Mohammed bin Salman Disebut Tak Suka Kamala Harris Jadi Presiden AS, Ini Alasannya

Kamis, 25 Juli 2024 - 08:34 WIB
loading...
Mohammed bin Salman...
Para pakar sebut Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman kemungkinan tak suka Kamala Harris menjadi presiden AS. Foto/EPA-EFE/SERGEI SAVOSTYANOV/SPUTNIK/KREMLIN
A A A
WASHINGTON - Para pakar mengatakan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman kemungkinan tidak suka Kamala Harris menjadi presiden Amerika Serikat (AS).

Alasannya, lanjut mereka, mantan jaksa liberal yang jadi wakil presiden (wapres) AS itu dekat dengan para aktivis hak asasi manusia (HAM).

“Kandidat presiden liberal seperti Kamala Harris, yang dekat dengan aktivis HAM juga akan mengkhawatirkan,” kata Mathew Burrows, anggota senior tim peneliti di lembaga think tank Stimson Center, seperti dikutip Business Insider, Kamis (25/7/2024).

"Putra Mahkota Mohammed khawatir bahwa, di bawah pemerintahan Harris yang liberal, Partai Demokrat akan lebih vokal mengenai catatan HAM Saudi yang suram,” lanjut Burrows.



Presiden AS Joe Biden berjanji akan mengambil tindakan keras terhadap Arab Saudi, terutama setelah pembunuhan jurnalis pembangkang Jamal Khashoggi pada tahun 2018.

Biden telah mengundurkan diri dari pemilihan presiden (pilpres) AS dan mendukung Harris menjadi calon presiden (capres) Partai Demokrat untuk melawan capres Partai Republik Donald Trump dalam pilpres 5 November mendatang.

Harris, dalam kampanyenya pada tahun 2020, juga vokal tentang pembunuhan Khashoggi, menyebutnya sebagai "serangan terhadap jurnalis di mana pun" dan mendukung undang-undang di Senat untuk mempublikasikan lebih banyak informasi tentang kematiannya.

Pada saat yang sama, dia mengatakan; "AS perlu secara mendasar mengevaluasi kembali hubungan kami dengan Arab Saudi, menggunakan pengaruh kami untuk membela nilai-nilai dan kepentingan Amerika.”

Gedung Putih Biden akhirnya mencapai semacam kesepakatan dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, dengan fokus menentang Iran dan mencari stabilitas di Timur Tengah.

Burrows mengatakan Harris dapat memperumit hal ini. Calon presiden yang lebih konfrontatif itu dapat menjadi hambatan bagi tujuan AS dalam menormalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel, sekutu penting AS di kawasan Timur Tengah.

AS telah berupaya untuk menjadi perantara hubungan yang lebih baik antara negara-negara Arab dan Israel, sebagian untuk menjadi penyeimbang terhadap pengaruh regional Iran.

Harris juga merupakan pendukung utama hak-hak perempuan dan kelompok LGBTQ+, yang semuanya secara hukum lebih rendah dibandingkan laki-laki dalam hukum Arab Saudi.

Hubungan sesama jenis di Arab Saudi adalah ilegal, semua perempuan diharuskan memiliki wali sah laki-laki, dan perempuan Saudi yang memperjuangkan lebih banyak hak dapat dihukum berat.

Burrows juga mengatakan Putra Mahkota Mohammed bin Salman mungkin enggan mengandalkan Harris setelah melihat bagaimana seorang pemimpin AS dapat dipaksa mundur karena tekanan dari dalam partainya sendiri.

Fawaz Gerges, Profesor Hubungan Internasional di London School of Economics, juga menyampaikan pendapat serupa.

“Mundurnya Biden mungkin merupakan kejutan bagi para penguasa Timur Tengah yang tidak terbiasa menyerahkan kekuasaan dengan mudah,” kata Gerges kepada Business Insider.

"Motto mereka adalah 'sampai maut memisahkan kita'," paparnya.

Namun, kedua pakar tersebut mengatakan para pejabat Saudi kemungkinan akan mengharapkan banyak kesinambungan dari kepresidenan Harris, sehingga memperluas pendekatan Biden ke Timur Tengah.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1396 seconds (0.1#10.140)