Hadiri Parade Senjata Korut, Komitmen China atas Resolusi DK PBB Dipertanyakan
loading...
A
A
A
SEOUL - China berulang kali mengatakan bahwa mereka mematuhi rentetan sanksi terhadap Korea Utara (Korut) di bawah resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).
Tetapi Beijing tanpa ragu mengirim delegasi yang dipimpin anggota Politbiro Partai Komunis China (PKC) Li Hongzhong ke Pyongyang untuk menghadiri parade yang menampilkan rudal balistik antarbenua (ICBM) Hwasong-17 dan Hwasong-18. Kedua rudal itu dilarang di bawah sanksi PBB.
“Dalam mengimplementasikan resolusi Dewan Keamanan PBB, China selalu memenuhi kewajiban internasionalnya," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning sebelumnya. Namun, partisipasi delegasi China dalam parade "Hari Kemenangan" Korea Utara yang memamerkan rudal nuklir telah mengejutkan komunitas internasional.
Kehadiran delegasi Beijing tersebut dipandang sebagai dukungan China—salah satu anggota tetap DK PBB—terhadap Korea Utara, di saat Pyongyang telah membelanjakan uangnya dalam program senjata yang melanggar hukum.
Parade "Hari Kemenangan" telah digelar di Ibu Kota Korea Utara, Pyongyang, pada 27 Juli lalu.
Selain itu, pertunjukan kekuatan militer oleh Korea Utara terjadi di saat Semenanjung Korea berada di tengah-tengah ketegangan yang meningkat. Tahun ini saja, Korea Utara telah melakukan beberapa uji coba senjata, termasuk ICBM Hwasong-18.
Rudal berkemampuan nuklir dilarang di bawah resolusi DK PBB, yang telah diadopsi dengan dukungan China dan Rusia.
Mengutip laporan AP, Senin (7/8/2023), DK PBB telah menjatuhkan sanksi terhadap Korea Utara setelah negara terisolasi tersebut melakukan ledakan uji coba nuklir pertamanya di tahun 2006. Sejak itu, selama bertahun-tahun, DK PBB mengeluarkan 10 sanksi terhadap Korea Utara, yang semuanya mendapat dukungan dari China dan Rusia.
Setelah perang Ukraina pecah tahun lalu, China dan Rusia telah dituduh oleh Amerika Serikat dan para sekutu Barat-nya sebagai dua negara yang melindungi Korea Utara dari tindakan DK PBB.
Pada Maret 2023, sesuai laporan AP, Duta Besar AS Linda Thomas-Greenfield mengatakan dalam pertemuan DK PBB bahwa elemen "penghalang" dari China dan Rusia adalah sikap keduanya dalam memberikan dorong kepada Korea Utara untuk terus "meluncurkan rudal balistik tanpa hukuman" serta memajukan pengembangan senjata yang lebih canggih dan berbahaya.
Namun apa yang telah menciptakan riak di lingkaran strategis dan diplomatik adalah bahwa China, yang mengeklaim dirinya sebagai kekuatan internasional yang bertanggung jawab, sangat tertarik dengan tampilan ICBM Korea Utara saat parade berlangsung. Rusia telah mengirim Menteri Pertahanan Sergei Shoigu ke parade tersebut, di mana China diwakili Li Hongzhong.
Kedua tamu Korea Utara ini menyerahkan surat dari presiden masing-masing negara, Vladimir Putin dan Xi Jinping, kepada pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Keduanya juga sempat berfoto bersama Kim.
Sejumlah analis memandangnya sebagai dukungan terhadap aktivitas Korea Utara, di mana kegiatan tersebut dinilai bersifat provokatif dan berdampak pada perdamaian serta keamanan kawasan.
Ada beberapa kemungkinan mengapa China tidak ingin mengubah sikap terhadap Korea Utara dan meminta Kim untuk berhenti menciptakan ketegangan di Semenanjung Korea.
Alasan pertama, Presiden Xi Jinping ingin AS dan Eropa, atau seluruh masyarakat internasional, menerima bahwa hanya China yang memiliki kemampuan untuk memimpin tatanan dunia baru. Ia baru-baru ini menjadi perantara kesepakatan damai antara Iran dan Arab Saudi, dua negara yang sempat menjadi rival kuat di Timur Tengah.
Xi menginginkan kepemimpinan global untuk China sebagai imbalan untuk mengakhiri pertikaian antara kedua Korea di Semenanjung. Tapi kemudian, ia dinilai para pakar tidak akan meminta Korea Utara untuk menghentikan uji coba rudal dan senjata nuklir untuk meredakan ketegangan di Semenanjung, sampai China memiliki hubungan yang rusak dengan AS.
Alasan kedua didasarkan pada geopolitik. China ingin Korea Utara menjaga Semenanjung Korea tetap menjadi kuali ketegangan, dan ingin terus menciptakan ketakutan di benak pemerintahan AS, Jepang, dan Korea Selatan tentang keamanan kawasan. Selain itu, Xi menginginkan peran Korea Utara dalam mengalihkan perhatian AS, Jepang, dan Korea Selatan di wilayah tersebut, di saat Beijing sedang mempersiapkan serangan militer ke Taiwan untuk tujuan reunifikasi.
Alasan ketiga adalah strategi Indo-Pasifik AS dan sekutunya. Washington ingin China mematuhi tatanan internasional berbasis aturan sambil mempertahankan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
Jika terjadi konflik, ada kekhawatiran China akan memblokir Laut China Selatan yang memfasilitasi lebih dari USD5 triliun perdagangan internasional setiap tahunnya. China memandang seluruh Laut China Selatan sebagai wilayah perlindungannya, dan tidak ingin AS, aliansi Quad, atau kekuatan internasional lainnya, menunjukkan kehadiran militer mereka di sana.
Dalam 10 tahun terakhir, China telah memodernisasi angkatan bersenjatanya dengan memiliki angkatan laut terbesar di dunia berdasarkan ukuran armada—menurut Laporan Layanan Riset Kongres AS 2021—dan angkatan udara operasional terbesar kedua di dunia yang memiliki setidaknya 600 pesawat tempur generasi ke-4 dan sejumlah besar pesawat tempur generasi ke-5 seperti J-20 dan FC-31/J-31.
China masih kekurangan peralatan militer untuk benar-benar menantang AS dan mitranya di kawasan Indo-Pasifik. Performa buruk militer Rusia dalam perangnya melawan pasukan Ukraina terus diamati kepemimpinan militer China, mengingat bahwa Negeri Tirai Bambu belum pernah berperang lagi sejak tahun 1979.
Pertempuran terakhir Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) adalah dengan pasukan Vietnam yang berpengalaman dan bermotivasi tinggi, yang telah berhasil menghancurkan invasi China 40 tahun lalu.
Pada awal 2018, artikel dalam PLA Daily memperingatkan bahwa "perdamaian dan kemakmuran selama beberapa dekade telah memperburuk korupsi dan melemahkan kesiapan angkatan bersenjata China."
Beberapa ahli mengutip kesiapan militer China yang tidak memadai sebagai alasan untuk menekan tombol jeda perihal agresinya di Selat Taiwan. Meski ini adalah masalah analisis, China tidak akan pernah menyukai kekuatan militer Barat memiliki kehadiran yang mendominasi di wilayah tersebut, karena berkaitan erat dalam mekanisme keamanan China.
Semenanjung Korea berbagi perbatasan panjang dengan jantung industri China di provinsi timur laut negara itu. Untuk memastikan bahwa kepentingan strategisnya tidak terancam, China ingin Korea Utara melanjutkan uji coba senjata sebagai mekanisme pencegah agar AS, Jepang, Korea Selatan tetap terkendali.
Oleh karena itu, menurut Lowy Institute, sebuah think tank yang berbasis di Australia, dukungan Beijing untuk Korea Utara akan tetap utuh di masa mendatang karena memang sesuai dengan perhitungan geopolitiknya. Perhatian strategis utamanya adalah menjaga kawasan tersebut dari tangan AS dan juga Quad.
Tetapi Beijing tanpa ragu mengirim delegasi yang dipimpin anggota Politbiro Partai Komunis China (PKC) Li Hongzhong ke Pyongyang untuk menghadiri parade yang menampilkan rudal balistik antarbenua (ICBM) Hwasong-17 dan Hwasong-18. Kedua rudal itu dilarang di bawah sanksi PBB.
“Dalam mengimplementasikan resolusi Dewan Keamanan PBB, China selalu memenuhi kewajiban internasionalnya," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning sebelumnya. Namun, partisipasi delegasi China dalam parade "Hari Kemenangan" Korea Utara yang memamerkan rudal nuklir telah mengejutkan komunitas internasional.
Kehadiran delegasi Beijing tersebut dipandang sebagai dukungan China—salah satu anggota tetap DK PBB—terhadap Korea Utara, di saat Pyongyang telah membelanjakan uangnya dalam program senjata yang melanggar hukum.
Parade "Hari Kemenangan" telah digelar di Ibu Kota Korea Utara, Pyongyang, pada 27 Juli lalu.
Selain itu, pertunjukan kekuatan militer oleh Korea Utara terjadi di saat Semenanjung Korea berada di tengah-tengah ketegangan yang meningkat. Tahun ini saja, Korea Utara telah melakukan beberapa uji coba senjata, termasuk ICBM Hwasong-18.
Rudal berkemampuan nuklir dilarang di bawah resolusi DK PBB, yang telah diadopsi dengan dukungan China dan Rusia.
Mengutip laporan AP, Senin (7/8/2023), DK PBB telah menjatuhkan sanksi terhadap Korea Utara setelah negara terisolasi tersebut melakukan ledakan uji coba nuklir pertamanya di tahun 2006. Sejak itu, selama bertahun-tahun, DK PBB mengeluarkan 10 sanksi terhadap Korea Utara, yang semuanya mendapat dukungan dari China dan Rusia.
Setelah perang Ukraina pecah tahun lalu, China dan Rusia telah dituduh oleh Amerika Serikat dan para sekutu Barat-nya sebagai dua negara yang melindungi Korea Utara dari tindakan DK PBB.
Pada Maret 2023, sesuai laporan AP, Duta Besar AS Linda Thomas-Greenfield mengatakan dalam pertemuan DK PBB bahwa elemen "penghalang" dari China dan Rusia adalah sikap keduanya dalam memberikan dorong kepada Korea Utara untuk terus "meluncurkan rudal balistik tanpa hukuman" serta memajukan pengembangan senjata yang lebih canggih dan berbahaya.
Baca Juga
Namun apa yang telah menciptakan riak di lingkaran strategis dan diplomatik adalah bahwa China, yang mengeklaim dirinya sebagai kekuatan internasional yang bertanggung jawab, sangat tertarik dengan tampilan ICBM Korea Utara saat parade berlangsung. Rusia telah mengirim Menteri Pertahanan Sergei Shoigu ke parade tersebut, di mana China diwakili Li Hongzhong.
Kedua tamu Korea Utara ini menyerahkan surat dari presiden masing-masing negara, Vladimir Putin dan Xi Jinping, kepada pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Keduanya juga sempat berfoto bersama Kim.
Sejumlah analis memandangnya sebagai dukungan terhadap aktivitas Korea Utara, di mana kegiatan tersebut dinilai bersifat provokatif dan berdampak pada perdamaian serta keamanan kawasan.
Ada beberapa kemungkinan mengapa China tidak ingin mengubah sikap terhadap Korea Utara dan meminta Kim untuk berhenti menciptakan ketegangan di Semenanjung Korea.
Alasan pertama, Presiden Xi Jinping ingin AS dan Eropa, atau seluruh masyarakat internasional, menerima bahwa hanya China yang memiliki kemampuan untuk memimpin tatanan dunia baru. Ia baru-baru ini menjadi perantara kesepakatan damai antara Iran dan Arab Saudi, dua negara yang sempat menjadi rival kuat di Timur Tengah.
Xi menginginkan kepemimpinan global untuk China sebagai imbalan untuk mengakhiri pertikaian antara kedua Korea di Semenanjung. Tapi kemudian, ia dinilai para pakar tidak akan meminta Korea Utara untuk menghentikan uji coba rudal dan senjata nuklir untuk meredakan ketegangan di Semenanjung, sampai China memiliki hubungan yang rusak dengan AS.
Alasan kedua didasarkan pada geopolitik. China ingin Korea Utara menjaga Semenanjung Korea tetap menjadi kuali ketegangan, dan ingin terus menciptakan ketakutan di benak pemerintahan AS, Jepang, dan Korea Selatan tentang keamanan kawasan. Selain itu, Xi menginginkan peran Korea Utara dalam mengalihkan perhatian AS, Jepang, dan Korea Selatan di wilayah tersebut, di saat Beijing sedang mempersiapkan serangan militer ke Taiwan untuk tujuan reunifikasi.
Alasan ketiga adalah strategi Indo-Pasifik AS dan sekutunya. Washington ingin China mematuhi tatanan internasional berbasis aturan sambil mempertahankan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
Jika terjadi konflik, ada kekhawatiran China akan memblokir Laut China Selatan yang memfasilitasi lebih dari USD5 triliun perdagangan internasional setiap tahunnya. China memandang seluruh Laut China Selatan sebagai wilayah perlindungannya, dan tidak ingin AS, aliansi Quad, atau kekuatan internasional lainnya, menunjukkan kehadiran militer mereka di sana.
Dalam 10 tahun terakhir, China telah memodernisasi angkatan bersenjatanya dengan memiliki angkatan laut terbesar di dunia berdasarkan ukuran armada—menurut Laporan Layanan Riset Kongres AS 2021—dan angkatan udara operasional terbesar kedua di dunia yang memiliki setidaknya 600 pesawat tempur generasi ke-4 dan sejumlah besar pesawat tempur generasi ke-5 seperti J-20 dan FC-31/J-31.
China masih kekurangan peralatan militer untuk benar-benar menantang AS dan mitranya di kawasan Indo-Pasifik. Performa buruk militer Rusia dalam perangnya melawan pasukan Ukraina terus diamati kepemimpinan militer China, mengingat bahwa Negeri Tirai Bambu belum pernah berperang lagi sejak tahun 1979.
Pertempuran terakhir Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) adalah dengan pasukan Vietnam yang berpengalaman dan bermotivasi tinggi, yang telah berhasil menghancurkan invasi China 40 tahun lalu.
Pada awal 2018, artikel dalam PLA Daily memperingatkan bahwa "perdamaian dan kemakmuran selama beberapa dekade telah memperburuk korupsi dan melemahkan kesiapan angkatan bersenjata China."
Beberapa ahli mengutip kesiapan militer China yang tidak memadai sebagai alasan untuk menekan tombol jeda perihal agresinya di Selat Taiwan. Meski ini adalah masalah analisis, China tidak akan pernah menyukai kekuatan militer Barat memiliki kehadiran yang mendominasi di wilayah tersebut, karena berkaitan erat dalam mekanisme keamanan China.
Semenanjung Korea berbagi perbatasan panjang dengan jantung industri China di provinsi timur laut negara itu. Untuk memastikan bahwa kepentingan strategisnya tidak terancam, China ingin Korea Utara melanjutkan uji coba senjata sebagai mekanisme pencegah agar AS, Jepang, Korea Selatan tetap terkendali.
Oleh karena itu, menurut Lowy Institute, sebuah think tank yang berbasis di Australia, dukungan Beijing untuk Korea Utara akan tetap utuh di masa mendatang karena memang sesuai dengan perhitungan geopolitiknya. Perhatian strategis utamanya adalah menjaga kawasan tersebut dari tangan AS dan juga Quad.
(mas)