Abaikan Tekanan Dunia, Angkatan Darat Israel Akan Nekat Invasi Rafah
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pada hari Minggu bahwa tentara Angkatan Darat akan melancarkan invasi ke Rafah, Gaza selatan, seperti yang direncanakan.
Pemimpin rezim Zionis itu mengabaikan tekanan internasional yang khawatir invasi tersebut akan menambah jatuhnya korban sipil Palestina.
“Tekanan internasional sebesar apa pun tidak akan menghentikan kami untuk mewujudkan semua tujuan perang: melenyapkan Hamas, membebaskan semua sandera kami, dan memastikan bahwa Gaza tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel,” kata Netanyahu pada rapat kabinet, yang rekaman videonya dirilis oleh kantor Netanyahu.
“Untuk melakukan ini, kami juga akan beroperasi di Rafah," lanjut Netanyahu, seperti dikutip AFP, Senin (18/3/2024).
Komentarnya muncul ketika perundingan diperkirakan akan dilanjutkan di Doha, Qatar, untuk mewujudkan gencatan senjata di Gaza—tempat Israel melancarkan perang brutal melawan kelompok Hamas selama lebih dari lima bulan.
Kantor Netanyahu mengatakan anggota kabinet Israel akan membahas mandat tim perundingan pada Minggu malam.
Netanyahu juga dijadwalkan bertemu dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz, yang diperkirakan akan mengulangi peringatannya atas invasi darat Israel di Rafah.
Sebagian besar dari 2,4 juta penduduk Gaza mencari perlindungan dari pengeboman Israel yang tiada henti di kota selatan tersebut.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, yang mendukung Israel selama perang, mengatakan invasi ke Rafah akan menjadi “garis merah” kecuali ada rencana perlindungan sipil yang kredibel.
Ketua Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus pada hari Jumat mengimbau Israel “atas nama kemanusiaan” untuk tidak melancarkan serangan darat ke Rafah.
Kantor Netanyahu mengatakan pada hari Jumat bahwa dia telah menyetujui rencana militer untuk melakukan operasi di Rafah, meskipun tidak ada batas waktu yang diberikan.
Rafah adalah pusat populasi besar terakhir di Gaza yang belum menjadi sasaran serangan darat dalam perang tersebut, yang dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel selatan.
Serangan Hamas itu mengakibatkan kematian sekitar 1.160 orang, menurut angka resmi Israel.
Hamas juga menyandera sekitar 250 warga Israel dan warga asing dalam serangan 7 Oktober, dan Israel yakin sekitar 130 dari mereka masih berada di Gaza termasuk 32 orang diperkirakan tewas.
Sedangkan invasi brutal Israel telah menewaskan 31.645 warga Palestina di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut kementerian kesehatan di wilayah tersebut.
Netanyahu pada hari Minggu juga mengkritik “mereka yang berada di komunitas internasional yang sedang mencoba menghentikan perang” dengan “membuat tuduhan palsu” terhadap Israel dan militernya.
Israel terus-menerus mendapat kritik atas jatuhnya korban sipil di Gaza serta kekurangan bantuan yang memicu ketakutan akan kelaparan.
Pada hari Kamis, Pemimpin Mayoritas Senat AS Chuck Schumer menyerukan Israel untuk mengadakan pemilu baru, yang memicu penolakan keras dari Partai Likud peendukung Netanyahu—yang mengatakan Israel “bukan republik pisang".
Netanyahu pada hari Minggu mengatakan pemilu baru akan menghentikan perang, dan melumpuhkan negara setidaknya selama enam bulan.
“Jika kita menghentikan perang sekarang, sebelum semua tujuannya tercapai, itu berarti Israel kalah perang, dan kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi," katanya.
Dalam tanggapan publik pertamanya terhadap Schumer, Netanyahu mencap pernyataan politisi Amerika tersebut “sama sekali tidak pantas” dan bersikeras bahwa sebagian besar warga Israel mendukung perang tersebut.
“Jika Senator Schumer menentang kebijakan ini, dia tidak menentang saya; dia menentang rakyat Israel,” kata Netanyahu kepada CNN pada hari Minggu.
Sementara itu, juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby memperingatkan “kekhawatiran” mengenai operasi Rafah yang akan dilakukan Israel.
“Kami tidak akan mendukung, tidak dapat mendukung, operasi di Rafah yang tidak mempunyai rencana yang dapat dilaksanakan, dapat diverifikasi, dan dapat dicapai untuk mengurus 1,5 juta orang yang mencoba mencari perlindungan di Rafah,” kata Kirby kepada Fox News Sunday.
"Pemerintahan Biden pasti akan menyambut baik kesempatan untuk mempelajari rencana Rafah sebelum operasi tersebut," imbuh Kirby. “Kami belum melihatnya.”
Lihat Juga: Demonstran Anti-NATO dan Pro-Palestina Mengamuk di Kanada, Bakar Mobil hingga Obrak-abrik Toko
Pemimpin rezim Zionis itu mengabaikan tekanan internasional yang khawatir invasi tersebut akan menambah jatuhnya korban sipil Palestina.
“Tekanan internasional sebesar apa pun tidak akan menghentikan kami untuk mewujudkan semua tujuan perang: melenyapkan Hamas, membebaskan semua sandera kami, dan memastikan bahwa Gaza tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel,” kata Netanyahu pada rapat kabinet, yang rekaman videonya dirilis oleh kantor Netanyahu.
“Untuk melakukan ini, kami juga akan beroperasi di Rafah," lanjut Netanyahu, seperti dikutip AFP, Senin (18/3/2024).
Komentarnya muncul ketika perundingan diperkirakan akan dilanjutkan di Doha, Qatar, untuk mewujudkan gencatan senjata di Gaza—tempat Israel melancarkan perang brutal melawan kelompok Hamas selama lebih dari lima bulan.
Kantor Netanyahu mengatakan anggota kabinet Israel akan membahas mandat tim perundingan pada Minggu malam.
Netanyahu juga dijadwalkan bertemu dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz, yang diperkirakan akan mengulangi peringatannya atas invasi darat Israel di Rafah.
Sebagian besar dari 2,4 juta penduduk Gaza mencari perlindungan dari pengeboman Israel yang tiada henti di kota selatan tersebut.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, yang mendukung Israel selama perang, mengatakan invasi ke Rafah akan menjadi “garis merah” kecuali ada rencana perlindungan sipil yang kredibel.
Ketua Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus pada hari Jumat mengimbau Israel “atas nama kemanusiaan” untuk tidak melancarkan serangan darat ke Rafah.
Kantor Netanyahu mengatakan pada hari Jumat bahwa dia telah menyetujui rencana militer untuk melakukan operasi di Rafah, meskipun tidak ada batas waktu yang diberikan.
Rafah adalah pusat populasi besar terakhir di Gaza yang belum menjadi sasaran serangan darat dalam perang tersebut, yang dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel selatan.
Serangan Hamas itu mengakibatkan kematian sekitar 1.160 orang, menurut angka resmi Israel.
Hamas juga menyandera sekitar 250 warga Israel dan warga asing dalam serangan 7 Oktober, dan Israel yakin sekitar 130 dari mereka masih berada di Gaza termasuk 32 orang diperkirakan tewas.
Sedangkan invasi brutal Israel telah menewaskan 31.645 warga Palestina di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut kementerian kesehatan di wilayah tersebut.
Netanyahu pada hari Minggu juga mengkritik “mereka yang berada di komunitas internasional yang sedang mencoba menghentikan perang” dengan “membuat tuduhan palsu” terhadap Israel dan militernya.
Israel terus-menerus mendapat kritik atas jatuhnya korban sipil di Gaza serta kekurangan bantuan yang memicu ketakutan akan kelaparan.
Pada hari Kamis, Pemimpin Mayoritas Senat AS Chuck Schumer menyerukan Israel untuk mengadakan pemilu baru, yang memicu penolakan keras dari Partai Likud peendukung Netanyahu—yang mengatakan Israel “bukan republik pisang".
Netanyahu pada hari Minggu mengatakan pemilu baru akan menghentikan perang, dan melumpuhkan negara setidaknya selama enam bulan.
“Jika kita menghentikan perang sekarang, sebelum semua tujuannya tercapai, itu berarti Israel kalah perang, dan kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi," katanya.
Dalam tanggapan publik pertamanya terhadap Schumer, Netanyahu mencap pernyataan politisi Amerika tersebut “sama sekali tidak pantas” dan bersikeras bahwa sebagian besar warga Israel mendukung perang tersebut.
“Jika Senator Schumer menentang kebijakan ini, dia tidak menentang saya; dia menentang rakyat Israel,” kata Netanyahu kepada CNN pada hari Minggu.
Sementara itu, juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby memperingatkan “kekhawatiran” mengenai operasi Rafah yang akan dilakukan Israel.
“Kami tidak akan mendukung, tidak dapat mendukung, operasi di Rafah yang tidak mempunyai rencana yang dapat dilaksanakan, dapat diverifikasi, dan dapat dicapai untuk mengurus 1,5 juta orang yang mencoba mencari perlindungan di Rafah,” kata Kirby kepada Fox News Sunday.
"Pemerintahan Biden pasti akan menyambut baik kesempatan untuk mempelajari rencana Rafah sebelum operasi tersebut," imbuh Kirby. “Kami belum melihatnya.”
Lihat Juga: Demonstran Anti-NATO dan Pro-Palestina Mengamuk di Kanada, Bakar Mobil hingga Obrak-abrik Toko
(mas)