Ini Alasan Junta Myanmar Masih Bertahan di Tengah Gempuran Pemberontak dan Tekanan Internasional

Rabu, 26 Juni 2024 - 16:15 WIB
loading...
Ini Alasan Junta Myanmar...
Junta militer Myanmar masih bertahan dan eksis meski digempur pemberontak dan tekanan dunia internasional. Foto/AP
A A A
YANGON - Upaya internasional untuk mengisolasi junta yang berkuasa di Myanmar tampaknya telah mengurangi kemampuannya untuk membeli peralatan militer baru dari luar negeri.

Namun militer masih dapat mengakses uang dan senjata untuk perangnya melawan pasukan anti-kudeta.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih dalam kudeta tahun 2021, yang memicu sanksi keuangan yang dikenakan pada militer, bank, dan bisnis terkait lainnya oleh negara-negara Barat.

Lebih dari tiga tahun kemudian, gerakan protes terhadap kudeta telah berkembang menjadi perang saudara besar-besaran, dimana militer dituduh melancarkan serangan udara terhadap pemberontak dan warga sipil karena mereka telah kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah.

Sebuah laporan yang dibuat oleh pelapor khusus PBB mengenai situasi hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, menemukan bahwa nilai senjata, teknologi penggunaan ganda, peralatan manufaktur, dan bahan-bahan lainnya yang diimpor oleh junta berjumlah USD253 juta pada tahun ini hingga Maret 2024. .

Jumlah tersebut berkurang sepertiga dibandingkan tahun sebelumnya, kata laporan itu, berkat upaya Singapura untuk mencegah perusahaan-perusahaannya membantu junta.

Andrews mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara bahwa kemajuan tersebut menunjukkan bahwa sanksi dan upaya internasional lainnya dapat berdampak pada kemampuan junta untuk memasok pasokan, dan oleh karena itu mengurangi kemampuan militer untuk melancarkan serangan seperti serangan udara yang telah menewaskan warga sipil di desa mereka.

“Cara mereka menyerang desa-desa ini bergantung pada akses mereka terhadap senjata dan material yang dipasok dari luar negeri,” kata Andrews.

Militer Myanmar membantah tuduhan bahwa mereka telah melakukan kekejaman terhadap warga sipil dan mengatakan mereka memerangi “teroris.” Para pejabat meremehkan dampak sanksi dan mengatakan bahwa sanksi tersebut hanya menunda rencana militer untuk mengembalikan negara ke demokrasi.

Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1701 seconds (0.1#10.140)