Dianggap Mengancam, Gerakan Keagamaan Falun Dafa Terus Ditekan China

Kamis, 08 Februari 2024 - 10:54 WIB
loading...
Dianggap Mengancam, Gerakan Keagamaan Falun Dafa Terus Ditekan China
Spanduk protes Falun Gong bertuliskan hentikan pengambilan organ secara paksa di China terpasang di Hong Kong. Foto/REUTERS
A A A
BEIJING - Penindakan keras yang dilakukan China terhadap kelompok agama minoritas bukan hal baru dan terus meningkat setiap tahunnya.

Mulai dari pelarangan dan modifikasi Al-Qur’an hingga penindasan terhadap umat Buddha di Tibet, China dipandang terobsesi untuk menekan kelompok agama tertentu dan etnis minoritas.

Kali ini, tekanan tersebut dirasakan oleh gerakan keagamaan Falun Gong atau dikenal juga dengan Falun Dafa.

Berdasarkan keterangan di website Minghui dan dikutip The HK Post pada Kamis (8/2/2024), setidaknya 209 praktisi Falun Gong telah dibunuh oleh Partai Komunis China (CCP) hingga tahun 2023.

Di antara mereka, 114 kematian dilaporkan sepanjang tahun 2023, sementara 88 kasus antara 2002 dan 2022. Pada tahun 2022, setidaknya 49 praktisi Falun Dafa kehilangan nyawa mereka di China, murni hanya karena keyakinan mereka. Di antara mereka yang terbunuh, ada yang berusia 25 hingga 30 tahun.



Pernah didukung secara luas oleh CCP sepanjang tahun 1990-an, Falun Gong atau Falun Dafa memiliki jutaan pengikut di seluruh China.

Meningkatnya status dan pengaruh pendiri Falun Dafa Li Hongzhi di tengah masyarakat dipandang sebagai ancaman oleh pemimpin China saat itu, Jiang Zemin, yang melancarkan kampanye kekerasan terhadap para anggota gerakan keagamaan tersebut. Sejak itu, ribuan praktisi Falun Gong telah dibunuh atau dijebloskan ke penjara.

Laporan lain yang diterbitkan Minghui per tanggal 17 Januari menyebutkan bahwa sekitar 6.514 praktisi Falun Dafa telah ditangkap atau diganggu. Dari 3.629 kasus penangkapan yang baru dilaporkan antara 2021 hingga 2023, 3.457 orang (95 persen) ditangkap sepanjang 2023 saja.

Pola yang sama juga terlihat pada jumlah kematian yang dilaporkan di tahun 2023. Sebagian besar insiden gangguan dan penangkapan terjadi di Shandong (1.061), Jilin (914), Hebei (673), Sichuan (576) dan Heilongjiang (546).

Sebanyak 1.190 praktisi Falun Dafa dijatuhi vonis penjara dengan hukuman bervariasi antara 3 bulan hingga 12 tahun. Dari kasus-kasus baru yang dilaporkan ini, 755 praktisi dijatuhi hukuman sepanjang 2023 saja.

Falun Dafa di Internal CCP


Tindakan keras terhadap praktisi Falun Dafa dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya di tahun 2023 menimbulkan kecurigaan terhadap motif China.



Banyak analis meyakini bahwa meningkatnya pengaruh Falun Dafa di kalangan politik China dan CCP bisa menjadi alasan di balik tindakan keras ini. Banyak elite dan anggota CCP telah mempraktikkan nilai-nilai Falun secara diam-diam, dan kedudukan mereka dalam koridor politik telah meningkat sedemikian rupa sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi CCP.

Meski kurangnya kepercayaan CCP terhadap warga Uighur dan Tibet dapat dipahami dari fakta bahwa kedua kelompok tersebut menginginkan pemerintahan sendiri atau otonomi parsial, namun tindakannya terhadap Falun Dafa sulit dicerna karena tidak ada tuntutan seperti itu.

Beijing khawatir akan pertumbuhan praktisi Falun yang tidak terkendali di internal CCP itu sendiri. Ketika Jiang mencoba melenyapkan praktisi Falun di tahun 1990-an, itu merupakan keputusan sepihak dan sebagian besar anggota Politbiro CCP menentangnya, karena istri dan petinggi partai juga mempraktikkan keyakinan Falun Dafa. Kondisi ini masih berlangsung hingga sekarang.

Melalui tindakan keras terhadap Falun Dafa, Presiden China Xi Jinping dinilai berusaha memperingatkan kader-kader senior agar tidak menentang pemerintah. Sikap ini telah menuai kritik, baik dari internal CCP atau militer China.

Banyak kubu-kubu telah terbentuk dan bekerja menentang Xi Jinping. Ada laporan bahwa Xi Jinping ditegur para pemimpin partai yang lebih tua, dan itulah sebabnya dia dilarang menghadiri pertemuan G20 di New Delhi.

Seperti yang dilakukan Mao Zedong dan Jiang, Xi Jinping juga melancarkan perang besar melawan agama, khususnya Falun Gong—yang mayoritas anggotanya adalah etnis Han—, untuk menargetkan saingannya di internal partai. Seperti inisiatif anti-korupsi, hal ini akan memberikan kekuasaan kepada Xi Jinping untuk menghilangkan orang-orang yang dianggapnya sebagai ancaman.

Pada tahun 2023 telah terjadi peningkatan jumlah aksi protes di seluruh China dalam beberapa hal. Jumlah demonstrasi melonjak setelah Oktober 2022, dan puluhan protes terjadi di berbagai kota besar.

Beberapa analis meyakini bahwa banyak pengunjuk rasa ini kemudian dituduh sebagai bagian dari Falun Dafa, dan kemudian dianiaya.

Skema tuduhan ini telah berulang kali digunakan China sebagai alat menghukum inisiator petisi, aktivis, atau individu pro-demokrasi. China biasanya dengan mudah menuduh mereka semua memiliki hubungan dengan Falun Gong.

Pertarungan Ideologi


Situasi saat ini merupakan bagian dari pertarungan untuk legitimasi dan ideologi. CCP tidak mau berbagi posisi tertinggi, yang bahkan Tuhan dan agama pun dianggap berada di bawah partai. Ini merupakan bentuk Konfusianisme modern, di mana raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi.

Pengikut Falun Dafa tidak hanya terbatas pada anggota partai, tetapi juga telah menyusup ke dalam militer, dan itulah yang paling ditakuti oleh Beijing.

Persoalan agama selalu menjadi tantangan besar bagi negara komunis seperti China. Ini bak sebuah panji (banner) di mana banyak revolusi telah terjadi di masa silam. Beberapa orang meyakini bahwa Falun Dafa bahkan terkesan menantang rasa nasionalisme China.

Xi Jinping sama sekali tidak ingin memberikan ruang sedikit pun pada sesuatu yang tidak dapat dia kendalikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok mana pun yang tidak dapat dikendalikan CCP akan dianggap sebagai ancaman terhadap partai dan ideologinya.

Dugaan praktik pengambilan organ yang tidak manusiawi dari praktisi sekte oleh CCP juga mengungkap “wajah terburuk” di China. Pada Juni 2019, Tribunal China yang diketuai Sir Geoffrey Nice QC, mantan jaksa di Pengadilan Kriminal Internasional (ICT), menyimpulkan bahwa Falun Gong masih menjadi sumber utama pengambilan organ secara paksa di China.

Menurut Ethan Gutmann, seorang jurnalis investigasi, sekitar 65.000 praktisi Falun Gong dibunuh untuk diambil organnya antara tahun 2000 hingga 2008. Sedangkan, menurut pengacara hak asasi manusia David Matas dan mantan Menteri Luar Negeri Kanada David Kilgour, 41.500 transplantasi di China dipertanyakan dan dikaitkan dengan Falun Dafa antara tahun 2000 dan 2005.

Pada tahun 2014, China mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan pengambilan organ dari tahanan yang dieksekusi, namun praktik ini pada kenyataannya tidak pernah berhenti. Ini berarti bahwa industri pengambilan organ telah berkembang sedemikian rupa sehingga Xi Jinping tidak mampu menghentikannya, atau dianggap sangat menguntungkan sehingga ia tidak ingin menghentikannya.

Banyak laporan yang mengeklaim bahwa organ-organ ini telah diberikan tidak hanya kepada elite yang membutuhkan di dalam militer dan CCP, tetapi juga diekspor oleh segelintir anggota partai yang korup.

China juga telah lama menargetkan praktisi Falun Gong di luar negeri. Melalui Kantor Polisi Luar Negeri, United Front Work Department (UFWD) telah mempengaruhi dan menyerang anggotanya di seluruh dunia.

Kantor 610


Misalnya, pada Mei 2023, pihak berwenang Amerika Serikat (AS) telah menangkap dua warga China, John Chen dan Lin Feng, atas tuduhan berkonspirasi melawan Falun Gong.

Pada Mei 2021, AS memberikan sanksi kepada Yu Hui, mantan Direktur Kantor Kelompok Utama Pusat untuk Pencegahan dan Penanganan Agama Sesat—juga dikenal sebagai Kantor 610—di Provinsi Sichuan atas keterlibatannya "dalam pelanggaran berat hak asasi manusia, yaitu penahanan sewenang-wenang terhadap praktisi Falun Gong atas keyakinan spiritual mereka."

“Kantor 610” sejauh ini masih menjadi aktor utama di balik kekejaman terhadap anggota Falun Gong. Mereka telah lama dituduh menyiksa, membunuh dan melakukan pelecehan seksual terhadap praktisi Falun Gong.

Organisasi ini didirikan dengan tujuan melenyapkan Falun Gong sepenuhnya di China. Saat ini, kelompok tersebut memantau dan menghukum rekan-rekan Falun Dafa, mengoordinasikan propaganda anti-Falun Gong dan memfasilitasi program pendidikan ulang. Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan di Luar Proses Hukum pada tahun 2009 menyalahkan “Kantor 610” yang mengeksekusi ratusan praktisi Falun Dafa menjelang Olimpiade Beijing 2008.

Dengan adanya Undang-Undang Keamanan Nasional Baru di Hong Kong, di mana para praktisi mencari perlindungan sejak tahun 1999 dan sangat vokal menentang CCP, Falun Dafa juga menghadapi penganiayaan.

Klausul "kolusi dengan negara asing untuk membahayakan keamanan nasional" dalam Undang-Undang Keamanan Nasional digunakan untuk menekan suara praktisi Falun Dafa.

Kedutaan Besar China di seluruh dunia bekerja tanpa henti untuk menekan suara-suara terkait Falun Gong di luar China. Seorang mantan diplomat China di Australia yang membelot di tahun 2005, Chen Yonglin, mengungkapkan bahwa pekerjaan utamanya adalah mengamati aktivitas anggota Falun Gong.

Mulai dari penyiksaan, pelecehan, pemerkosaan dan pemaksaan untuk melakukan perdagangan organ, kisah-kisah praktisi Falun Gong tidak kalah pentingnya dengan kisah-kisah mereka yang tinggal di kamp konsentrasi di Xinjiang.

Namun tidak seperti warga Uighur dan Tibet, yang mendapatkan banyak perhatian dan dukungan dari berbagai aktivis dan kelompok hak asasi manusia, Falun Gong masih tetap menjadi isu terabaikan yang membutuhkan perhatian khusus dari para aktivis hak asasi manusia di seluruh dunia.
(mas)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1162 seconds (0.1#10.140)