Jerman Terapkan Uji Loyalitas pada Israel dalam UU Kewarganegaraan Baru

Kamis, 27 Juni 2024 - 21:30 WIB
loading...
Jerman Terapkan Uji Loyalitas pada Israel dalam UU Kewarganegaraan Baru
Polisi melihat seorang aktivis meninggalkan kamp protes pro-Palestina di dekat kantor kanselir, di Berlin, Jerman, 26 April 2024. Foto/REUTERS/Annegret Hilse
A A A
BERLIN - Jerman menerapkan Undang-undang kewarganegaraan baru yang mengharuskan pemohon untuk menyatakan keyakinan mereka terhadap hak keberadaan Israel.

Langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya ini menuntut pengakuan atas hak hidup suatu negara asing sebagai bagian dari proses kewarganegaraan.

Kebijakan ini telah dikritik karena dampaknya terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi politik.

Undang-undang kontroversial tersebut, yang mulai berlaku pada Selasa (25/6/2024), merupakan bagian dari perbaikan yang lebih luas terhadap kriteria kewarganegaraan Jerman.

Meskipun pemerintahan Kanselir Olaf Scholz yang berhaluan sosial liberal pada awalnya mengusulkan undang-undang tersebut untuk menyederhanakan jalur menuju kewarganegaraan bagi para migran generasi pertama, undang-undang tersebut kemudian diubah menjadi langkah untuk memastikan kepatuhan terhadap “nilai-nilai Jerman” di tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai anti-Semitisme dan politik kanan-jauh.

Jerman adalah salah satu dari banyak negara Barat yang mengadopsi definisi anti-Semitisme dari International Holocaust Remembrance Alliance (IHRA) yang sangat kontroversial.

Para pengkritik berpendapat peningkatan anti-Semitisme yang dilaporkan adalah menyesatkan, sebagian besar disebabkan oleh penerapan definisi IHRA yang menyamakan kritik yang sah terhadap Israel dan Zionisme dengan kebencian anti-Yahudi.



Akibatnya, statistik mengenai insiden anti-Semit mungkin dibesar-besarkan karena dapat mencakup kasus pidato politik atau protes terhadap kebijakan Israel yang seharusnya tidak dapat dianggap anti-Semit.

Tes kewarganegaraan baru ini akan mencakup pertanyaan tentang Yudaisme dan kehidupan Yahudi di Jerman, dan memerlukan deklarasi eksplisit mengenai hak keberadaan negara Israel.

Persyaratan ini telah menimbulkan keheranan di kalangan pakar hukum dan pembela hak asasi manusia, yang mempertanyakan implikasi legalitas dan etika dari pemberian mandat posisi politik pada negara asing sebagai prasyarat untuk mendapatkan kewarganegaraan Jerman.

Tindakan ini dianggap sebagai bagian dari tindakan keras yang lebih luas terhadap aktivisme pro-Palestina di Jerman.

Pendekatan pemerintah telah menimbulkan kontroversi di kalangan akademisi. Awal bulan ini, Menteri Muda Pendidikan Tinggi Jerman Sabine Doring terpaksa mengundurkan diri setelah kementeriannya menjajaki opsi untuk mendanai penelitian oleh akademisi Jerman yang telah menandatangani surat yang mengkritik tindakan keras polisi terhadap protes mahasiswa anti-Israel.

Sejak 7 Oktober tahun lalu, Jerman telah mengambil sikap agresif dalam membela Israel dan serangan militernya di Gaza.

Pada April, pemerintah Jerman melarang ahli bedah Palestina asal Inggris, Ghassan Abu-Sitta, memasuki Jerman untuk berpidato di konferensi Berlin tentang pekerjaannya di Gaza.

Sebulan kemudian, Abu Sitta memenangkan gugatan hukumnya terhadap larangan tersebut.

Undang-undang kewarganegaraan Jerman yang baru mencerminkan langkah-langkah kejam yang dilakukan Amerika Serikat (AS) di mana sebanyak 35 negara bagian telah memberlakukan undang-undang atau perintah eksekutif yang melarang lembaga-lembaga negara membuat kontrak atau berinvestasi di perusahaan-perusahaan yang memboikot Israel.

Tindakan tersebut digambarkan sebagai ujian loyalitas yang dikenakan pada warga negara AS yang mengancam Amandemen Pertama untuk melayani negara asing, Israel.
(sya)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1179 seconds (0.1#10.140)
pixels