Ngerinya Rafah Menyayat Hati Dunia: Mayat di Mana-mana dan Anak-anak Terbakar

Kamis, 30 Mei 2024 - 08:44 WIB
loading...
Ngerinya Rafah Menyayat...
Kengerian di Rafah akibat pengeboman brutal Israel telah menyayat hati masyarakat dunia internasional. Di kota selatan Jalur Gaza, Palestina, tersebut mayat ada di mana-mana dan anak-anak terbakar. Foto/REUTERS/Mohammed Salem
A A A
RAFAH - Butuh waktu hampir setengah jam bagi ambulans dan petugas pemadam kebakaran pertama untuk mencapai tenda-tenda yang terbakar di kamp perdamaian Kuwait di Rafah pada Minggu malam.

Tenda-tenda pengungsi Palestina itu berubah jadi lautan api setelah Israel meluncurkan serangan udara mengerikan dengan bom-bom canggih buatan Amerika Serikat (AS). Serangan pada Minggu malam dan pada Selasa telah menewaskan sekitar 60 orang.

Kerumunan dan puing-puing yang memperlambat jalannya kendaraan darurat memicu penyebaran kobaran api ke seluruh rumah sementara para pengungsi Palestina.

Kengerian serangan udara brutal Israel terhadap Rafah telah menyayat hati masyarakat dunia internasional. Kecaman dari para pemimpin dunia bermunculan. Kampanye "All Eyes on Rafah" viral di berbagai negara.



Zuhair, seorang pengacara berusia 36 tahun, sedang duduk di jalan dekat tendanya, menonton berita bersama teman-temannya saat cahaya senja terakhir memudar dari langit, ketika sebuah ledakan mengguncang area tersebut sekitar pukul 20.45.

Dia berlari ke arah suara itu, ketakutan terhadap istri, anak-anak dan teman-temannya.

Sebuah gambaran "neraka" terbentang di hadapannya, begitu mengerikan hingga dia mulai gemetar karena terkejut.

“Saya melihat mayat di mana-mana. Anak-anak terbakar. Saya melihat kepala tanpa tubuh, yang terluka berlarian kesakitan, beberapa masih hidup tetapi terjebak di dalam tenda yang terbakar," katanya, seperti dikutip The Guardian, Kamis (30/5/2024).

Tidak ada peringatan, dan selama beberapa menit, tidak ada bantuan.

Dia mengatakan orang-orang pada awalnya mencoba menyeret korban luka dari tenda dengan tangan kosong, memasukkannya ke dalam kereta keledai atau menjejalkan mereka ke dalam mobil biasa untuk mencari pertolongan.

Sharif Warsh Agha, seorang sopir, termasuk di antara kerumunan yang mencoba membantu. Dia juga gemetar saat dia melangkah di sekitar mayat-mayat yang terbakar dan dimutilasi oleh ledakan awal, dan kebakaran yang terjadi setelahnya, mencoba membantu orang-orang yang dia bisa.

“Saya mendengar seorang wanita berteriak minta tolong untuk saudara perempuannya. Saat saya masuk ke dalam tenda, saya menemukan kakinya terluka parah dan ibunya tergeletak tewas di sampingnya,” ujarnya.

Dia melakukan pertolongan pertama, membawanya ke mobil, lalu seseorang menelepon dan mengabarkan bahwa keponakannya—yang berkebutuhan khusus—telah kehilangan kakinya.

“Saya memutar mobil untuk menjemput keponakan saya yang terluka, tetapi ketika kami mulai bergerak, seseorang dibawa ke saya dengan luka terbuka di dada. Kami juga memasukkannya,” katanya.

Akhirnya sembilan orang dimasukkan ke dalam mobil kecil, yang biasanya membawa dua orang ke rumah sakit, dan beberapa di antaranya berada di bagasi.

Dia sedang bersama keluarganya di tenda mereka, beristirahat setelah salat Maghrib, ketika kilatan merah dan ledakan membelah malam. Asap hitam dan hujan pecahan peluru yang mematikan menyusul, lalu terdengar suara jeritan.

Dia berlari keluar untuk membantu yang terluka, tanpa menyadari bahwa saudara iparnya telah terbunuh dan keponakannya terluka di tenda mereka, yang hanya berjarak 70 meter dari lokasi serangan rudal. Sepotong pecahan peluru menembus paru-paru dan jantungnya, membunuhnya seketika. “Dia tidak pernah menyakiti siapa pun,” katanya.

Sibuk dengan keponakannya, dia tidak menghitung korban tewas, namun yakin dia melihat hampir 20 mayat, banyak di antaranya perempuan dan anak-anak.

“Tentara Israel mengeklaim mereka menargetkan militan, tapi itu bukan alasan untuk menyerang daerah yang penuh dengan tenda dan pengungsi," kesalnya.

Sasarannya berada di tepi barisan tenda, yang didirikan oleh Kuwait awal tahun ini untuk melindungi para pengungsi. Kamp tersebut berada di luar “zona kemanusiaan” di sepanjang pantai yang diumumkan Israel pada awal Mei, saat Israel melancarkan operasi ke Rafah.

Namun wilayah tersebut tidak berada di wilayah Rafah yang tercakup dalam perintah evakuasi khusus yang dikeluarkan militer Israel melalui media sosial, panggilan telepon, dan selebaran ketika pasukan Zionis masuk, sehingga masyarakat yang tinggal di sana menganggap wilayah tersebut aman.

Agha berkata: “Rudal itu menghantam dekat titik medis yang dikelilingi oleh banyak tenda, di daerah yang berpenduduk lebih dari 4.000 orang.”

Tampaknya, kata dia, tidak biasa karena tidak ada kawah tumbukan besar di permukaan tanah dan hal ini memicu kebakaran besar.

Serangan tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh rudal GBU-39 buatan AS, yang membawa muatan bahan peledak seberat 17 kg, demikian temuan CNN dan New York Times dalam penyelidikan yang mengamati sisa-sisa rudal yang difoto di lokasi.

Hal ini sesuai dengan klaim militer Israel mengenai jumlah bahan peledak yang digunakan. Secara keseluruhan bom GBU memiliki berat 110 kg, termasuk casing logam yang sebagian dapat berubah menjadi pecahan peluru. Mereka bisa menembus beton setinggi 3 meter.

Juru bicara militer Israel Laksamana Muda Daniel Hagari berdalih serangan itu hanya menargetkan komandan senior Hamas dan mengatakan kebakaran itu mungkin disebabkan oleh ledakan sekunder.

Dia menduga mungkin ada senjata Hamas yang disimpan di daerah tersebut dan mengatakan bahwa pihak militer sedang menyelidiki.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1277 seconds (0.1#10.140)