Latar Belakang Perang Saudara di Sudan, Konflik Panjang Sejak 1800-an
loading...
A
A
A
KHARTOUM - Sudan terletak di timur laut Afrika. Negara ini resmi merdeka pada 1956. Sebelum merdeka, Sudan diserbu oleh raja muda Mesir di bawah Kekaisaran Ottoman, yaitu Muhammad Ali, pada 1820. Pada akhir abad 19, Sudan berada di bawah kekuasaan Inggris-Mesir.
Namun, setelah merdeka, Sudan sulit mendapat konstituen politik. Awalnya konflik muncul antara pemimpin utara yang berharap memaksakan persatuan bangsa melalui perluasan hukum dan budaya Islam ke seluruh negara bagian. Akan tetapi Sudan menentang kebijakan ini.
Dari 1955-1972 terjadi perang saudara. Sebagian besar perang terjadi di selatan, namun juga diselingi oleh insiden kekerasan di utara.
Perang saudara ini berakhir dengan Perjanjian Addis Abba pada 1972. Sayangnya, perjanjian tersebut hanya mengakhiri konflik untuk sementara. Pada 1983, perang antara Sudan dan Sudan Selatan berlanjut.
Perlu diketahui, dua pertiga Sudan Utara sebagian besar adalah Muslim. Sementara Kristen atau agama pribumi populer di bagian selatan.
Hal tersebut menjadi latar belakang perang saudara yang terjadi antara Sudan dan Sudan Selatan.
Kurangnya pembangunan ekonomi di selatan menjadi masalah. Selain itu, upaya pemimpin utara yang terus menerus mengislamkan sistem hukum Sudan ini menjadi sumber perselisihan yang kuat.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengakhiri perang seperti diskusi serta genjatan senjata. Pada 2005, perjanjian damai dapat mengakhiri perang.
Perjanjian juga memberi status semi-otonom kepada Sudan Selatan serta menetapkan referendum kemerdekaan untuk Sudan Selatan.
Sudan Selatan pun menggelar referendum. Berdasarkan hasil pemungutan yang dilakukan pada Januari 2011, Sudan Selatan sepakat mendeklarasikan kemerdekaan dan memisahkan diri dari Sudan. Hingga akhirnya Sudan Selatan dinyatakan sebagai negara merdeka pada 9 Juli 2011.
Lihat Juga: Putin Bicara tentang Perang Dunia 3: Bahaya Makin Meningkat, tapi Tak Perlu Membuat Siapa Pun Takut
Namun, setelah merdeka, Sudan sulit mendapat konstituen politik. Awalnya konflik muncul antara pemimpin utara yang berharap memaksakan persatuan bangsa melalui perluasan hukum dan budaya Islam ke seluruh negara bagian. Akan tetapi Sudan menentang kebijakan ini.
Dari 1955-1972 terjadi perang saudara. Sebagian besar perang terjadi di selatan, namun juga diselingi oleh insiden kekerasan di utara.
Perang saudara ini berakhir dengan Perjanjian Addis Abba pada 1972. Sayangnya, perjanjian tersebut hanya mengakhiri konflik untuk sementara. Pada 1983, perang antara Sudan dan Sudan Selatan berlanjut.
Perlu diketahui, dua pertiga Sudan Utara sebagian besar adalah Muslim. Sementara Kristen atau agama pribumi populer di bagian selatan.
Hal tersebut menjadi latar belakang perang saudara yang terjadi antara Sudan dan Sudan Selatan.
Kurangnya pembangunan ekonomi di selatan menjadi masalah. Selain itu, upaya pemimpin utara yang terus menerus mengislamkan sistem hukum Sudan ini menjadi sumber perselisihan yang kuat.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengakhiri perang seperti diskusi serta genjatan senjata. Pada 2005, perjanjian damai dapat mengakhiri perang.
Perjanjian juga memberi status semi-otonom kepada Sudan Selatan serta menetapkan referendum kemerdekaan untuk Sudan Selatan.
Sudan Selatan pun menggelar referendum. Berdasarkan hasil pemungutan yang dilakukan pada Januari 2011, Sudan Selatan sepakat mendeklarasikan kemerdekaan dan memisahkan diri dari Sudan. Hingga akhirnya Sudan Selatan dinyatakan sebagai negara merdeka pada 9 Juli 2011.
Lihat Juga: Putin Bicara tentang Perang Dunia 3: Bahaya Makin Meningkat, tapi Tak Perlu Membuat Siapa Pun Takut
(sya)