China Berpotensi Invasi Taiwan, CSIS Proyeksikan Skenario yang Mungkin Terjadi
loading...
A
A
A
TAIPEI - China selama ini disebut kerap mengganggu Taiwan melalui jalur darat dan laut untuk melumpuhkan ekonominya. Beijing juga mengancam kepemimpinan di pulau tersebut dengan melakukan latihan militer rutin di dekat area perbatasan.
Partai Komunis China (CCP) di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping dengan kejam menggunakan intimidasi dengan berpikir Beijing mungkin dapat mengambil alih Taiwan tanpa harus melepaskan satu peluru pun.
China juga semakin dekat dengan Rusia tanpa mengutuk invasinya ke Ukraina, yang mungkin merupakan skenario di mana China mencari mitra yang menyetujui jika ia melakukan invasi besar-besaran ke Taiwan atau ingin membuat blokade di sekitar garis tengah Selat Taiwan—zona penyangga tidak resmi sepanjang 100 mil yang memisahkan Taiwan dari China.
Menurut laporan dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berpusat di Washington, sebuah kapal perang China terlihat berlayar di perairan kontroversial dekat Pulau Pengjia di Taiwan utara, yang merupakan taktik “gheraoing” ala China—aksi yang mendekati tindakan perang.
Coast Guard China dan berbagai badan polisi serta keselamatan maritim berusaha untuk memulai isolasi total terhadap Taiwan, dengan memutus aksesnya ke pelabuhan dan memblokir pasokan vital seperti energi agar tidak bisa menjangkau 23 juta penduduk pulau tersebut.
Dalam skenario seperti itu, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China dengan komponen Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Darat-nya mungkin memainkan peran tambahan dan pendukung.
“China telah meningkatkan tekanan secara signifikan terhadap Taiwan dalam beberapa tahun terakhir, memicu kekhawatiran bahwa ketegangan dapat meletus menjadi konflik langsung. Banyak perhatian telah diberikan pada ancaman invasi, tetapi Beijing memiliki pilihan selain menginvasi untuk memaksa, menghukum, atau mencaplok Taiwan,” bunyi laporan CSIS, yang dikutip The Singapore Post pada Selasa (3/9/2024).
Secara historis, China selalu mengeklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Inti pertikaian antara kedua pihak adalah Konsensus 1992 antara CCP dan Partai Kuomintang (KMT)—yang menyatakan bahwa China memandang Taiwan sebagai provinsi yang "tidak terpisahkan" yang pada akhirnya akan disatukan dengan daratan China.
Namun, Taiwan selalu menentang gagasan tersebut dan menyangkal mendukung kesepahaman dalam Konsensus 1992.
Para pakar perang meyakini bahwa jika perang harus terjadi dalam skenario saat ini, para pemain langsung—Amerika Serikat, China, Taiwan, dan Jepang—akan paling terdampak.
Korban terbesar adalah Amerika Serikat, dengan rudal China yang dapat menyabotase pangkalan udara AS di Jepang dengan kemampuan mencapai Guam.
Lebih jauh lagi, China dapat menenggelamkan kapal induk AS dan beberapa kapal perusak serta kapal penjelajah AS yang ditempatkan di sekitar Taiwan.
Sebuah laporan tentang permainan perang oleh CSIS menguji lebih dari 24 skenario yang mencerminkan kemungkinan invasi China ke Taiwan pada 2026, dan menemukan bahwa jika AS menarik diri dari perang, PLA akan menguasai Taiwan dalam waktu tiga bulan atau kurang.
Laporan tersebut selanjutnya mengungkap serangkaian serangan dan pengeboman oleh China yang melumpuhkan sebagian besar Angkatan Laut dan Angkatan Udara Taiwan dalam hitungan beberapa jam karena PLAN akan menjebak Taiwan dan mengirim tentara PLA ke setiap sudut Selat Taiwan.
Namun, kemungkinan besar tentara Taiwan akan menghancurkan para penyerbu di pantai.
"Sementara itu, kapal selam, pengebom, dan pesawat tempur/serang AS, yang sering diperkuat oleh Pasukan Bela Diri Jepang, dengan cepat melumpuhkan armada amfibi China. Serangan China terhadap pangkalan Jepang dan kapal permukaan AS tidak dapat mengubah hasilnya: Taiwan tetap otonom," lanjut laporan CSIS.
Menurut CSIS, terlepas dari semua kerugian yang akan ditanggung AS selama perang, Washington mungkin akan mampu menggagalkan invasi China ke Taiwan atau setidaknya meredam seluruh serangan. Seperti yang akan terjadi, serangan balik Taiwan juga akan berada pada puncaknya, yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas pemerintahan CCP.
Laporan CSIS juga telah mengestimasi kemungkinan jumlah korban dari perang China-Taiwan, dengan asumsi jumlah korban tewas mencapai 10.000 orang dalam beberapa hari.
Dari kemungkinan serangan nuklir oleh AS yang menargetkan China hingga warga AS dan Jepang yang menganalisis situasi dengan menerima kerugian yang mungkin terjadi, laporan CSIS memiliki beberapa poin menarik untuk diungkap, seperti kerusakan yang akan ditimbulkan perang terhadap kemampuan Washington untuk memproyeksikan dirinya sebagai negara adikuasa.
Laporan itu mengatakan bahwa baik militer Taiwan maupun AS harus memodernisasi persenjataannya dan membangun tenaga kerja agar dapat memberikan perlawanan yang efektif terhadap invasi China.
"Terlepas dari retorika tentang penerapan 'strategi landak’, Taiwan masih menghabiskan sebagian besar anggaran pertahanannya untuk kapal dan pesawat mahal yang akan segera dihancurkan China,” imbuh laporan CSIS.
China cukup vokal tentang niatnya di KTT pertahanan Dialog Shangri-La di Singapura, di mana Menteri Pertahanan China Laksamana Dong Jun memperingatkan mereka yang mendukung segala gerakan untuk kemerdekaan Taiwan “akan berakhir dengan penghancuran diri.”
"Kami akan mengambil tindakan tegas untuk mengekang kemerdekaan Taiwan dan memastikan rencana semacam itu tidak akan pernah berhasil," ucap Dong, sembari mengecam kekuatan pengganggu eksternal karena menjual senjata dan memiliki hubungan ilegal dengan Taiwan.
Taktik ancaman China yang semakin meningkat terhadap negara-negara yang lebih kecil ditunjukkan baru-baru ini ketika kapal Coast Guard China bentrok dengan kapal Angkatan Laut Filipina di Laut China Selatan dekat Second Thomas Shoal—tempat Filipina mempertahankan pos terdepan di kapal perang yang terdampar di perairan yang diklaim oleh Beijing dan Manila.
Beijing juga mengintimidasi Taipei melalui militer maupun ekonomi, dan di bawah pemerintahan Xi Jinping, China berupaya menyatukan kembali Taiwan ke daratan utama, dengan kekuatan militer jika memang diperlukan.
Partai Komunis China (CCP) di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping dengan kejam menggunakan intimidasi dengan berpikir Beijing mungkin dapat mengambil alih Taiwan tanpa harus melepaskan satu peluru pun.
China juga semakin dekat dengan Rusia tanpa mengutuk invasinya ke Ukraina, yang mungkin merupakan skenario di mana China mencari mitra yang menyetujui jika ia melakukan invasi besar-besaran ke Taiwan atau ingin membuat blokade di sekitar garis tengah Selat Taiwan—zona penyangga tidak resmi sepanjang 100 mil yang memisahkan Taiwan dari China.
Menurut laporan dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berpusat di Washington, sebuah kapal perang China terlihat berlayar di perairan kontroversial dekat Pulau Pengjia di Taiwan utara, yang merupakan taktik “gheraoing” ala China—aksi yang mendekati tindakan perang.
Coast Guard China dan berbagai badan polisi serta keselamatan maritim berusaha untuk memulai isolasi total terhadap Taiwan, dengan memutus aksesnya ke pelabuhan dan memblokir pasokan vital seperti energi agar tidak bisa menjangkau 23 juta penduduk pulau tersebut.
Dalam skenario seperti itu, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China dengan komponen Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Darat-nya mungkin memainkan peran tambahan dan pendukung.
“China telah meningkatkan tekanan secara signifikan terhadap Taiwan dalam beberapa tahun terakhir, memicu kekhawatiran bahwa ketegangan dapat meletus menjadi konflik langsung. Banyak perhatian telah diberikan pada ancaman invasi, tetapi Beijing memiliki pilihan selain menginvasi untuk memaksa, menghukum, atau mencaplok Taiwan,” bunyi laporan CSIS, yang dikutip The Singapore Post pada Selasa (3/9/2024).
Secara historis, China selalu mengeklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Inti pertikaian antara kedua pihak adalah Konsensus 1992 antara CCP dan Partai Kuomintang (KMT)—yang menyatakan bahwa China memandang Taiwan sebagai provinsi yang "tidak terpisahkan" yang pada akhirnya akan disatukan dengan daratan China.
Namun, Taiwan selalu menentang gagasan tersebut dan menyangkal mendukung kesepahaman dalam Konsensus 1992.
Skenario Perang China-Taiwan
Para pakar perang meyakini bahwa jika perang harus terjadi dalam skenario saat ini, para pemain langsung—Amerika Serikat, China, Taiwan, dan Jepang—akan paling terdampak.
Korban terbesar adalah Amerika Serikat, dengan rudal China yang dapat menyabotase pangkalan udara AS di Jepang dengan kemampuan mencapai Guam.
Lebih jauh lagi, China dapat menenggelamkan kapal induk AS dan beberapa kapal perusak serta kapal penjelajah AS yang ditempatkan di sekitar Taiwan.
Sebuah laporan tentang permainan perang oleh CSIS menguji lebih dari 24 skenario yang mencerminkan kemungkinan invasi China ke Taiwan pada 2026, dan menemukan bahwa jika AS menarik diri dari perang, PLA akan menguasai Taiwan dalam waktu tiga bulan atau kurang.
Laporan tersebut selanjutnya mengungkap serangkaian serangan dan pengeboman oleh China yang melumpuhkan sebagian besar Angkatan Laut dan Angkatan Udara Taiwan dalam hitungan beberapa jam karena PLAN akan menjebak Taiwan dan mengirim tentara PLA ke setiap sudut Selat Taiwan.
Namun, kemungkinan besar tentara Taiwan akan menghancurkan para penyerbu di pantai.
"Sementara itu, kapal selam, pengebom, dan pesawat tempur/serang AS, yang sering diperkuat oleh Pasukan Bela Diri Jepang, dengan cepat melumpuhkan armada amfibi China. Serangan China terhadap pangkalan Jepang dan kapal permukaan AS tidak dapat mengubah hasilnya: Taiwan tetap otonom," lanjut laporan CSIS.
Menurut CSIS, terlepas dari semua kerugian yang akan ditanggung AS selama perang, Washington mungkin akan mampu menggagalkan invasi China ke Taiwan atau setidaknya meredam seluruh serangan. Seperti yang akan terjadi, serangan balik Taiwan juga akan berada pada puncaknya, yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas pemerintahan CCP.
Laporan CSIS juga telah mengestimasi kemungkinan jumlah korban dari perang China-Taiwan, dengan asumsi jumlah korban tewas mencapai 10.000 orang dalam beberapa hari.
Dari kemungkinan serangan nuklir oleh AS yang menargetkan China hingga warga AS dan Jepang yang menganalisis situasi dengan menerima kerugian yang mungkin terjadi, laporan CSIS memiliki beberapa poin menarik untuk diungkap, seperti kerusakan yang akan ditimbulkan perang terhadap kemampuan Washington untuk memproyeksikan dirinya sebagai negara adikuasa.
Konflik Laut China Selatan
Laporan itu mengatakan bahwa baik militer Taiwan maupun AS harus memodernisasi persenjataannya dan membangun tenaga kerja agar dapat memberikan perlawanan yang efektif terhadap invasi China.
"Terlepas dari retorika tentang penerapan 'strategi landak’, Taiwan masih menghabiskan sebagian besar anggaran pertahanannya untuk kapal dan pesawat mahal yang akan segera dihancurkan China,” imbuh laporan CSIS.
China cukup vokal tentang niatnya di KTT pertahanan Dialog Shangri-La di Singapura, di mana Menteri Pertahanan China Laksamana Dong Jun memperingatkan mereka yang mendukung segala gerakan untuk kemerdekaan Taiwan “akan berakhir dengan penghancuran diri.”
"Kami akan mengambil tindakan tegas untuk mengekang kemerdekaan Taiwan dan memastikan rencana semacam itu tidak akan pernah berhasil," ucap Dong, sembari mengecam kekuatan pengganggu eksternal karena menjual senjata dan memiliki hubungan ilegal dengan Taiwan.
Taktik ancaman China yang semakin meningkat terhadap negara-negara yang lebih kecil ditunjukkan baru-baru ini ketika kapal Coast Guard China bentrok dengan kapal Angkatan Laut Filipina di Laut China Selatan dekat Second Thomas Shoal—tempat Filipina mempertahankan pos terdepan di kapal perang yang terdampar di perairan yang diklaim oleh Beijing dan Manila.
Beijing juga mengintimidasi Taipei melalui militer maupun ekonomi, dan di bawah pemerintahan Xi Jinping, China berupaya menyatukan kembali Taiwan ke daratan utama, dengan kekuatan militer jika memang diperlukan.
(mas)