Profil Shamima Begum, Wanita Inggris yang Gabung ISIS di Suriah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Shamina Begum jadi pemberitaan lagi setelah gagal kembali ke negara asalnya, Inggris, setelah dia bergabung dengan kelompok Islamic State atau ISIS di Suriah.
Perempuan muda ini ditolak pulang setelah proses pencopotan kewarganegaraannya selesai pada 2019 lalu.
Kementerian Dalam Negeri Inggris mencopot kewarganegaraannya karena dia dianggap menjadi ancaman keamanan nasional dan memicu peningkatan terorisme.
Kelompok HAM Amnesty International mengecam penolakan pulang Shamima Begum oleh pemerintah Inggris, menggambarkan keputusan pemerintah “sangat mengecewakan”.
"Kekuasaan untuk mengusir warga negara seperti ini seharusnya tidak ada di dunia modern, apalagi ketika kita berbicara tentang seseorang yang dieksploitasi secara serius sebagai seorang anak," kata Steve Valdez-Symonds, aktivis kelompok hak pengungsi dan migran Inggris.
Begum kini berusia 23 tahun dan tinggal di sebuah kamp di Suriah utara. Menurut Human Rights Watch, kamp tersebut merupakan kamp penahanan dengan kondisi yang memprihatinkan dan seringkali terdapat perlakuan tidak manusiawi di dalamnya.
Begum diketahui telah meninggalkan London ketika masih berusia 15 tahun bersama dengan kedua teman sekolahnya. Mereka semua berasal dari Bethnal Green Academy di London timur.
Mengutip laporan CBS, menurut keterangan dari saudara perempuannya yang berbicara kepada anggota Parlemen Inggris, Begum tidak terindikasi di bawah pengaruh ekstremisme Islam sebelum meninggalkan London.
Begum menikah dengan pria Belanda yang merupakan milisi ISIS. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tiga orang anak yang semuanya telah meninggal.
Kewarganegaraan Inggris Begum dicopot atas dasar masalah keamanan nasional pada tahun 2019, tak lama setelah dia ditemukan di sebuah kamp penahanan di Suriah.
Sebelum melahirkan, Begum sempat mengatakan kepada surat kabar Inggris, The Times, bahwa dia ingin pulang untuk melahirkan anaknya. Dia mengaku sudah memiliki dua anak lain yang meninggal saat masih bayi karena kekurangan gizi dan terserang penyakit.
Kamp tempat Begum tinggal terkenal telah banyak memakan korban jiwa terutama anak anak karena kurangnya perawatan medis.
Sampai saat ini, Begum beserta pengacaranya tengah menentang keputusan penolakan pulang dari Kejaksaan Inggris.
Pengacaranya berpendapat bahwa Kementerian Dalam Negeri Inggris gagal menyelidiki apakah dia adalah "anak korban perdagangan".
Terkait dugaan menjadi korban perdagangan anak, tidak ditemukan bukti yang cukup kredibel sehingga tidak kuat untuk mendukung bandingnya.
Perempuan muda ini ditolak pulang setelah proses pencopotan kewarganegaraannya selesai pada 2019 lalu.
Kementerian Dalam Negeri Inggris mencopot kewarganegaraannya karena dia dianggap menjadi ancaman keamanan nasional dan memicu peningkatan terorisme.
Kelompok HAM Amnesty International mengecam penolakan pulang Shamima Begum oleh pemerintah Inggris, menggambarkan keputusan pemerintah “sangat mengecewakan”.
"Kekuasaan untuk mengusir warga negara seperti ini seharusnya tidak ada di dunia modern, apalagi ketika kita berbicara tentang seseorang yang dieksploitasi secara serius sebagai seorang anak," kata Steve Valdez-Symonds, aktivis kelompok hak pengungsi dan migran Inggris.
Begum kini berusia 23 tahun dan tinggal di sebuah kamp di Suriah utara. Menurut Human Rights Watch, kamp tersebut merupakan kamp penahanan dengan kondisi yang memprihatinkan dan seringkali terdapat perlakuan tidak manusiawi di dalamnya.
Begum diketahui telah meninggalkan London ketika masih berusia 15 tahun bersama dengan kedua teman sekolahnya. Mereka semua berasal dari Bethnal Green Academy di London timur.
Mengutip laporan CBS, menurut keterangan dari saudara perempuannya yang berbicara kepada anggota Parlemen Inggris, Begum tidak terindikasi di bawah pengaruh ekstremisme Islam sebelum meninggalkan London.
Begum menikah dengan pria Belanda yang merupakan milisi ISIS. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tiga orang anak yang semuanya telah meninggal.
Kewarganegaraan Inggris Begum dicopot atas dasar masalah keamanan nasional pada tahun 2019, tak lama setelah dia ditemukan di sebuah kamp penahanan di Suriah.
Sebelum melahirkan, Begum sempat mengatakan kepada surat kabar Inggris, The Times, bahwa dia ingin pulang untuk melahirkan anaknya. Dia mengaku sudah memiliki dua anak lain yang meninggal saat masih bayi karena kekurangan gizi dan terserang penyakit.
Kamp tempat Begum tinggal terkenal telah banyak memakan korban jiwa terutama anak anak karena kurangnya perawatan medis.
Sampai saat ini, Begum beserta pengacaranya tengah menentang keputusan penolakan pulang dari Kejaksaan Inggris.
Pengacaranya berpendapat bahwa Kementerian Dalam Negeri Inggris gagal menyelidiki apakah dia adalah "anak korban perdagangan".
Terkait dugaan menjadi korban perdagangan anak, tidak ditemukan bukti yang cukup kredibel sehingga tidak kuat untuk mendukung bandingnya.
(min)