan AS di Universitas Fudan. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1575 seconds (0.1#10.140)