Bahas Penarikan Pasukan AS, PM Irak Ajak Pompeo Duduk Satu Meja
A
A
A
BAGHDAD - Perdana Menteri (PM) Irak, Adel Abdul Mahdi, meminta Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Michael Pompeo untuk mengirim pejabat untuk menyusun mekanisme penarikan pasukan AS dari negara itu. Permintaan ini muncul sebagai dampak dari pembunuhan terhadap seorang jenderal top Iran oleh AS di Baghdad.
Pernyataan yang dikeluarkan kantor PM Irak mengutip panggilan telepon pada Kamis kemarin antara Abdul Madi dengan Pompeo. Ini menunjukkan bahwa Abdul Mahdi mendukung tuntutan anggota parlemen Irak agar pasukan AS keluar setelah pembunuhan terhadap Jenderal Qassem Soleimani yang mengancam akan mengubah wilayah Irak menjadi medan pertempuran proksi seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (10/1/2020).
Pembunuhan terhadap Jenderal Qassem Soleimani, yang mengawai operasi militer asing Iran, membuat marah politisi Syiah di Irak. Banyak dari mereka memiliki hubungan yang dekat dengan Teheran.
Keberadaan mereka yang mayoritas di parlemen Irak sudah cukup untuk memenangkan pemungutan suara mengusir pasukan AS, meskipun legislator Sunni Arab dan Kurdi memboikotnya.
Militer Iran kemudian menembakkan rudal sebagai balasan ke pangkalan di Irak di mana pasukan AS ditempatkan. Analisis Pentagon tentang serangan itu menunjukkan bahwa rudal ditujukan pada bagian pangkalan yang tidak berpenghuni.
Kedua belah pihak kemudian mundur dari aksi militer, dengan Presiden Donald Trump meminta para pemimpin Iran untuk menegosiasikan perdamaian.
Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengatakan di Twitter bahwa serangan rudal itu "menyimpulkan" pembalasan Iran atas pembunuhan Soleimani. Sekalipun Teheran menahan diri dari serangan langsung lebih lanjut, meskipun demikian, Iran mungkin masih mencari pembalasan melalui cara yang lebih rahasia, seperti serangan oleh milisi proksi atau di dunia maya.
Tidak jelas bagaimana AS akan bereaksi terhadap permintaan Abdul Mahdi. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menanggapi dengan emosi hasil pemilihan di parlemen Irak dan menuntut kompensasi untuk investasi yang dilakukan di negara itu selama dua dekade terakhir jika pemerintah Irak bersikeras pasukan AS harus pergi. (Baca: Irak Ingin Usir Tentara AS, Trump Minta Baghdad Bayar Dulu )
Pemimpin Pentagon Mark Esper kemudian mengatakan bahwa ia percaya rakyat Irak dan anggota parlemen masih menginginkan AS untuk mempertahankan kehadiran pasukannya di negara itu, 17 tahun setelah negara itu diserbu untuk menggulingkan Saddam Hussein.
Trump meningkatkan ketegangan dengan Iran pada 2018 dengan menarik diri dari perjanjian nuklir yang dinegosiasikan oleh pendahulunya, Barack Obama, dan menerapkan kembali sanksi yang telah menghancurkan ekonomi Iran.
Iran menanggapinya dengan menarik diri dari perjanjian itu secara bertahap, sementara pasukan proksinya di Yaman, Irak dan Suriah secara luas dipandang telah berada di belakang serangan terhadap berbagai target termasuk infrastruktur minyak di Arab Saudi, sekutu penting AS di Timur Tengah.
Trump memerintahkan Soleimani dibunuh setelah serangan roket 27 Desember pada pangkalan bersama AS-Irak di dekat Kirkuk yang mengakibatkan kematian seorang kontraktor Amerika. AS menyalahkan serangan terhadap milisi yang didukung Iran dan membunuh pemimpinnya dalam serangan terhadap Soleimani. (Baca: Jenderal Soleimani Dihabisi AS atas Perintah Trump )
Pembunuhan itu adalah ujian terakhir bagi sebuah negara yang telah mengalami pergolakan tanpa henti sejak invasi AS.
Rakyat Irak yang muak dengan korupsi dan lambatnya pemulihan dari puing-puing yang ditinggalkan oleh perang dengan Negara Islam (IS dahulu ISIS) kemudian turun ke jalan pada bulan Oktober guna memprotes yang juga menargetkan dominasi Iran atas politik negara itu.
Ulama Syiah terkemuka Irak pada hari Jumat mengecam "pelanggaran berulang" dari kedaulatan negara dan ketidakmampuan pemerintah Irak untuk mencegah serangan.
Ayatollah Ali al-Sistani mengatakan bahwa tidak ada kekuatan luar yang harus menentukan nasib Irak.
"Tindakan agresif berbahaya terbaru, yang merupakan pelanggaran berulang terhadap kedaulatan Irak, adalah bagian dari situasi yang memburuk" di kawasan itu, katanya, menurut perwakilannya Ahmed Al-Safi.
Pernyataan yang dikeluarkan kantor PM Irak mengutip panggilan telepon pada Kamis kemarin antara Abdul Madi dengan Pompeo. Ini menunjukkan bahwa Abdul Mahdi mendukung tuntutan anggota parlemen Irak agar pasukan AS keluar setelah pembunuhan terhadap Jenderal Qassem Soleimani yang mengancam akan mengubah wilayah Irak menjadi medan pertempuran proksi seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (10/1/2020).
Pembunuhan terhadap Jenderal Qassem Soleimani, yang mengawai operasi militer asing Iran, membuat marah politisi Syiah di Irak. Banyak dari mereka memiliki hubungan yang dekat dengan Teheran.
Keberadaan mereka yang mayoritas di parlemen Irak sudah cukup untuk memenangkan pemungutan suara mengusir pasukan AS, meskipun legislator Sunni Arab dan Kurdi memboikotnya.
Militer Iran kemudian menembakkan rudal sebagai balasan ke pangkalan di Irak di mana pasukan AS ditempatkan. Analisis Pentagon tentang serangan itu menunjukkan bahwa rudal ditujukan pada bagian pangkalan yang tidak berpenghuni.
Kedua belah pihak kemudian mundur dari aksi militer, dengan Presiden Donald Trump meminta para pemimpin Iran untuk menegosiasikan perdamaian.
Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengatakan di Twitter bahwa serangan rudal itu "menyimpulkan" pembalasan Iran atas pembunuhan Soleimani. Sekalipun Teheran menahan diri dari serangan langsung lebih lanjut, meskipun demikian, Iran mungkin masih mencari pembalasan melalui cara yang lebih rahasia, seperti serangan oleh milisi proksi atau di dunia maya.
Tidak jelas bagaimana AS akan bereaksi terhadap permintaan Abdul Mahdi. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menanggapi dengan emosi hasil pemilihan di parlemen Irak dan menuntut kompensasi untuk investasi yang dilakukan di negara itu selama dua dekade terakhir jika pemerintah Irak bersikeras pasukan AS harus pergi. (Baca: Irak Ingin Usir Tentara AS, Trump Minta Baghdad Bayar Dulu )
Pemimpin Pentagon Mark Esper kemudian mengatakan bahwa ia percaya rakyat Irak dan anggota parlemen masih menginginkan AS untuk mempertahankan kehadiran pasukannya di negara itu, 17 tahun setelah negara itu diserbu untuk menggulingkan Saddam Hussein.
Trump meningkatkan ketegangan dengan Iran pada 2018 dengan menarik diri dari perjanjian nuklir yang dinegosiasikan oleh pendahulunya, Barack Obama, dan menerapkan kembali sanksi yang telah menghancurkan ekonomi Iran.
Iran menanggapinya dengan menarik diri dari perjanjian itu secara bertahap, sementara pasukan proksinya di Yaman, Irak dan Suriah secara luas dipandang telah berada di belakang serangan terhadap berbagai target termasuk infrastruktur minyak di Arab Saudi, sekutu penting AS di Timur Tengah.
Trump memerintahkan Soleimani dibunuh setelah serangan roket 27 Desember pada pangkalan bersama AS-Irak di dekat Kirkuk yang mengakibatkan kematian seorang kontraktor Amerika. AS menyalahkan serangan terhadap milisi yang didukung Iran dan membunuh pemimpinnya dalam serangan terhadap Soleimani. (Baca: Jenderal Soleimani Dihabisi AS atas Perintah Trump )
Pembunuhan itu adalah ujian terakhir bagi sebuah negara yang telah mengalami pergolakan tanpa henti sejak invasi AS.
Rakyat Irak yang muak dengan korupsi dan lambatnya pemulihan dari puing-puing yang ditinggalkan oleh perang dengan Negara Islam (IS dahulu ISIS) kemudian turun ke jalan pada bulan Oktober guna memprotes yang juga menargetkan dominasi Iran atas politik negara itu.
Ulama Syiah terkemuka Irak pada hari Jumat mengecam "pelanggaran berulang" dari kedaulatan negara dan ketidakmampuan pemerintah Irak untuk mencegah serangan.
Ayatollah Ali al-Sistani mengatakan bahwa tidak ada kekuatan luar yang harus menentukan nasib Irak.
"Tindakan agresif berbahaya terbaru, yang merupakan pelanggaran berulang terhadap kedaulatan Irak, adalah bagian dari situasi yang memburuk" di kawasan itu, katanya, menurut perwakilannya Ahmed Al-Safi.
(ian)