Boikot Produk Barat Melanda Timur Tengah: ‘Apakah Anda Membunuh Warga Palestina Hari Ini?’
loading...
A
A
A
MANAMA - Di sebuah toko serba ada di Bahrain, Jana Abdullah yang berusia 14 tahun membawa tablet saat dia berbelanja, memeriksa daftar merek Barat yang harus dihindari saat Israel melancarkan perang melawan Hamas di Gaza, Palestina.
Jana dan adik laki-lakinya yang berusia 10 tahun, Ali, biasa makan di McDonald’s hampir setiap hari. Namun mereka termasuk di antara banyak orang di Timur Tengah yang kini memboikot produk-produk yang mereka yakini mendukung Israel.
Dengan penyebaran kampanye di media sosial termasuk TikTok, anak-anak serta orang tua mereka menghindari merek-merek besar seperti Starbucks, KFC, dan Carrefour.
“Kami sudah mulai memboikot semua produk yang mendukung Israel sebagai solidaritas terhadap Palestina,” kata Jana kepada AFP, yang dilansir Selasa (7/11/2023).
“Kami tidak ingin uang kami berkontribusi pada lebih banyak pertempuran,” imbunya, sembari mencari pengganti lokal.
Gerakan boikot produk Barat ini secara bertahap meluas sejak kelompok perlawanan Palestina; Hamas, melancarkan serangan besar-besaran pada 7 Oktober terhadap Israel. Serangan yang diberi nama Operasi Badai al-Aqsa itu menewaskan lebih dari 1.400 orang dan ratusan lainnya diculik.
Sejak itu, Israel tanpa henti membombardir Gaza dan mengirimkan pasukan darat dalam serangan yang menurut kementerian kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas telah menewaskan 10.022 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Di seluruh kawasan, masyarakat Arab yang marah karena serangan Israel telah berbalik melawan merek-merek yang terkait dengan sekutu Israel, terutama Amerika Serikat (AS).
Boikot tersebut disertai dengan seruan kepada negara-negara Arab untuk memutuskan hubungan dengan Israel, sementara demonstrasi pro-Palestina terjadi setiap pekan di setiap ibu kota.
Turki dan Yordania telah menarik duta besarnya untuk Israel, dan parlemen Bahrain mengatakan hubungan dagang telah dihentikan—meskipun belum ada konfirmasi dari pemerintah.
Dipimpin oleh kaum muda yang melek teknologi, kampanye boikot ini mencakup ekstensi browser, situs web khusus, dan aplikasi ponsel pintar yang mengidentifikasi produk-produk terlarang.
Salah satu ekstensi Google Chrome, PalestinePact, mengaburkan item yang diiklankan secara online jika item tersebut disertakan dalam daftar.
Metode yang lebih tradisional juga digunakan. Di samping jalan raya empat jalur di Kota Kuwait, papan reklame raksasa memperlihatkan gambar anak-anak yang berlumuran darah dan dibalut.
“Apakah Anda membunuh seorang warga Palestina hari ini?” bunyi slogan muram di baliho, menyindir konsumen yang masih menggunakan barang target boikot.
Menurut Mishari al-Ibrahim, seorang aktivis Kuwait, dukungan Barat terhadap serangan Israel di Gaza memperkuat penyebaran boikot di Kuwait.
“Hal ini menciptakan gambaran mental di kalangan masyarakat Kuwait bahwa slogan-slogan Barat dan apa yang mereka katakan tentang hak asasi manusia tidak berlaku bagi kami," katanya.
McDonald's telah menjadi target utama. Bulan lalu, jaringan makanan cepat saji asal Amerika Serikat (AS) yang merupakan waralaba Israel mengumumkan bahwa mereka telah memberikan ribuan makanan gratis kepada tentara Israel, sehingga memicu keributan di wilayah tersebut.
McDonald's Kuwait, sebuah entitas terpisah, menanggapinya dengan menjanjikan lebih dari USD160.000 untuk upaya bantuan di Gaza, dan mengatakan pihaknya “mendukung Palestina” dalam sebuah pernyataan di media sosial.
McDonald's Qatar juga menjanjikan USD275.000 untuk upaya bantuan di Gaza, dan menekankan dalam sebuah pernyataan bulan lalu bahwa mereka terpisah dari cabang Israel.
Di Qatar, beberapa outlet media Barat terpaksa tutup setelah pemiliknya membagikan konten pro-Israel secara online.
Cabang Pura Vida Miami di Doha, sebuah kafe Amerika, dan perusahaan kue Prancis Maitre Choux keduanya tutup pada bulan Oktober.
Di Mesir, merek soda buatan dalam negeri yang sudah lama diabaikan oleh sebagian besar masyarakat kini menjadi populer karena boikot produk Barat.
Spiro Spathis, yang didirikan pada tahun 1920, mengatakan baru-baru ini menerima lebih dari 15.000 lamaran dalam putaran perekrutan yang didorong oleh meningkatnya permintaan.
Namun, boikot tersebut dapat berdampak besar terhadap perekonomian Mesir, demikian peringatan Federasi Kamar Dagang Mesir.
“Dampaknya terhadap investor Mesir dan puluhan ribu pekerja akan sangat besar,” katanya dalam sebuah pernyataan, seraya menekankan bahwa cabang lokal dimiliki oleh pewaralaba Mesir.
Sementara itu di Yordania, di mana postingan media sosial memperingatkan konsumen untuk tidak “membayar harga yang mahal”, Abu Abdullah sedang memeriksa dengan cermat sebotol susu beraroma di sebuah toko kelontong di ibu kota, Amman.
“Ah, ini buatan Tunisia,” katanya, sambil ditemani oleh putranya yang berusia empat tahun, Abdullah, yang berdiri di sampingnya.
“Setidaknya ini yang bisa kami lakukan untuk saudara-saudara kami di Gaza,” katanya. “Kita harus memboikot.”
Jana dan adik laki-lakinya yang berusia 10 tahun, Ali, biasa makan di McDonald’s hampir setiap hari. Namun mereka termasuk di antara banyak orang di Timur Tengah yang kini memboikot produk-produk yang mereka yakini mendukung Israel.
Dengan penyebaran kampanye di media sosial termasuk TikTok, anak-anak serta orang tua mereka menghindari merek-merek besar seperti Starbucks, KFC, dan Carrefour.
“Kami sudah mulai memboikot semua produk yang mendukung Israel sebagai solidaritas terhadap Palestina,” kata Jana kepada AFP, yang dilansir Selasa (7/11/2023).
“Kami tidak ingin uang kami berkontribusi pada lebih banyak pertempuran,” imbunya, sembari mencari pengganti lokal.
Gerakan boikot produk Barat ini secara bertahap meluas sejak kelompok perlawanan Palestina; Hamas, melancarkan serangan besar-besaran pada 7 Oktober terhadap Israel. Serangan yang diberi nama Operasi Badai al-Aqsa itu menewaskan lebih dari 1.400 orang dan ratusan lainnya diculik.
Sejak itu, Israel tanpa henti membombardir Gaza dan mengirimkan pasukan darat dalam serangan yang menurut kementerian kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas telah menewaskan 10.022 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Di seluruh kawasan, masyarakat Arab yang marah karena serangan Israel telah berbalik melawan merek-merek yang terkait dengan sekutu Israel, terutama Amerika Serikat (AS).
Boikot tersebut disertai dengan seruan kepada negara-negara Arab untuk memutuskan hubungan dengan Israel, sementara demonstrasi pro-Palestina terjadi setiap pekan di setiap ibu kota.
Turki dan Yordania telah menarik duta besarnya untuk Israel, dan parlemen Bahrain mengatakan hubungan dagang telah dihentikan—meskipun belum ada konfirmasi dari pemerintah.
Baliho yang Suram
Dipimpin oleh kaum muda yang melek teknologi, kampanye boikot ini mencakup ekstensi browser, situs web khusus, dan aplikasi ponsel pintar yang mengidentifikasi produk-produk terlarang.
Salah satu ekstensi Google Chrome, PalestinePact, mengaburkan item yang diiklankan secara online jika item tersebut disertakan dalam daftar.
Metode yang lebih tradisional juga digunakan. Di samping jalan raya empat jalur di Kota Kuwait, papan reklame raksasa memperlihatkan gambar anak-anak yang berlumuran darah dan dibalut.
“Apakah Anda membunuh seorang warga Palestina hari ini?” bunyi slogan muram di baliho, menyindir konsumen yang masih menggunakan barang target boikot.
Menurut Mishari al-Ibrahim, seorang aktivis Kuwait, dukungan Barat terhadap serangan Israel di Gaza memperkuat penyebaran boikot di Kuwait.
“Hal ini menciptakan gambaran mental di kalangan masyarakat Kuwait bahwa slogan-slogan Barat dan apa yang mereka katakan tentang hak asasi manusia tidak berlaku bagi kami," katanya.
McDonald's telah menjadi target utama. Bulan lalu, jaringan makanan cepat saji asal Amerika Serikat (AS) yang merupakan waralaba Israel mengumumkan bahwa mereka telah memberikan ribuan makanan gratis kepada tentara Israel, sehingga memicu keributan di wilayah tersebut.
McDonald's Kuwait, sebuah entitas terpisah, menanggapinya dengan menjanjikan lebih dari USD160.000 untuk upaya bantuan di Gaza, dan mengatakan pihaknya “mendukung Palestina” dalam sebuah pernyataan di media sosial.
McDonald's Qatar juga menjanjikan USD275.000 untuk upaya bantuan di Gaza, dan menekankan dalam sebuah pernyataan bulan lalu bahwa mereka terpisah dari cabang Israel.
Di Qatar, beberapa outlet media Barat terpaksa tutup setelah pemiliknya membagikan konten pro-Israel secara online.
Cabang Pura Vida Miami di Doha, sebuah kafe Amerika, dan perusahaan kue Prancis Maitre Choux keduanya tutup pada bulan Oktober.
Di Mesir, merek soda buatan dalam negeri yang sudah lama diabaikan oleh sebagian besar masyarakat kini menjadi populer karena boikot produk Barat.
Spiro Spathis, yang didirikan pada tahun 1920, mengatakan baru-baru ini menerima lebih dari 15.000 lamaran dalam putaran perekrutan yang didorong oleh meningkatnya permintaan.
Namun, boikot tersebut dapat berdampak besar terhadap perekonomian Mesir, demikian peringatan Federasi Kamar Dagang Mesir.
“Dampaknya terhadap investor Mesir dan puluhan ribu pekerja akan sangat besar,” katanya dalam sebuah pernyataan, seraya menekankan bahwa cabang lokal dimiliki oleh pewaralaba Mesir.
Sementara itu di Yordania, di mana postingan media sosial memperingatkan konsumen untuk tidak “membayar harga yang mahal”, Abu Abdullah sedang memeriksa dengan cermat sebotol susu beraroma di sebuah toko kelontong di ibu kota, Amman.
“Ah, ini buatan Tunisia,” katanya, sambil ditemani oleh putranya yang berusia empat tahun, Abdullah, yang berdiri di sampingnya.
“Setidaknya ini yang bisa kami lakukan untuk saudara-saudara kami di Gaza,” katanya. “Kita harus memboikot.”
(mas)