Inggris Meminta Israel Berhenti dan Memikirkan Masalah Gaza
loading...
A
A
A
LONDON - Israel harus hati-hati mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan militer lebih lanjut di Rafah, Gaza selatan, yang menampung sekitar satu juta warga sipil Palestina yang mengungsi.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Inggris David Cameron mengungkapkan hal itu tak lama setelah Israel melancarkan serangan udara yang menewaskan 67 orang di kota Rafah dan menyebabkan puluhan orang terluka, menurut pejabat setempat.
Terletak di dekat perbatasan Mesir, Rafah memiliki populasi sekitar 280.000 orang sebelum permusuhan antara Israel dan Hamas pecah pada Oktober lalu.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sebelumnya mendesak warga sipil Palestina mengungsi ke kota tersebut ketika pasukan Israel menyerbu bagian utara Gaza.
Berbicara kepada wartawan pada Senin (12/2/2024), Cameron mengatakan, “Inggris sangat prihatin dengan situasi ini dan kami ingin Israel berhenti dan berpikir serius sebelum mengambil tindakan lebih lanjut.”
“Tidak mungkin melihat bagaimana Anda bisa berperang di antara orang-orang ini,” ujar dia, mengacu pada populasi Rafah yang membengkak.
Dia menyatakan, “Tidak ada tempat bagi mereka untuk pergi.”
Menurut mantan perdana menteri itu, “Inggris ingin melihat pertempuran segera dihentikan yang akan mengarah pada gencatan senjata.”
Pada Sabtu, Cameron memperkirakan “lebih dari separuh penduduk Gaza berlindung di wilayah tersebut” saat ini.
Dalam postingan di X, Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock juga memperkirakan, “Serangan tentara Israel di Rafah akan menjadi bencana kemanusiaan.”
Dia menegaskan pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memiliki tanggung jawab untuk “mengurangi penderitaan penduduk sipil sebanyak mungkin.”
Arab Saudi telah memperingatkan Israel akan “dampak yang sangat serius” jika mereka tetap melanjutkan rencana serangan darat di Gaza selatan.
Sementara itu, Utusan Kepresidenan Rusia untuk Timur Tengah dan Afrika Mikhail Bogdanov mengatakan kepada wartawan bahwa Moskow memandang prospek serangan Israel di Rafah “sangat negatif,” dan menggambarkan permusuhan yang terus berlanjut sebagai “bencana.”
Pada Jumat, kantor Netanyahu mengklaim tujuan Israel untuk “menghilangkan Hamas” tidak dapat dicapai tanpa membersihkan Rafah dari sisa pejuang.
Israel menyatakan perang terhadap kelompok Islam tersebut setelah Hamas dan pejuang sekutunya menyerang kota-kota Israel pada 7 Oktober, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera lebih dari 200 orang.
Hamas menegaskan Operasi Badai Al-Aqsa digelar karena rezim kolonial Israel dan pemukim Zionis terus menyerang Masjid Al-Aqsa dan menangkap serta membunuh ribuan warga sipil Palestina.
Lusinan tawanan kemudian dibebaskan sebagai bagian dari pertukaran tahanan selama jeda kemanusiaan seminggu pada bulan November.
Israel telah membunuh lebih dari 28.000 warga Palestina sejak 7 Oktober, menurut otoritas kesehatan di Gaza.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Inggris David Cameron mengungkapkan hal itu tak lama setelah Israel melancarkan serangan udara yang menewaskan 67 orang di kota Rafah dan menyebabkan puluhan orang terluka, menurut pejabat setempat.
Terletak di dekat perbatasan Mesir, Rafah memiliki populasi sekitar 280.000 orang sebelum permusuhan antara Israel dan Hamas pecah pada Oktober lalu.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sebelumnya mendesak warga sipil Palestina mengungsi ke kota tersebut ketika pasukan Israel menyerbu bagian utara Gaza.
Berbicara kepada wartawan pada Senin (12/2/2024), Cameron mengatakan, “Inggris sangat prihatin dengan situasi ini dan kami ingin Israel berhenti dan berpikir serius sebelum mengambil tindakan lebih lanjut.”
“Tidak mungkin melihat bagaimana Anda bisa berperang di antara orang-orang ini,” ujar dia, mengacu pada populasi Rafah yang membengkak.
Dia menyatakan, “Tidak ada tempat bagi mereka untuk pergi.”
Menurut mantan perdana menteri itu, “Inggris ingin melihat pertempuran segera dihentikan yang akan mengarah pada gencatan senjata.”
Pada Sabtu, Cameron memperkirakan “lebih dari separuh penduduk Gaza berlindung di wilayah tersebut” saat ini.
Dalam postingan di X, Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock juga memperkirakan, “Serangan tentara Israel di Rafah akan menjadi bencana kemanusiaan.”
Dia menegaskan pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memiliki tanggung jawab untuk “mengurangi penderitaan penduduk sipil sebanyak mungkin.”
Arab Saudi telah memperingatkan Israel akan “dampak yang sangat serius” jika mereka tetap melanjutkan rencana serangan darat di Gaza selatan.
Sementara itu, Utusan Kepresidenan Rusia untuk Timur Tengah dan Afrika Mikhail Bogdanov mengatakan kepada wartawan bahwa Moskow memandang prospek serangan Israel di Rafah “sangat negatif,” dan menggambarkan permusuhan yang terus berlanjut sebagai “bencana.”
Pada Jumat, kantor Netanyahu mengklaim tujuan Israel untuk “menghilangkan Hamas” tidak dapat dicapai tanpa membersihkan Rafah dari sisa pejuang.
Israel menyatakan perang terhadap kelompok Islam tersebut setelah Hamas dan pejuang sekutunya menyerang kota-kota Israel pada 7 Oktober, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera lebih dari 200 orang.
Hamas menegaskan Operasi Badai Al-Aqsa digelar karena rezim kolonial Israel dan pemukim Zionis terus menyerang Masjid Al-Aqsa dan menangkap serta membunuh ribuan warga sipil Palestina.
Lusinan tawanan kemudian dibebaskan sebagai bagian dari pertukaran tahanan selama jeda kemanusiaan seminggu pada bulan November.
Israel telah membunuh lebih dari 28.000 warga Palestina sejak 7 Oktober, menurut otoritas kesehatan di Gaza.
(sya)