Standar Ganda Media Barat: Ukraina Melawan Dicap Pahlawan, Palestina Melawan Dicap Teroris
Selasa, 08 Maret 2022 - 12:36 WIB
Media barat sesekali menawarkan kesedihan atas nyawa yang hilang atau kaki yang diamputasi dari para warga Palestina yang menjadi sasaran sniper Israel.
"Tapi tak satu pun dari mereka yang mendukung 'perlawanan' Palestina ini seperti yang mereka lakukan terhadap Ukraina. Lebih biasanya, para pengunjuk rasa diperlakukan sebagai penipu atau provokator Hamas," papar Cook.
"Gaza, tidak seperti Ukraina, tidak memiliki tentara, dan para pejuangnya, tidak seperti Ukraina, tidak dipersenjatai oleh Barat."
Surat kabar The Guardian bahkan menyensor kartunisnya Steve Bell ketika dia berusaha menggambarkan salah satu korban sniper Israel, seorang perawat, Razan al-Najjar, yang berusaha membantu yang terluka.
Surat kabar itu menyiratkan bahwa kartun–perdana menteri Inggris saat itu, Theresa May, menyambut mitranya dari Israel, Benjamin Netanyahu, ke London, dengan al-Najjar sebagai korban di belakang mereka di perapian–adalah anti-Semit.
"Standar ganda mencolok dan di mana-mana. Mustahil untuk mengeklaim bahwa jurnalis yang melakukan ini tidak mengetahui konvensi pelaporan di tempat lain. Mereka kebanyakan adalah veteran dari zona perang Timur Tengah, yang terbiasa dengan wilayah Gaza, Baghdad, Nablus, Aleppo dan Tripoli," papar Cook.
Daoud Kuttab, jurnalis dan aktivis Palestina, juga mengkritik penerapan standar ganda media dan pemerintah Barat.
Dalam tulisannya di Al-Monitor, dia mengatakan Palestina dan pendukungnya selama bertahun-tahun mengkritik negara-negara Barat karena hanya memberikan lip service untuk mengakhiri pendudukan Israel. Sebaliknya, Barat secara finansial, militer dan politik mendukung penjajah Israel.
"Negara-negara Barat dan media sering menggunakan istilah yang tepat dari orang Israel untuk menggambarkan perlawanan [rakyat Palestina] sebagai tindakan teror. Bahkan inisiatif diplomatik dijuluki 'diplomatik teror'," katanya.
"Sampai Ukraina. Tiba-tiba, para wanita yang menyiapkan bom molotov menjadi pahlawan media," lanjut dia.
"Tapi tak satu pun dari mereka yang mendukung 'perlawanan' Palestina ini seperti yang mereka lakukan terhadap Ukraina. Lebih biasanya, para pengunjuk rasa diperlakukan sebagai penipu atau provokator Hamas," papar Cook.
"Gaza, tidak seperti Ukraina, tidak memiliki tentara, dan para pejuangnya, tidak seperti Ukraina, tidak dipersenjatai oleh Barat."
Surat kabar The Guardian bahkan menyensor kartunisnya Steve Bell ketika dia berusaha menggambarkan salah satu korban sniper Israel, seorang perawat, Razan al-Najjar, yang berusaha membantu yang terluka.
Surat kabar itu menyiratkan bahwa kartun–perdana menteri Inggris saat itu, Theresa May, menyambut mitranya dari Israel, Benjamin Netanyahu, ke London, dengan al-Najjar sebagai korban di belakang mereka di perapian–adalah anti-Semit.
"Standar ganda mencolok dan di mana-mana. Mustahil untuk mengeklaim bahwa jurnalis yang melakukan ini tidak mengetahui konvensi pelaporan di tempat lain. Mereka kebanyakan adalah veteran dari zona perang Timur Tengah, yang terbiasa dengan wilayah Gaza, Baghdad, Nablus, Aleppo dan Tripoli," papar Cook.
Daoud Kuttab, jurnalis dan aktivis Palestina, juga mengkritik penerapan standar ganda media dan pemerintah Barat.
Dalam tulisannya di Al-Monitor, dia mengatakan Palestina dan pendukungnya selama bertahun-tahun mengkritik negara-negara Barat karena hanya memberikan lip service untuk mengakhiri pendudukan Israel. Sebaliknya, Barat secara finansial, militer dan politik mendukung penjajah Israel.
"Negara-negara Barat dan media sering menggunakan istilah yang tepat dari orang Israel untuk menggambarkan perlawanan [rakyat Palestina] sebagai tindakan teror. Bahkan inisiatif diplomatik dijuluki 'diplomatik teror'," katanya.
"Sampai Ukraina. Tiba-tiba, para wanita yang menyiapkan bom molotov menjadi pahlawan media," lanjut dia.
tulis komentar anda