Rusia: NATO adalah Faktor Eskalasi di Kosovo
loading...
A
A
A
MOSKOW - Alih-alih meredakan permusuhan antara otoritas lokal dan mayoritas etnis Serbia di bagian utara Kosovo , pasukan NATO hanya memperburuk kerusuhan. Hal itu diungkapkan juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova dalam sebuah pernyataan.
Zakharova menunjukkan bahwa situasi di daerah tersebut telah mencapai “garis merah kritis”. Dia mengacu pada bentrokan kekerasan antara orang Serbia lokal dan Pasukan Kosovo NATO (KFOR) yang meletus setelah tentara blok berusaha untuk membubarkan demonstran yang memprotes pelantikan walikota baru dari etnis Albania. Kebuntuan itu mengakibatkan puluhan luka di kedua sisi.
Kerusuhan itu terjadi setelah warga Serbia setempat, yang telah lama menginginkan otonomi lebih, memboikot pemilu yang didukung Pristina di bagian utara Kosovo. Meskipun jumlah pemilih kurang dari 4%, otoritas lokal menganggap mereka sah, menghasilkan pemilihan empat walikota beretnis Albania.
Zakharova berpendapat bahwa krisis di Kosovo, yang dapat diselesaikan dengan damai, ternyata menjadi masalah yang terlalu sulit untuk dipecahkan bagi anggota militer NATO.
“Tidak hanya mereka menunjukkan ketidakmampuan mereka… (mereka) sendiri menjadi sumber kekerasan yang tidak perlu, faktor eskalasi,” klaim juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia itu seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (31/5/2023).
"Akibatnya, mereka yang dituduh melindungi orang Serbia dari tindakan keras ini, mendukung aspirasi xenofobia Pristina, yang pada dasarnya berubah menjadi kaki tangan teror dengan membela otoritas lokal," katanya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia itu juga mendesak Barat untuk membungkam propaganda palsunya dan berhenti menuduh orang-orang Serbia yang putus asa memprovokasi insiden ketika mereka hanya berusaha membela hak-hak sah mereka dengan cara damai.
“Sambil mencari yang bersalah, mediator dari AS dan UE harus mengumpulkan keberanian dan bercermin,” ujar pejabat Rusia itu.
Zakharova menunjukkan bahwa situasi di daerah tersebut telah mencapai “garis merah kritis”. Dia mengacu pada bentrokan kekerasan antara orang Serbia lokal dan Pasukan Kosovo NATO (KFOR) yang meletus setelah tentara blok berusaha untuk membubarkan demonstran yang memprotes pelantikan walikota baru dari etnis Albania. Kebuntuan itu mengakibatkan puluhan luka di kedua sisi.
Kerusuhan itu terjadi setelah warga Serbia setempat, yang telah lama menginginkan otonomi lebih, memboikot pemilu yang didukung Pristina di bagian utara Kosovo. Meskipun jumlah pemilih kurang dari 4%, otoritas lokal menganggap mereka sah, menghasilkan pemilihan empat walikota beretnis Albania.
Zakharova berpendapat bahwa krisis di Kosovo, yang dapat diselesaikan dengan damai, ternyata menjadi masalah yang terlalu sulit untuk dipecahkan bagi anggota militer NATO.
“Tidak hanya mereka menunjukkan ketidakmampuan mereka… (mereka) sendiri menjadi sumber kekerasan yang tidak perlu, faktor eskalasi,” klaim juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia itu seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (31/5/2023).
"Akibatnya, mereka yang dituduh melindungi orang Serbia dari tindakan keras ini, mendukung aspirasi xenofobia Pristina, yang pada dasarnya berubah menjadi kaki tangan teror dengan membela otoritas lokal," katanya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia itu juga mendesak Barat untuk membungkam propaganda palsunya dan berhenti menuduh orang-orang Serbia yang putus asa memprovokasi insiden ketika mereka hanya berusaha membela hak-hak sah mereka dengan cara damai.
“Sambil mencari yang bersalah, mediator dari AS dan UE harus mengumpulkan keberanian dan bercermin,” ujar pejabat Rusia itu.