Eks Bos Shin Bet Samakan Militer Israel dengan ISIS karena Anut Fundamentalisme Agama
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Mantan kepala Shin Bet (dinas keamanan nasional Israel) Ami Ayalon mengkritik taktik perang militer Israel melawan Hamas di Gaza. Dia menyamakan taktik tersebut dengan taktik ISIS dan al-Qaeda karena menganut fundamentalisme agama.
Ayalon, yang juga mantan panglima Angkatan Laut Israel, muncul dalam diskusi online yang diselenggarakan oleh lembaga think tank Carnegie Endowment for International Peace.
Ayalon bergabung bersama analis Timur Tengah Aaron David Miller dan mantan direktur Mossad Efraim Halevy, di mana mereka membahas peran intelijen selama pengeboman brutal Israel yang sedang berlangsung di Gaza, Palestina.
Dalam sesi tersebut, Ayalon menyamakan strategi militer Israel dalam perang tersebut dengan strategi ISIS dan al-Qaeda.
Dia yakin pemerintah Israel saat ini menganut fundamentalisme agama, yang telah menyebabkan pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga Palestina sejak 7 Oktober.
“Tujuan politiknya adalah menciptakan bencana kemanusiaan di Gaza karena kita akan mulai lagi dari kekacauan ini,” katanya, seperti dikutip The New Arab, Minggu (17/12/2023).
“Ini adalah teori yang tepat dari organisasi-organisasi Muslim yang paling radikal dan fundamental; inilah teologi dan strategi ISIS dan al-Qaeda," katanya lagi.
Ayalon menambahkan bahwa dengan tidak mendefinisikan tujuan politik tertentu dan menggunakan perang “sebagai tujuan”—yang menurutnya harus dilaksanakan sebagai alat—dia berpendapat bahwa rencana Israel telah menjadi “kegagalan besar”.
Dia juga menunjukkan dukungannya terhadap solusi dua negara dan diakhirinya pendudukan Israel di wilayah Palestina.
Ayalon mengatakan rencana tersebut adalah yang terbaik untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah.
“Ini adalah satu-satunya cara bagi kami untuk lebih aman tanpa kehilangan identitas kami,” kata Ayalon. “Saya sangat berharap seseorang akan membahasnya.”
Mantan bos Shin Bet itu sebelumnya mengutuk serangan militer Israel yang tiada henti di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 18.000 warga Palestina saat perang memasuki bulan ketiga.
Dalam wawancara dengan France24, Ayalon mengatakan bahwa dia mendukung pelenyapan Hamas dan hak Israel untuk hidup sebagai sebuah negara.
Namun, dia menyampaikan keprihatinannya tentang bagaimana pemerintah terus memandang rakyat Palestina, yang menurutnya telah menentukan pendekatan keamanan mereka.
“Pemerintah kami tidak mengakui Palestina sebagai sebuah bangsa. Selama masih ada konflik, kami tidak akan mencapai kesepakatan, dan kami tidak akan melihat stabilitas,” kata Ayalon kepada France24.
Israel terus menekan Gaza dengan invasi udara, darat dan laut yang intens—meskipun ada seruan internasional untuk menahan diri.
Pendukung utamanya, Amerika Serikat, mengatakan perang tersebut tidak boleh mengarah pada pendudukan Israel dalam jangka panjang di wilayah tersebut.
Majelis Umum PBB sangat mendukung resolusi tidak mengikat yang menyerukan gencatan senjata permanen di Gaza, namun Washington memilih menentangnya.
Ayalon, yang juga mantan panglima Angkatan Laut Israel, muncul dalam diskusi online yang diselenggarakan oleh lembaga think tank Carnegie Endowment for International Peace.
Ayalon bergabung bersama analis Timur Tengah Aaron David Miller dan mantan direktur Mossad Efraim Halevy, di mana mereka membahas peran intelijen selama pengeboman brutal Israel yang sedang berlangsung di Gaza, Palestina.
Dalam sesi tersebut, Ayalon menyamakan strategi militer Israel dalam perang tersebut dengan strategi ISIS dan al-Qaeda.
Dia yakin pemerintah Israel saat ini menganut fundamentalisme agama, yang telah menyebabkan pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga Palestina sejak 7 Oktober.
“Tujuan politiknya adalah menciptakan bencana kemanusiaan di Gaza karena kita akan mulai lagi dari kekacauan ini,” katanya, seperti dikutip The New Arab, Minggu (17/12/2023).
“Ini adalah teori yang tepat dari organisasi-organisasi Muslim yang paling radikal dan fundamental; inilah teologi dan strategi ISIS dan al-Qaeda," katanya lagi.
Ayalon menambahkan bahwa dengan tidak mendefinisikan tujuan politik tertentu dan menggunakan perang “sebagai tujuan”—yang menurutnya harus dilaksanakan sebagai alat—dia berpendapat bahwa rencana Israel telah menjadi “kegagalan besar”.
Dia juga menunjukkan dukungannya terhadap solusi dua negara dan diakhirinya pendudukan Israel di wilayah Palestina.
Ayalon mengatakan rencana tersebut adalah yang terbaik untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah.
“Ini adalah satu-satunya cara bagi kami untuk lebih aman tanpa kehilangan identitas kami,” kata Ayalon. “Saya sangat berharap seseorang akan membahasnya.”
Mantan bos Shin Bet itu sebelumnya mengutuk serangan militer Israel yang tiada henti di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 18.000 warga Palestina saat perang memasuki bulan ketiga.
Dalam wawancara dengan France24, Ayalon mengatakan bahwa dia mendukung pelenyapan Hamas dan hak Israel untuk hidup sebagai sebuah negara.
Namun, dia menyampaikan keprihatinannya tentang bagaimana pemerintah terus memandang rakyat Palestina, yang menurutnya telah menentukan pendekatan keamanan mereka.
“Pemerintah kami tidak mengakui Palestina sebagai sebuah bangsa. Selama masih ada konflik, kami tidak akan mencapai kesepakatan, dan kami tidak akan melihat stabilitas,” kata Ayalon kepada France24.
Israel terus menekan Gaza dengan invasi udara, darat dan laut yang intens—meskipun ada seruan internasional untuk menahan diri.
Pendukung utamanya, Amerika Serikat, mengatakan perang tersebut tidak boleh mengarah pada pendudukan Israel dalam jangka panjang di wilayah tersebut.
Majelis Umum PBB sangat mendukung resolusi tidak mengikat yang menyerukan gencatan senjata permanen di Gaza, namun Washington memilih menentangnya.
(mas)