AS Uji Terbang Bom B61-12 via Bomber Siluman B-2 di Nevada

Senin, 02 Juli 2018 - 14:00 WIB
AS Uji Terbang Bom B61-12...
AS Uji Terbang Bom B61-12 via Bomber Siluman B-2 di Nevada
A A A
WASHINGTON - Angkatan Udara Amerika Serikat telah menguji terbang bom gravitasi B61-12 dengan pesawat pembom (bomber) siluman B-2 Spirit di atas wilayah udara Nevada. Tes ini sebagai bagian dari proyek ambisius untuk memperpanjang masa pakai bom yang bisa membawa hulu ledak nuklir tersebut hingga 20 tahun lagi.

Bom gravitasi B61-12 diperkenalkan pada 1968. Untuk layak digunakan, senjata itu telah menjalani upgrade.

"Administrasi Keamanan Nuklir Nasional Departemen Energi (DOE/NNSA) dan Angkatan Udara AS menyelesaikan dua tes penerbangan kualifikasi sistem non-nuklir dari bom gravitasi B61-12 pada 9 Juni di Tonopah Test Range di Nevada," kata Departemen Energi yang dikutip dari situs resminya, Senin (2/7/2018).

Uji terbang bom berbahaya itu berlangsung minggu lalu. "Tes-tes ini adalah yang pertama seperti tes kualifikasi ujung ke ujung pada bomber B-2A Spirit untuk B61-12," lanjut departemen tersebut.

Eksperimen tersebut termasuk menjalankan uji coba pada bom rakitan yang dirancang NNSA dan Angkatan Udara AS sebagai bagian dari upaya untuk mengevaluasi kemampuan pesawat untuk mengirimkan senjata dan fungsi senjata non-nuklir.

Versi yang berbeda dari bom gravitasi B-61 telah dikerahkan di pangkalan AS dan NATO selama lima dekade. Selama bertahun-tahun, Pentagon menghasilkan banyak modifikasi pada senjata mematikan varian B61 dari 3, 4, 7, dan 11.

Pentagon saat ini sedang berada di tengah-tengah Program Pembiayaan B61-12 dengan anggran USD7,6 miliar, yang bertujuan untuk memperbarui, menggunakan kembali, atau mengganti semua komponen bom nuklir dan non-nuklir dan memperpanjang masa pakai B61 setidaknya 20 tahun lagi.

Selain mengerahkan B61-12 dengan pesawat pembom jarak jauh modern, Pentagon memastikan bom itu dapat dengan mudah digunakan oleh jet tempur F-15E. Pentagon bahkan ingin mengintegrasikannya dengan jet tempur generasi kelima F-35 Lightning.

Saat berkuasa Presiden Barack Obama menyetujui program modernisasi nuklir. Penerusanya, Presiden Donald Trump, merevisinya menjadi proyek ambisius hingga 30 tahun yang akan menghabiskan biaya setidaknya USD1,2 triliun untuk menyelesaikannya.

Sekitar USD800 miliar dari anggaran itu akan dihabiskan untuk mempertahankan kekuatan nuklir, sedangkan sekitar USD400 miliar akan dihabiskan untuk memodernisasi persenjataan. Alasannya, sebagai kebutuhan eksistensial untuk menghalangi "kekuatan revisionis" seperti China dan Rusia.

Rusia telah berulang kali menyatakan keprihatinan atas pelonggaran pedoman peluncuran nuklir di bawah Nuclear Posture Review (NPR) Pemerintah Trump. Dalam dokumen NPR dikatakan bahwa serangan non-nuklir yang mengakibatkan korban massal atau target infrastruktur kunci di AS merupakan dasar yang cukup untuk pembalasan AS dengan senjata nuklir.

Moskow juga memperingatkan bahwa mengerahkan lebih banyak bom B61 ke pangkalan NATO di Eropa juga akan melanggar perjanjian non-proliferasi nuklir.

Sementara itu, untuk membenarkan belanja pembayar pajak atas peningkatan kekuatan nuklir, Washington terus-menerus menuding Rusia sebagai ancaman bagi keamanan nasional AS.

"Rusia telah menunjukkan kesediaannya untuk menggunakan kekuatan guna mengubah peta Eropa dan memaksakan kehendaknya pada negara-negara tetangganya, yang didukung oleh ancaman penggunaan senjata nuklir implisit dan eksplisit," bunyi dokumen NPR.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0957 seconds (0.1#10.140)