Pangeran Arab Saudi Ungkap Cara Hentikan Israel Invasi Gaza
loading...
A
A
A
RIYADH - Pangeran senior Arab Saudi Turki al-Faisal mengatakan kecaman kasar sudah tidak mempan bagi Israel untuk menghentikan invasi brutalnya di Jalur Gaza, Palestina.
Menurutnya, cara yang efektif adalah menghentikan bantuan senjata dan bantuan keuangan oleh seluruh masyarakat internasional, khususnya oleh Amerika Serikat (AS).
“Kata-kata kasar tidak akan meyakinkan [Perdana Menteri Israel Benjamin] Netanyahu untuk mundur. Yang akan membuatnya mundur adalah tindakan seperti penghentian senjata, penghentian bantuan keuangan,” kata Pangeran Turki, seperti dikutip dari Al Arabiya English, Jumat (20/9/2024).
"Menghentikan serangan Israel di Gaza akan membutuhkan tindakan khusus oleh Amerika Serikat dan seluruh masyarakat dunia untuk menghukum Israel atas apa yang dilakukannya,” lanjut mantan kepala mata-mata Arab Saudi tersebut.
Dia mengkritik kegagalan diplomatik yang sedang berlangsung untuk mengekang kebijakan agresif rezim Zionis Israel di Palestina.
Perihal pemilihan presiden AS yang akan berlangsung November mendatang, Pangeran Turki menyuarakan optimismenya pada Kamal Harris—wakil presiden yang juga calon presiden dari Partai Demokrat.
“Ekspresi empati dan simpatinya terhadap Palestina setidaknya, terdengar seolah-olah dia mungkin bersedia mengambil tindakan,” ujarnya, mengisyaratkan potensi perubahan dari apa yang dianggap tidak ada tindakan di bawah pemerintahan Joe Biden.
Putra almarhum Raja Faisal ini juga mengomentari perubahan dinamika opini publik Amerika karena keterlibatan asing yang berkepanjangan di Irak dan Afghanistan.
Dia mengomentari sentimen nasional yang telah lelah dengan pengeluaran militer luar negeri. “Hal ini, tentu saja, menyebabkan orang-orang di Amerika menyerukan penolakan terhadap intervensinya,” katanya.
Lebih lanjut, dia kembali mengkritik Inggris atas kebijakannya terhadap Israel. Dia mengkritik langkah-langkah terbaru oleh pemerintah Inggris untuk menangguhkan sekitar 30 dari 350 lisensi ekspor senjata ke Israel, dengan alasan tindakan tersebut tidak cukup mengingat peran historis Inggris dalam membentuk nasib kawasan tersebut melalui Deklarasi Balfour dan keputusan kebijakan berikutnya.
"Kemarin, dalam sebuah pidato di salah satu lembaga Inggris, saya mengusulkan agar mereka mengakui Negara Palestina setelah bertahun-tahun, terutama dengan Inggris yang memiliki tanggung jawab khusus sebagai pihak yang memulai semua ini dengan Deklarasi Balfour dan tindakan selanjutnya yang mereka ambil atau tidak ambil, mereka perlu membuat langkah maju dalam aspek Negara Palestina tersebut," paparnya.
Pangeran Turki juga membahas peran pengungkit kekuasaan tradisional seperti minyak bagi negara-negara Teluk untuk memengaruhi situasi, menepis anggapan bahwa tindakan serupa dengan embargo tahun 1970-an dapat efektif saat ini.
“Saat ini, sayangnya, senjata minyak tidak dapat digunakan karena keadaan pasar minyak telah berubah,” jelasnya, yang menunjukkan pergeseran dalam dinamika energi global yang membatasi pengaruh yang sebelumnya dimiliki oleh negara-negara pengekspor minyak.
Menurutnya, cara yang efektif adalah menghentikan bantuan senjata dan bantuan keuangan oleh seluruh masyarakat internasional, khususnya oleh Amerika Serikat (AS).
“Kata-kata kasar tidak akan meyakinkan [Perdana Menteri Israel Benjamin] Netanyahu untuk mundur. Yang akan membuatnya mundur adalah tindakan seperti penghentian senjata, penghentian bantuan keuangan,” kata Pangeran Turki, seperti dikutip dari Al Arabiya English, Jumat (20/9/2024).
"Menghentikan serangan Israel di Gaza akan membutuhkan tindakan khusus oleh Amerika Serikat dan seluruh masyarakat dunia untuk menghukum Israel atas apa yang dilakukannya,” lanjut mantan kepala mata-mata Arab Saudi tersebut.
Dia mengkritik kegagalan diplomatik yang sedang berlangsung untuk mengekang kebijakan agresif rezim Zionis Israel di Palestina.
Perihal pemilihan presiden AS yang akan berlangsung November mendatang, Pangeran Turki menyuarakan optimismenya pada Kamal Harris—wakil presiden yang juga calon presiden dari Partai Demokrat.
“Ekspresi empati dan simpatinya terhadap Palestina setidaknya, terdengar seolah-olah dia mungkin bersedia mengambil tindakan,” ujarnya, mengisyaratkan potensi perubahan dari apa yang dianggap tidak ada tindakan di bawah pemerintahan Joe Biden.
Putra almarhum Raja Faisal ini juga mengomentari perubahan dinamika opini publik Amerika karena keterlibatan asing yang berkepanjangan di Irak dan Afghanistan.
Dia mengomentari sentimen nasional yang telah lelah dengan pengeluaran militer luar negeri. “Hal ini, tentu saja, menyebabkan orang-orang di Amerika menyerukan penolakan terhadap intervensinya,” katanya.
Lebih lanjut, dia kembali mengkritik Inggris atas kebijakannya terhadap Israel. Dia mengkritik langkah-langkah terbaru oleh pemerintah Inggris untuk menangguhkan sekitar 30 dari 350 lisensi ekspor senjata ke Israel, dengan alasan tindakan tersebut tidak cukup mengingat peran historis Inggris dalam membentuk nasib kawasan tersebut melalui Deklarasi Balfour dan keputusan kebijakan berikutnya.
"Kemarin, dalam sebuah pidato di salah satu lembaga Inggris, saya mengusulkan agar mereka mengakui Negara Palestina setelah bertahun-tahun, terutama dengan Inggris yang memiliki tanggung jawab khusus sebagai pihak yang memulai semua ini dengan Deklarasi Balfour dan tindakan selanjutnya yang mereka ambil atau tidak ambil, mereka perlu membuat langkah maju dalam aspek Negara Palestina tersebut," paparnya.
Pangeran Turki juga membahas peran pengungkit kekuasaan tradisional seperti minyak bagi negara-negara Teluk untuk memengaruhi situasi, menepis anggapan bahwa tindakan serupa dengan embargo tahun 1970-an dapat efektif saat ini.
“Saat ini, sayangnya, senjata minyak tidak dapat digunakan karena keadaan pasar minyak telah berubah,” jelasnya, yang menunjukkan pergeseran dalam dinamika energi global yang membatasi pengaruh yang sebelumnya dimiliki oleh negara-negara pengekspor minyak.
(mas)