Kejinya Tentara Israel, Pria Palestina Pulang Kerja Ditembak Mati
Rabu, 28 Juli 2021 - 13:04 WIB
YERUSALEM - Pasukan Israel terus melakukan kekerasan terhadap penduduk lokal Palestina yang memprotes pemukiman Israel selama berminggu-minggu. Terbaru, seorang pria Palestina tewas ditembak pasukan Israel di Tepi Barat yang diduduki pada Selasa malam.
Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan Shadi Omar Lotfi Salim (41) ditembak mati di dekat desa Palestina di Beita.
Wakil Wali Kota Beita Mussa Hamayel mengatakan pasukan Israel membunuh pria nahas itu saat memasuki desa sekembalinya dari pekerjaan.
"Dia dibunuh dengan darah dingin," ujar Wakil Wali Kota Beita, seraya menambahkan bahwa tidak ada aksi protes di daerah itu pada Selasa malam seperti dikutip dari Al Araby, Rabu (28/7/2021).
Tentara Israel pun mengeluarkan pembelaan atas aksinya tersebut. Mereka mengatakan saat bertugas rutin tentara melihat seorang tersangka Palestina di daerah itu, diwilayah selatan Nablus.
"Ketika orang Palestina itu mulai maju dengan cepat menuju pasukan dengan benda mencurigakan yang diidentifikasi sebagai batang besi di tangannya, pasukan itu beroperasi untuk menghentikan tersangka mengikuti prosedur standar, termasuk dengan melepaskan tembakan peringatan ke udara," bunyi pembelaan tentara Israel dalam sebuah pernyataan.
"Ketika tersangka terus maju, komandan pasukan menembak ke arah tersangka. Insiden itu akan diselidiki," sambung pernyataan itu.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah berulang kali menuduh pasukan Israel menggunakan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan serta melakukan pembunuhan di luar proses hukum terhadap warga Palestina.
"Banyak (warga Palestina) dibunuh secara tidak sah dengan peluru tajam atau kekuatan berlebihan lainnya ketika tidak menimbulkan ancaman jiwa. Beberapa pembunuhan di luar hukum tampaknya disengaja, yang akan merupakan kejahatan perang," kata Amnesty International.
Impunitas pasukan Israel yang menggunakan kekuatan berlebihan terhadap Palestina telah menjadi isu yang diperdebatkan dalam beberapa tahun terakhir.
Kasus profil tertinggi adalah tentara Israel Elor Azaria, yang menerima hukuman penjara 14 bulan pada September 2017 karena pembunuhan setelah menembak kepala Abdul Fatah al-Sharif yang berusia 21 tahun saat dia terbaring terluka di tanah.
Beita kerap menjadi lokasi kerusuhan sejak Mei lalu, ketika puluhan keluarga pemukim Yahudi tiba dan mulai membangun pemukiman liar penuh risiko Eviatar di puncak bukit dekat Nablus yang bertentangan dengan hukum Israel dan internasional.
Setelah berminggu-minggu bentrokan dan ketegangan, pemerintah nasionalis Perdana Menteri Israel Naftali Bennett membuat kesepakatan dengan para pemukim yang membuat mereka meninggalkan pos terdepan Eviatar.
Para pemukim meninggalkan rumah-rumah sederhana yang mereka bangun sampai Kementerian Pertahanan Israel menentukan apakah tanah itu dapat dianggap sebagai wilayah negara.
Militer Israel mempertahankan kehadirannya di Eviatar sampai keputusan dibuat.
Perjanjian itu ditolak oleh Wali Kota Beita, yang mengatakan Kamis lalu bahwa bentrokan dan aksi protes akan terus berlanjut selama masih ada orang Israel di tanah Palestina.
Semua pemukiman Yahudi di Tepi Barat dianggap ilegal oleh sebagian besar komunitas internasional.
Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan Shadi Omar Lotfi Salim (41) ditembak mati di dekat desa Palestina di Beita.
Wakil Wali Kota Beita Mussa Hamayel mengatakan pasukan Israel membunuh pria nahas itu saat memasuki desa sekembalinya dari pekerjaan.
"Dia dibunuh dengan darah dingin," ujar Wakil Wali Kota Beita, seraya menambahkan bahwa tidak ada aksi protes di daerah itu pada Selasa malam seperti dikutip dari Al Araby, Rabu (28/7/2021).
Tentara Israel pun mengeluarkan pembelaan atas aksinya tersebut. Mereka mengatakan saat bertugas rutin tentara melihat seorang tersangka Palestina di daerah itu, diwilayah selatan Nablus.
"Ketika orang Palestina itu mulai maju dengan cepat menuju pasukan dengan benda mencurigakan yang diidentifikasi sebagai batang besi di tangannya, pasukan itu beroperasi untuk menghentikan tersangka mengikuti prosedur standar, termasuk dengan melepaskan tembakan peringatan ke udara," bunyi pembelaan tentara Israel dalam sebuah pernyataan.
"Ketika tersangka terus maju, komandan pasukan menembak ke arah tersangka. Insiden itu akan diselidiki," sambung pernyataan itu.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah berulang kali menuduh pasukan Israel menggunakan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan serta melakukan pembunuhan di luar proses hukum terhadap warga Palestina.
"Banyak (warga Palestina) dibunuh secara tidak sah dengan peluru tajam atau kekuatan berlebihan lainnya ketika tidak menimbulkan ancaman jiwa. Beberapa pembunuhan di luar hukum tampaknya disengaja, yang akan merupakan kejahatan perang," kata Amnesty International.
Impunitas pasukan Israel yang menggunakan kekuatan berlebihan terhadap Palestina telah menjadi isu yang diperdebatkan dalam beberapa tahun terakhir.
Kasus profil tertinggi adalah tentara Israel Elor Azaria, yang menerima hukuman penjara 14 bulan pada September 2017 karena pembunuhan setelah menembak kepala Abdul Fatah al-Sharif yang berusia 21 tahun saat dia terbaring terluka di tanah.
Beita kerap menjadi lokasi kerusuhan sejak Mei lalu, ketika puluhan keluarga pemukim Yahudi tiba dan mulai membangun pemukiman liar penuh risiko Eviatar di puncak bukit dekat Nablus yang bertentangan dengan hukum Israel dan internasional.
Baca Juga
Setelah berminggu-minggu bentrokan dan ketegangan, pemerintah nasionalis Perdana Menteri Israel Naftali Bennett membuat kesepakatan dengan para pemukim yang membuat mereka meninggalkan pos terdepan Eviatar.
Para pemukim meninggalkan rumah-rumah sederhana yang mereka bangun sampai Kementerian Pertahanan Israel menentukan apakah tanah itu dapat dianggap sebagai wilayah negara.
Militer Israel mempertahankan kehadirannya di Eviatar sampai keputusan dibuat.
Perjanjian itu ditolak oleh Wali Kota Beita, yang mengatakan Kamis lalu bahwa bentrokan dan aksi protes akan terus berlanjut selama masih ada orang Israel di tanah Palestina.
Semua pemukiman Yahudi di Tepi Barat dianggap ilegal oleh sebagian besar komunitas internasional.
(ian)
tulis komentar anda