Macron: Eropa Jangan Mau Jadi Blok AS Maupun China soal Taiwan
loading...
A
A
A
PARIS - Presiden Prancis Emmanuel Macron minta Eropa jangan mau untuk menjadi blok atau kubu Amerika Serikat (AS) maupun blok China terkait krisis Taiwan.
Menurutnya, menjadi bagian dari salah blok tersebut membuat Eropa berisiko terjerat dalam krisis yang bukan miliknya.
Komentar Macron itu berisiko membuat marah Washington dan menyoroti perpecahan di Uni Eropa tentang cara mendekati China.
"Hal terburuk adalah berpikir bahwa kita orang Eropa harus menjadi pengikut dan menyesuaikan diri dengan ritme Amerika dan reaksi berlebihan China," kata Macron kepada sejumlah media termasuk harian bisnis Prancis Les Echos dan Politico ketika dia kembali hari Jumat dari kunjungan kenegaraan tiga hari ke Beijing.
Merujuk pada cita-citanya yang berharga tentang "otonomi strategis" Uni Eropa, pemimpin Prancis itu mengatakan; "Kita harus jelas di mana pandangan kita tumpang tindih dengan AS, tetapi apakah itu tentang Ukraina, hubungan dengan China atau sanksi, kita memiliki strategi Eropa."
"Kami tidak ingin masuk ke logika blok versus blok," ujar Macron, yang dilansir AFP, Senin (10/4/2023). "Eropa tidak boleh terjebak dalam kekacauan dunia dan krisis yang bukan milik kita," katanya lagi.
"Pulau Taiwan hanyalah salah satu wilayah yang mempertaruhkan percepatan ketegangan yang pecah antara duopoli China dan AS," imbuh Macron.
China memandang Taiwan yang demokratis dan berpemerintahan sendiri sebagai bagian dari wilayahnya dan telah berjanji untuk merebutnya suatu hari nanti, dengan paksa jika perlu.
Marah dengan pertemuan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dan Ketua DPR AS Kevin McCarthy pekan lalu, Beijing meluncurkan latihan militer besar-besaran di sekitar pulau Taiwan segera setelah Macron terbang ke Prancis. Manuver China itu termasuk simulasi serangan.
Macron membahas Taiwan dengan Presiden China Xi Jinping pada hari Jumat, selama kunjungan di mana dia dijamu tetapi Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen yang lebih hawkish sebagian besar dijauhkan.
Kantornya di Istana Elysee mengatakan pembicaraan itu padat dan jujur dan bahwa presiden Prancis khawatir tentang ketegangan yang meningkat di kawasan itu, yang dapat menyebabkan insiden yang mengerikan.
"Macron hanya berbicara tentang risiko reaksi berlebihan China, melupakan keinginan China untuk mengubah status quo dengan mengambil alih Taiwan dengan satu atau lain cara," kata Antoine Bondaz, pakar dari Foundation for Strategic Research (FRS) yang berbasis di Paris.
"Mengapa keinginan untuk tidak pernah mengingat kita memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas?" ujarnya. "Ambiguitas ini... menimbulkan keraguan pada mitra kita yang berpikiran sama."
Menurutnya, menjadi bagian dari salah blok tersebut membuat Eropa berisiko terjerat dalam krisis yang bukan miliknya.
Komentar Macron itu berisiko membuat marah Washington dan menyoroti perpecahan di Uni Eropa tentang cara mendekati China.
"Hal terburuk adalah berpikir bahwa kita orang Eropa harus menjadi pengikut dan menyesuaikan diri dengan ritme Amerika dan reaksi berlebihan China," kata Macron kepada sejumlah media termasuk harian bisnis Prancis Les Echos dan Politico ketika dia kembali hari Jumat dari kunjungan kenegaraan tiga hari ke Beijing.
Merujuk pada cita-citanya yang berharga tentang "otonomi strategis" Uni Eropa, pemimpin Prancis itu mengatakan; "Kita harus jelas di mana pandangan kita tumpang tindih dengan AS, tetapi apakah itu tentang Ukraina, hubungan dengan China atau sanksi, kita memiliki strategi Eropa."
"Kami tidak ingin masuk ke logika blok versus blok," ujar Macron, yang dilansir AFP, Senin (10/4/2023). "Eropa tidak boleh terjebak dalam kekacauan dunia dan krisis yang bukan milik kita," katanya lagi.
"Pulau Taiwan hanyalah salah satu wilayah yang mempertaruhkan percepatan ketegangan yang pecah antara duopoli China dan AS," imbuh Macron.
China memandang Taiwan yang demokratis dan berpemerintahan sendiri sebagai bagian dari wilayahnya dan telah berjanji untuk merebutnya suatu hari nanti, dengan paksa jika perlu.
Marah dengan pertemuan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dan Ketua DPR AS Kevin McCarthy pekan lalu, Beijing meluncurkan latihan militer besar-besaran di sekitar pulau Taiwan segera setelah Macron terbang ke Prancis. Manuver China itu termasuk simulasi serangan.
Macron membahas Taiwan dengan Presiden China Xi Jinping pada hari Jumat, selama kunjungan di mana dia dijamu tetapi Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen yang lebih hawkish sebagian besar dijauhkan.
Kantornya di Istana Elysee mengatakan pembicaraan itu padat dan jujur dan bahwa presiden Prancis khawatir tentang ketegangan yang meningkat di kawasan itu, yang dapat menyebabkan insiden yang mengerikan.
"Macron hanya berbicara tentang risiko reaksi berlebihan China, melupakan keinginan China untuk mengubah status quo dengan mengambil alih Taiwan dengan satu atau lain cara," kata Antoine Bondaz, pakar dari Foundation for Strategic Research (FRS) yang berbasis di Paris.
"Mengapa keinginan untuk tidak pernah mengingat kita memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas?" ujarnya. "Ambiguitas ini... menimbulkan keraguan pada mitra kita yang berpikiran sama."
(mas)