Israel Dilaporkan Setuju Tunda Invasi Darat ke Jalur Gaza
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Para pejabat Israel dilaporkan telah sepakat untuk mempertimbangkan penundaan invasi darat mereka ke Jalur Gaza selama beberapa hari. Itu dilakukan untuk memungkinkan negosiasi berlanjut mengenai lebih dari 200 sandera yang masih ditahan oleh Hamas.
“Baik Israel maupun pemerintahan Biden ingin mengerahkan segala upaya untuk mencoba mengeluarkan sandera dari Gaza,” kata seorang pejabat senior Israel yang tidak disebutkan namanya kepada Axios seperti dikutip dari New York Post, Selasa (24/10/2023).
“Jika Hamas mengusulkan paket besar, tentu saja, kami akan siap melakukan hal-hal sebagai balasannya,” kata pejabat tersebut, salah satu dari dua orang yang berbicara kepada outlet tersebut – dan menekankan bahwa rencana serangan darat Israel hanya akan tertunda beberapa hari, bukan dibatalkan.
Para pejabat Israel mengakui bahwa setidaknya beberapa sandera kemungkinan besar telah terbunuh dalam serangan udara balasan Zionis di Jalur Gaza sejak serangan mendadak Hamas ke Israel pada 7 Oktober. Seorang pejabat Hamas mengulangi klaimnya kepada Sky News pada hari Senin bahwa serangan Israel telah menewaskan 22 sandera.
Menurut Axios, para pejabat Israel mengatakan mereka sadar bahwa begitu militer mereka melancarkan invasi darat, kesepakatan untuk para sandera hampir mustahil dilakukan.
Mereka mengatakan kepada mediator Mesir bahwa jika Hamas menginginkan kesepakatan apa pun, mereka setidaknya harus membebaskan semua perempuan dan anak-anak yang ditahannya.
Sikap tersebut menandai perubahan dari beberapa hari yang lalu, ketika militer Israel meningkatkan kehadirannya di perbatasan selatannya dengan Jalur Gaza.
Foto yang diambil oleh Reuters pada hari Jumat menunjukkan beberapa tank Israel dan peralatan militer lainnya berjejer di perbatasan dengan Jalur Gaza.
Para pejabat Israel telah memperingatkan pada hari-hari sebelumnya bahwa mereka akan segera melancarkan invasi darat.
Dalam pidatonya yang berapi-api pada hari Kamis, Menteri Pertahanan Yoav Gallant mengatakan kepada pasukannya bahwa mereka akan segera melihat Gaza “dari dalam.”
Menteri Ekonomi dan Industri Israel Nir Barkat juga mengumumkan pada hari Kamis bahwa Pasukan Pertahanan Israel telah diberi “lampu hijau” untuk melakukan serangan ke Gaza – sebidang tanah seluas sekitar 140 mil persegi antara Israel dan Laut Mediterania.
Namun pada hari Jumat, para pejabat Hamas mulai membebaskan beberapa sandera.
“Sebagai respons terhadap upaya Qatar, Brigade Al-Qassam membebaskan dua warga negara Amerika (seorang ibu dan putrinya) karena alasan kemanusiaan, dan untuk membuktikan kepada rakyat Amerika dan dunia bahwa klaim yang dibuat oleh Biden dan pemerintahan fasisnya adalah salah dan tidak berdasar,” kata pejabat Hamas dalam sebuah pengumuman, menurut Times of Israel.
Mantan tawanan Judith Raanan dan putrinya yang berusia 17 tahun, Natalie, kemudian difoto sedang dikawal sepanjang malam oleh seorang pejabat militer.
Kemudian pada Senin malam, Hamas membebaskan dua sandera lagi, dengan mengatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan sebagai bagian dari negosiasi dengan Qatar dan Mesir.
Para sandera diidentifikasi sebagai Nurit Yitzhak dan Yochved Lifshitz, dua warga negara Israel yang dibebaskan ke Palang Merah.
Kelompok Hamas melalui saluran Telegramnya mengatakan bahwa para sandera itu dibebaskan karena alasan “kemanusiaan yang mendesak”.
“Kami telah memutuskan untuk membebaskan mereka karena alasan kemanusiaan dan kebaikan yang mendesak meskipun pendudukan melakukan lebih dari 8 pelanggaran prosedur yang disepakati dengan saudara-saudara mediator yang akan dipatuhi oleh pendudukan pada hari ini untuk menyelesaikan proses serah terima,” kata juru bicara Hamas di Telegram.
Perwakilan tersebut juga mengatakan bahwa kelompok tersebut telah mengusulkan pembebasan dua wanita lanjut usia tersebut pada akhir pekan lalu namun Israel menolaknya.
Pejabat Israel yang berbicara dengan Axios membenarkan pernyataan tersebut namun mengatakan bahwa Hamas pada awalnya menuntut agar Israel menghentikan serangan udaranya di Jalur Gaza selama enam jam sebagai imbalan atas pembebasan mereka.
Para pejabat mengatakan Israel pada awalnya menolak karena tidak ingin menciptakan preseden di mana Hamas akan melepaskan dua sandera setiap kali mereka menginginkan gencatan senjata – yang menurut para pejabat Israel dapat memungkinkan para pemimpin Hamas untuk berkumpul kembali dan berpindah dari satu tempat persembunyian ke tempat persembunyian lainnya.
Presiden Biden mengatakan pada hari Senin bahwa dia tidak akan mempertimbangkan untuk mendukung gencatan senjata di Israel sampai semua sandera dibebaskan.
“Kita harus membebaskan para sandera itu dan kemudian kita bisa berunding,” katanya kepada wartawan, menurut USA Today.
Pernyataan Biden diperkuat oleh juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller yang tampaknya juga menolak gagasan gencatan senjata, dengan alasan hal itu akan merugikan kemampuan Israel untuk mempertahankan diri dari apa yang disebutnya sebagai ancaman teroris yang terus berlanjut.
“Gencatan senjata apa pun akan memberi Hamas kemampuan untuk beristirahat, memulihkan diri, dan bersiap untuk terus melancarkan serangan teroris terhadap Israel,” katanya.
“Anda dapat memahami dengan jelas mengapa situasi ini tidak dapat ditoleransi oleh Israel, dan juga merupakan situasi yang tidak dapat ditoleransi oleh negara mana pun yang telah mengalami serangan brutal teroris,” tukasnya.
“Baik Israel maupun pemerintahan Biden ingin mengerahkan segala upaya untuk mencoba mengeluarkan sandera dari Gaza,” kata seorang pejabat senior Israel yang tidak disebutkan namanya kepada Axios seperti dikutip dari New York Post, Selasa (24/10/2023).
“Jika Hamas mengusulkan paket besar, tentu saja, kami akan siap melakukan hal-hal sebagai balasannya,” kata pejabat tersebut, salah satu dari dua orang yang berbicara kepada outlet tersebut – dan menekankan bahwa rencana serangan darat Israel hanya akan tertunda beberapa hari, bukan dibatalkan.
Para pejabat Israel mengakui bahwa setidaknya beberapa sandera kemungkinan besar telah terbunuh dalam serangan udara balasan Zionis di Jalur Gaza sejak serangan mendadak Hamas ke Israel pada 7 Oktober. Seorang pejabat Hamas mengulangi klaimnya kepada Sky News pada hari Senin bahwa serangan Israel telah menewaskan 22 sandera.
Menurut Axios, para pejabat Israel mengatakan mereka sadar bahwa begitu militer mereka melancarkan invasi darat, kesepakatan untuk para sandera hampir mustahil dilakukan.
Mereka mengatakan kepada mediator Mesir bahwa jika Hamas menginginkan kesepakatan apa pun, mereka setidaknya harus membebaskan semua perempuan dan anak-anak yang ditahannya.
Sikap tersebut menandai perubahan dari beberapa hari yang lalu, ketika militer Israel meningkatkan kehadirannya di perbatasan selatannya dengan Jalur Gaza.
Foto yang diambil oleh Reuters pada hari Jumat menunjukkan beberapa tank Israel dan peralatan militer lainnya berjejer di perbatasan dengan Jalur Gaza.
Para pejabat Israel telah memperingatkan pada hari-hari sebelumnya bahwa mereka akan segera melancarkan invasi darat.
Dalam pidatonya yang berapi-api pada hari Kamis, Menteri Pertahanan Yoav Gallant mengatakan kepada pasukannya bahwa mereka akan segera melihat Gaza “dari dalam.”
Menteri Ekonomi dan Industri Israel Nir Barkat juga mengumumkan pada hari Kamis bahwa Pasukan Pertahanan Israel telah diberi “lampu hijau” untuk melakukan serangan ke Gaza – sebidang tanah seluas sekitar 140 mil persegi antara Israel dan Laut Mediterania.
Namun pada hari Jumat, para pejabat Hamas mulai membebaskan beberapa sandera.
“Sebagai respons terhadap upaya Qatar, Brigade Al-Qassam membebaskan dua warga negara Amerika (seorang ibu dan putrinya) karena alasan kemanusiaan, dan untuk membuktikan kepada rakyat Amerika dan dunia bahwa klaim yang dibuat oleh Biden dan pemerintahan fasisnya adalah salah dan tidak berdasar,” kata pejabat Hamas dalam sebuah pengumuman, menurut Times of Israel.
Mantan tawanan Judith Raanan dan putrinya yang berusia 17 tahun, Natalie, kemudian difoto sedang dikawal sepanjang malam oleh seorang pejabat militer.
Baca Juga
Kemudian pada Senin malam, Hamas membebaskan dua sandera lagi, dengan mengatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan sebagai bagian dari negosiasi dengan Qatar dan Mesir.
Para sandera diidentifikasi sebagai Nurit Yitzhak dan Yochved Lifshitz, dua warga negara Israel yang dibebaskan ke Palang Merah.
Kelompok Hamas melalui saluran Telegramnya mengatakan bahwa para sandera itu dibebaskan karena alasan “kemanusiaan yang mendesak”.
“Kami telah memutuskan untuk membebaskan mereka karena alasan kemanusiaan dan kebaikan yang mendesak meskipun pendudukan melakukan lebih dari 8 pelanggaran prosedur yang disepakati dengan saudara-saudara mediator yang akan dipatuhi oleh pendudukan pada hari ini untuk menyelesaikan proses serah terima,” kata juru bicara Hamas di Telegram.
Perwakilan tersebut juga mengatakan bahwa kelompok tersebut telah mengusulkan pembebasan dua wanita lanjut usia tersebut pada akhir pekan lalu namun Israel menolaknya.
Pejabat Israel yang berbicara dengan Axios membenarkan pernyataan tersebut namun mengatakan bahwa Hamas pada awalnya menuntut agar Israel menghentikan serangan udaranya di Jalur Gaza selama enam jam sebagai imbalan atas pembebasan mereka.
Para pejabat mengatakan Israel pada awalnya menolak karena tidak ingin menciptakan preseden di mana Hamas akan melepaskan dua sandera setiap kali mereka menginginkan gencatan senjata – yang menurut para pejabat Israel dapat memungkinkan para pemimpin Hamas untuk berkumpul kembali dan berpindah dari satu tempat persembunyian ke tempat persembunyian lainnya.
Presiden Biden mengatakan pada hari Senin bahwa dia tidak akan mempertimbangkan untuk mendukung gencatan senjata di Israel sampai semua sandera dibebaskan.
“Kita harus membebaskan para sandera itu dan kemudian kita bisa berunding,” katanya kepada wartawan, menurut USA Today.
Pernyataan Biden diperkuat oleh juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller yang tampaknya juga menolak gagasan gencatan senjata, dengan alasan hal itu akan merugikan kemampuan Israel untuk mempertahankan diri dari apa yang disebutnya sebagai ancaman teroris yang terus berlanjut.
“Gencatan senjata apa pun akan memberi Hamas kemampuan untuk beristirahat, memulihkan diri, dan bersiap untuk terus melancarkan serangan teroris terhadap Israel,” katanya.
“Anda dapat memahami dengan jelas mengapa situasi ini tidak dapat ditoleransi oleh Israel, dan juga merupakan situasi yang tidak dapat ditoleransi oleh negara mana pun yang telah mengalami serangan brutal teroris,” tukasnya.
(ian)