Ini Kelemahan Perang Berbasis Serangan yang Diterapkan Israel di Gaza
loading...
A
A
A
GAZA - Dua kelompok bersenjata Palestina menembakkan roket ke Israel dari Jalur Gaza pada Minggu (2/6/2024). Itu dilakukan Front Populer untuk Pembebasan Palestina yang menargetkan pasukan Israel yang ditempatkan di persimpangan Karem Abu Salem (Kerem Shalom).
Itu menunjukkan kelompok pejuang Palestina mampu membangun kembali pasukannya karena Israel menerapkan strategi perang berbasis serangan. Hal itu menunjukkan kelemahan model perang berbasis serangan yang dilakukan Israel karena tidak mengutamakan intensitas, tetapi hanya bersifat sporadis saja.
Lembaga riset pertahanan AS, Institute for the Study of War (ISW) dan Critical Threats Project (CTP), juga melaporkan bahwa Israel bermaksud mengerahkan dua divisi untuk serangan darat di kota Rafah di selatan, namun dihalangi oleh AS. "Kekhawatiran atas sanksi senjata dan sekarang menjadi pergerakan Israel lebih hati-hati di Rafah," ungkap ISW dan CTP, dilansir Al Jazeera.
Namun, ISW dan CTP menegaskan kembali dalam laporan medan perang terbaru mereka bahwa Hamas terus menyusun kembali pasukannya di wilayah Palestina setelah penarikan pasukan Israel. "Itu digambarkan sebagai kelemahan krusial dari perang berbasis serangan yang dikembangkan Israel di Gaza," tutur mereka.
Dengan begitu, Israel mengatakan bahwa mereka tidak akan melakukan gencatan senjata permanen sampai Hamas benar-benar tersingkir.
Kemudian, Al Jazeera melaporkan dari Menteri Pertahanan, Yoav Gallant. Dia adalah bagian dari kabinet perang dan berbicara tentang kelompok alternatif untuk memerintah di Gaza – meskipun tidak jelas siapa sebenarnya kelompok tersebut.
Dia telah mendorong rencana pasca-perang untuk Gaza seperti yang dilakukan Benny Gantz, salah satu anggota kabinet perang, yang sebenarnya telah memberikan ultimatum kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pada tanggal 8 Juni, kata Gantz, dia ingin mendengar apa rencana pasca perang tersebut.
Namun Netanyahu juga diberitahu oleh kelompok ultranasionalis dan menteri sayap kanan bahwa mereka akan mundur dari pemerintahan jika ada gencatan senjata, dan hal ini akan mengakibatkan pembubaran pemerintahan koalisi yang diperlukan Netanyahu untuk tetap berkuasa.
Kemudian ada Yair Lapid, pemimpin oposisi, yang mengatakan [untuk] menerima kesepakatan itu. Keluarga dari mereka yang disandera juga mengatakan ‘ambil kesepakatan’. Yair Lapid berkata, jika Anda menerima kesepakatan itu, kami akan mendukung Anda. Dan masih banyak menteri lain yang mengatakan hal serupa.
Jadi, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terjebak di antara kedua belah pihak.
Itu menunjukkan kelompok pejuang Palestina mampu membangun kembali pasukannya karena Israel menerapkan strategi perang berbasis serangan. Hal itu menunjukkan kelemahan model perang berbasis serangan yang dilakukan Israel karena tidak mengutamakan intensitas, tetapi hanya bersifat sporadis saja.
Lembaga riset pertahanan AS, Institute for the Study of War (ISW) dan Critical Threats Project (CTP), juga melaporkan bahwa Israel bermaksud mengerahkan dua divisi untuk serangan darat di kota Rafah di selatan, namun dihalangi oleh AS. "Kekhawatiran atas sanksi senjata dan sekarang menjadi pergerakan Israel lebih hati-hati di Rafah," ungkap ISW dan CTP, dilansir Al Jazeera.
Namun, ISW dan CTP menegaskan kembali dalam laporan medan perang terbaru mereka bahwa Hamas terus menyusun kembali pasukannya di wilayah Palestina setelah penarikan pasukan Israel. "Itu digambarkan sebagai kelemahan krusial dari perang berbasis serangan yang dikembangkan Israel di Gaza," tutur mereka.
Dengan begitu, Israel mengatakan bahwa mereka tidak akan melakukan gencatan senjata permanen sampai Hamas benar-benar tersingkir.
Kemudian, Al Jazeera melaporkan dari Menteri Pertahanan, Yoav Gallant. Dia adalah bagian dari kabinet perang dan berbicara tentang kelompok alternatif untuk memerintah di Gaza – meskipun tidak jelas siapa sebenarnya kelompok tersebut.
Dia telah mendorong rencana pasca-perang untuk Gaza seperti yang dilakukan Benny Gantz, salah satu anggota kabinet perang, yang sebenarnya telah memberikan ultimatum kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pada tanggal 8 Juni, kata Gantz, dia ingin mendengar apa rencana pasca perang tersebut.
Namun Netanyahu juga diberitahu oleh kelompok ultranasionalis dan menteri sayap kanan bahwa mereka akan mundur dari pemerintahan jika ada gencatan senjata, dan hal ini akan mengakibatkan pembubaran pemerintahan koalisi yang diperlukan Netanyahu untuk tetap berkuasa.
Kemudian ada Yair Lapid, pemimpin oposisi, yang mengatakan [untuk] menerima kesepakatan itu. Keluarga dari mereka yang disandera juga mengatakan ‘ambil kesepakatan’. Yair Lapid berkata, jika Anda menerima kesepakatan itu, kami akan mendukung Anda. Dan masih banyak menteri lain yang mengatakan hal serupa.
Jadi, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terjebak di antara kedua belah pihak.
(ahm)